Penulis: Derry Perdana Munsil (Ketua Umum Senat Mahasiswa Teknik Unhas)
Saat ini Universitas Hasanuddin (Unhas) telah menganut otonomi Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTN BH) sesuai dengan UU Pendidikan Tinggi. Kini melalui PTN BH tersebut Unhas berhak mengatur urusan finasial dan akademisnya sendiri.
Dari sisi finansial, Unhas diperbolehkan menghimpun serta menggunakan dana untuk kepentingan operasional dan pemenuhan kebutuhan infrasturktur universitas. Sementara dari sisi akademis, Unhas berhak untuk menentukan proses seleksi masuk mahasiswa baru. Rektorat juga diperkenankan menambah atau mengurangi mata kuliah serta program studi.
Tentu saja dengan memiliki hak untuk mengatur finasial sendiri, Unhas bisa mendapatkan dana sewa tempat untuk beberapa perusahaan yang akan melangsungkan aktifitas ekonominya di dalam area kampus. Kebutuhan operasional mulai dari pengadaan bolpoin sampai dengan nominal penggajian pekerja, sepenuhnya berada pada keputusan pihak rektorat, tak perlu lagi menunggu keputusan Kementerian Keuangan. Begitu juga dengan alur perekrutan pekerja sampai dengan pemberhentian pekerja juga masuk dalam area otonomi PTN BH.
Sementara secara akademis, melalui undang-undang ini bisa membatasi hak-hak calon mahasiswa yang kurang mampu. Karena dengan adanya otonomi tersebut universitas bisa saja menaikkan biaya kuliah dengan alasan peningkatan pelayanan.
Melalui PTN BH perguruan tinggi bisa mengandalkan pendapatan dari biaya sewa gedung di kampus. Seperti sewa dari MCD, Starbucks, Bank, dan sebagainya. Namun tingkat likuiditasnya rendah. Kemudian ketika universitas membutuhkan dana segar, cara tercepatnya adalah dengan menaikkan biaya kuliah mahasiswa.
Selanjutnya yang terjadi adalah pembatasan hak mahasiswa kurang mampu untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Kampus yang menganut PTN BH pun akan menjadi kampus “elite”.
Sedangkan calon mahasiswa kurang mampu hanya bisa melanjutkan studinya ke kampus-kampus yang masih berstatus Badan Layanan Umum. Kampus model ini notabenenya adalah kampus miskin dengan infrastruktur yang kurang memadai. Kampus yang memiliki kesenjangan dengan kampus dengan PTN BH.
Sudut pandang mahasiswa, tentunya berbeda dengan sudut pandang mereka yang duduk diatas kekuasaan. Seperti yang disampaikan Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI), Mayling Oey-Gardiner di Kompas.com. Ia mengatakan apa yang digugat oleh para mahasiswa Universitas Andalas terkait dengan UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi ini di Mahkamah Konstitusi hanya sekadar menuntut hak tanpa mengedepankan tanggung jawab pada kemajuan pendidikan
.“Saya berkesimpulan uji materi ini disarikan hanya menuntut hak saja tanpa mengedepankan tanggung jawab pada pendidikan yang semestinya terus maju,” kata Mayling di hadapan Majelis Hakim MK, Selasa (05/02/2013).
Ia juga mengatakan, tanpa biaya kuliah yang tinggi maka mutu yang dicapai juga tidak akan meningkat. Misalkan saja Harvard University yang mematok uang kuliah cukup tinggi berhasil mencapai prestasi dan mempertahankannya seperti saat ini.
“Jangan menuntut kualitas yang bagus tanpa ada biaya yang sesuai,” jelas Mayling.
Menurut Mayling, sebelum UI menjadi PTN BH, seluruh pendapatan yang diterima oleh kampus harus diberikan kepada Menteri Keuangan. Ketika UI membutuhkan dana, UI harus mengajukan proposal kepada Menteri Keuangan untuk disetujui dan dicairkan, kalaupun disetujui. Dan tak ada jaminan 100 % uang itu akan diterima oleh UI melihat birokrat yang lazimnya korup ini. Dengan status PTN BH, Universitas akan memiliki mobilitas dana yang cepat.
Pemerintah harus hadir
Pendidikan yang berkualitas memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Namun, bukan berarti pemerintah menarik diri. Pemerintah justru harus hadir untuk melaksanakan tugas konstitusi dengan tetap memberikan akses pendidikan yang terjangkau dan berkualitas bagi setiap warga negara.
Penulis berkesimpulan, otonomi kampus berdasarkan UU No 12/2012 dan PP No 53/2013 bukanlah satu bentuk otonomi yang mencita-citakan pencerdasan bangsa secara menyeluruh. Kedua aturan tersebut tak lain hanya memberikan jalan bagi pemerintah untuk tetap melaksanakan praktik semiprivatisasi guna mengurangi beban anggaran negara sekaligus melanggengkan zona nyaman (comfort zone) para birokrat kampus.
Otonomi yang baik adalah yang memberikan kewenangan kepada kampus untuk mengelola kampusnya, linear dengan arah kebijakan pendidikan nasional (mencerdaskan kehidupan bangsa) dan independensi pengelolaan kelembagaan. Termasuk masalah keuangan kampus yang bersumber dari negara secara akuntabel dan transparan.[]