More

    Hidup di Australia: Tak Ada Pembantu, Ojek dan Masuk Angin

    25 08 2014 jajanan pasar
    Sebuah toko menjual kue-kue asal Yunani di Sydney Road, Brunswick. (Foto: Sastra Wijaya)

    Banyak orang beranggapan hidup di luar negeri glamor dan keren, setidaknya seperti tampak dalam foto-foto di akun media sosial. Namun bagi Agustina Wayansari, ibu satu anak yang menetap di Melbourne sejak setahun terakhir, hidup di luar Indonesia, sama halnya dengan di tempat lainnya menawarkan suka duka.

     Menetap di luar negeri bukanlah cita-cita hidup saya, meski tinggal sementara untuk studi menjadi impian masa kecil karena saya beranggapan traveling dan ‘merantau’ itu bisa memperkaya hidup.

    Saya pernah tinggal di Melbourne, negara bagian Victoria di bagian selatan Australia selama hampir dua tahun untuk menempuh studi master pada tahun 2008-2009 dan nasib ternyata membawa saya kembali ke negeri Kanguru untuk menetap bersama keluarga kecil saya sejak sekitar setahun yang lalu. Kali ini saya menjalani kehidupan baru sebagai ibu, mengurus anak dan rumahtangga bersama suami, meninggalkan pekerjaan tetap yang dulu mendominasi hidup saya di Jakarta.

    - Advertisement -

    Sebagian dari Anda mungkin sudah tahu bahwa kota Melbourne mendapat predikat sebagai kota paling layak huni di dunia menurut Majalah The Economist selama 4 tahun berturut-turut sejak tahun 2011 sampai dengan 2014. Survei majalah ini cukup bisa dipercaya sehingga sulit bagi saya untuk komplain karena memang banyak sekali hal-hal yang positif di kota ini. Mulai dari fasilitas publik maupun acara-acara yang menarik dan beragam sehingga membuat hidup jauh dari bosan.

    Tetapi saya cinta Jakarta dan Indonesia, dan nyatanya keputusan untuk pindah tempat tinggal bukanlah hal yang mudah.

    Jadi mengapa tinggal di Melbourne?

    Ketika memutuskan untuk berkeluarga dan mempunyai anak, saya dan suami setuju bahwa hidup akan berubah dan akhir pekan bukan lagi tentang makan di luar dan nongkrong bersama teman-teman sampai dini hari. Kehidupan yang ‘ramah keluarga’ menjadi pilihan bagi kami. Karenanya, Australia di mata kami terlihat lebih menarik daripada Jakarta.

    Pertama, jam kerja yang ramah keluarga. Di Indonesia, pilihannya adalah untuk bekerja atau tidak sama sekali. Di sini, kita bisa kerja paruh waktu saja. Tentunya, konsekuensi finansial tanggung sendiri. Karena kami memutuskan untuk terlibat langsung dan merawat sendiri anak kami, Jakarta tidak memberikan banyak pilihan.

    Di Melbourne, orang sangat menghargai waktu dan bos akan paham jika kita harus pulang tepat waktu karena urusan anak. Di Jakarta, lembur itu dianggap biasa dan pulang tepat waktu cenderung dianggap tidak memiliki dedikasi penuh atas kerjaan.

    Kedua, sistem kesehatan yang bagus dan terjamin. Setiap warga negara (dalam hal ini suami saya) dan pasangannya berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang gratis di rumah sakit pemerintah. Hal ini tentunya menyenangkan karena kami tidak harus mengeluarkan uang sedikitpun untuk mendapatkan pelayanan kesehatan mulai kunjungan ke dokter sampai dengan kelahiran anak, misalnya.

    Kalau persoalan malpraktik cukup sering terjadi di Indonesia dan sering membuat kita deg-degan, di sini sistem kesehatannya lebih terjamin dan membuat hati tenang. Setidaknya itu yang saya rasakan saat menjalani proses periksa kehamilan sampai dengan melahirkan anak saya.

    Selain gratis dan aman, petugas pun sangat ramah dan profesional. Bidan dan perawat membantu dan bukannya jutek. Di Jakarta, sudah bayar biaya mahal (karena RS swasta) kita masih harus sering tarik napas panjang biar sabar.

