Penulis: Bimantoro Kushari, Presiden BEM FEB Telkom University 2014.
Sekilas, kita pantas optimis untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Mengapa? Jumlah tenaga kerja Indonesia banyak dan Indonesia diprediksikan memiliki 55 juta orang dengan usia kerja di tahun 2025 (Bonus Demografi). Dengan kekuatan jumlah penduduk tersebut, tenaga kerja Indonesia dinilai mampu mendominasi seluruh perusahaan di ASEAN.
Menurut Handry Satriago (CEO GE Indonesia) Competitiveness Index of the countries menujukkan bahwa jumlah penduduk tidak menjamin kemakmuran negara. Lalu bagaimana dengan bonus demografi? Apakah bonus demografi dapat mempengaruhi kemakmuran negara? Fakta yang akan penulis tunjukan dalam artikel ini layak membuat Indonesia pesimis untuk menghadapi MEA.
Handry memaparkan dalam akun official twitter-nya, dalam data yang di publish di http://www3.weforum.org/ tentang WEF Competitiveness Index 2014 – 2015, Indonesia berada di peringkat 34. Peringkat Indonesia berada dibawah Singapura, Malaysia, dan Thailand yang notabene adalah pesaing Indonesia dalam MEA. Dalam global talent competitiveness index, Indonesia menempati peringkat 86 dari 93 negara! Data ini menunjukan bahwa tenaga kerja Indonesia kurang kompetitif dibanding negara negara lainnya khususnya di ASEN. Tenaga kerja yang kompetitif adalah tenaga kerja global talent. Pertanyaannya, akan seperti apa nasib tenaga kerja di Indonesia yang secara ranking bukan global talent.
Kurangnya tenaga kerja global talent di Indonesia tidak akan membuat tenaga kerja Indonesia banyak menjadi pengangguran. Kemungkinan tenaga kerja Indonesia masih akan terpakai, namun dengan bayaran yang rendah. Mengapa demikian? Logika sederhana, ada kualitas ada uang. Tenaga kerja yang kurang berkualitas akan dibayar rendah. Selain itu posisi yang ditawarkan oleh perusahaan bukanlah posisi di level menengah dan ketas. Sekali lagi, hal ini karena ranking kualitas tenaga kerja Indonesia rendah. Tidak mungkin perusahaan akan memberikan kepercayaan memimpin kepada tenaga kerja yang berkualitas rendah.
Boston Consulting Group (BCG) memperdisikan Indonesia akan kekurangan talent di level menengah dan ketas sebentar lagi. Padahal talent di level tersebut sangat dibutuhkan keberadaannya untuk membangun kesejahteraan rakyat. Jangankan untuk mensejahterakan rakyat, untuk biaya hidup pribadi saja tenaga kerja Indonesia diprediksi bakal kesulitan. Karena apa? Rendahnya bayaran yang disebabkan oleh rendahnya kualitas.
Bagaimana solusi dari permasalahan ini? Berfikir global. Hapuskanlah sekat-sekat dunia. Sebagai bangsa Indonesia, kita harus mau belajar kepada bangsa manapun, kapanpun, dan dimanapun.Sebagai contoh, jikalau Amerika punya kemampuan mengembangkan teknologi canggih, maka belajarlah pada Amerika. Kebanyakan masyarakat (khususnya pemuda aktivis) memiliki mindset bahwa Amerika itu Kapitaslis, sehingga tidak patut dicontoh. Tidak seharusnya kita berfikir demikian. Sebagai calon global talent kita harus mampu menyaring pelajaran dari bangsa lain. Ilmu yang buruk kita buang, yang baik kita ambil.
Solusi selanjutnya adalah, values pada manusia Indonesia. Percayalah, terus menerus bermain get rich, coc, dan check in path, tidak akan menambah values seorang manusia Indonesia. Values berhubungan dengan passion (gairah). Manusia Indonesia harus memiliki keahlian khusus yang menjadi competitive advantage dalam menghadapi persaingan dalam MEA. Contohnya, kemampuan analisis data, menjalin networking, negosisasi, kepemimpinan, dll.
Lupakanlah kata-kata pesimis yang penulis paparkan dalam paragraf atas. Sudah waktunya manusia Indonesia berimprovisasi menjadi global talent dalam global competitive. Improvisasi wajib hukumnya agar Indonesia tidak terus menerus menjadi ‘objek’ dari negara lain. Mari siapkan diri, di tengah ketidaksiapan bangsa Indonesia untuk menghadapi MEA.
Tulisan ini terinspirasi dari kutweet @HandryGE tentang Tentang Global Talent, Persaingan Antar Negara, dan Indonesia
Twitter penulis @bimantorokshr