    Ketiga, lingkungan alam yang lebih sehat dan minim polusi. Seperti layaknya di negara maju lainnya, taman kota yang hijau di Melbourne banyak sekali. Udara di sini tidak terkontaminasi polusi separah di Jakarta sehingga langit bersih dan biru itu bagian dari kenormalan hidup. Air ledeng bisa langsung diminum. Belum lagi banyaknya taman ini bisa sekaligus menjadi tempat nongkrong dan melakukan berbagai aktifitas bagi para penduduknya. Jalan kaki, lari, piknik, barbeque, bahkan pacaran di taman dan semuanya gratis.

    Keempat, bebas macet. Orang-orang Melbourne sering mengeluh belakangan ini kota mereka macet. Tapi saya tersenyum saja karena dibanding Jakarta, persoalan ini tidak seberapa. Mereka belum pernah harus pipis di dalam mobil karena terjebak macet di tengah jalan tol dalam kota selama 4 jam.

    Kelima, makanan dari berbagai penjuru dunia. Sebagai seorang yang doyan makan, Melbourne itu surga. Karena keragaman penduduknya yang datang dari berbagai penjuru dunia, kami sangat dimanja dengan keberadaan berbagai makanan enak mulai dari pasta dan pizza ala Italia, Chicken Fajitas ala Mexico, kebab Turki, baklava si kue pastri manis ala Lebanon, berbagai kari India, dan lain-lain.

    Makanan Asia bahkan makin populer di Australia dan bahan-bahannya bisa dibeli dengan mudah di pasar tradisional maupun supermarketnya.Saya juga suka memasak dan hobi ini bisa dilakukan dengan mudah karena bahan-bahan tersedia dan sudah ‘setengah jadi’ di supermarket, misalnya steak sudah dipotong dan dibumbui.

    Tetapi seperti saya tulis di atas, saya cinta Indonesia. Saat galau, suasana kampung halaman terbayang di depan mata. Apa saja ‘duka’ menjadi penduduk Melbourne?

    Pertama, tak ada pembantu. Bukannya manja, tapi sesekali saya merindukan kehadiran pembantu rumah tangga. Di Melbourne, memiliki pembantu yang tinggal di rumah tidaklah normal. Banyak orang, biarpun semacam artis ternama dari ibukota, sudah terbiasa melakukan semuanya sendiri mulai dari beres-beres rumah, memasak, memotong rumput. Di Indonesia, kita terbiasa untuk fokus pada pekerjaan atau sekolah saja sehingga urusan rumahtangga semacam ini seringnya terasa membebani.

    Kedua, tidak becek tapi saya rindu ojek. Saat sedang capai sekali dan buru-buru, saya sering berharap ada ojek di ujung gang yang siap antar ke tempat tujuan dan bukannya saya harus lari-lari mengejar kereta.

    Ketiga, makanan Indonesia dan pedagang kaki lima. Memang ada banyak restoran Indonesia yang menjual rendang, pecel ayam, tahu dan tempe. Tetapi selain mahal (satu gorengan bakwan seharga $3 atau Rp 30.000), mereka juga tidak mudah ditemukan di jalanan dan tidak tersedia 24 jam. Karena upah tenaga kerja yang mahal, banyak toko yang tutup jam 5 sore dan resto jam 10 malam.

    Kalau mau pesta pora makanan Indonesia, biasanya warga Indonesia datang ke bazaar makanan yang sesekali diadakan atau juga kumpul bareng dengan sesama orang Indonesia. Bangun pagi dan menantikan abang bubur ayam lewat depan rumah? Lebih terasa seperti mimpi.

    Keempat, masuk angin. Teman-teman warga lokal tertawa mendengar ‘penyakit’ ala Indonesia ini dan mereka tidak percaya there’s such thing seperti masuk angin. Tetapi namanya juga orang Indonesia, saat udara mulai dingin dan pasokan nasi ke perut kurang lancar, tolak angin dan wedang jahe harus segera disiapkan. Teman saya dulu bahkan harus sering kerokan!

    Kelima, menjadi orang tua baru = kurang gaul. Karena tidak ada pembantu atau babysitter yang tinggal di rumah, awal-awal menjadi orang tua sungguhlah sulit. Capai mengurus bayi dan mengikuti jadwal mereka membuat para orang tua baru seringkali kesulitan untuk bertemu teman di luar rumah. Memang kadang-kadang kita bisa mempekerjakan babysitter selama beberapa jam, tetapi praktiknya itu tidak mudah.

    Itulah kira-kira suka duka tinggal jauh dari Indonesia. Tampaknya benar – rumput tetangga memang sering kelihatan lebih hijau,bukan?[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here