Kehadiran simfoni orkestra Bandung Philharmonic sejak Januari 2015 lalu menyita perhatian sejumlah kalangan. Salah satunya Bambang Sugiharto, seorang doktor filsafat yang mengajar di Universitas Parahyangan Bandung, ketika menjadi nara sumber dalam konferensi pers prakonser “Heroes” Bandung Philharmonic di Hotel Padma, Bandung, Kamis (14/04/2016).
Pengamatan Doktor Filsafat yang selama bertahun-tahun menyatroni berbagai komunitas di Bandung, menyoroti 3 aspek penting. Pengamatannya merupakan wujud apresiasi sekaligus “warning” bagi Bandung Philharmonic yang tengah menyusun sebuah peradaban mutakhir di kota Bandung lewat musik.
Berikut pangamatan sang doktor filsafat :
1. Bandung kota musik
Bandung sebagai salah satu kreatif di Indonesia telah menjadi kiblat perkembangan musik pop. Sehingga banyak musisi lahir dari kota Bandung. Inilah tantangan Bandung Philharmonic di tengah blantika musik kota. Secara khusus, musik klasik di Bandung belum memperlihatkan tajinya. Belum memperlihatkan kesungguhan. Namun kehadiran sebuah simfoni orkestra memperlihatkan kapasitas studi dan kesungguhan orang Indonesia memenuhi standar pencapaian skill yang diakui dunia internasional. Bagi saya itu sesuatu yang luar biasa.
2. Eksplorasi musikal
Musik klasik bagi saya, bukan sekedar genre musik dari sekian banyak musik yang ada, tapi juga salah satu musik–selain jazz–yang mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan musikal pada tingkat yang paling “habis-habisan”. Eksplorasi itu meliputi harmoni, melodi, ritme, dan sebagainya. Buat saya dari sisi itu, kalau Bandung sampai bisa mempunyai philharmonic sendiri, sekaligus menunjukkan kesungguhan eksplorasi bidang musik. Ini pada level kesungguhan yang mengesankan.
3. Landmark kota dan simbol harmoni kehidupan
Bandung philharmonic, atau orkestra simfoni dapat dilihat bagai penanda sebuah kota atau landmark. Kota-kota prestisius dunia salah satunya ditandai dengan adanya philharmonic, sehingga mudah-mudahan Bandung juga bisa membuktikan dirinya secara kultural memang prestisius.
Lepas dari unsur musikalnya, orkestra itu juga sebetulnya menunjukkan kemampuan sikap batin manusia untuk mengelola perbedaan menjadi satu harmoni yang indah. Ini buat saya menjadi point penting ketika di Indonesia saat ini sulit hidup dengan perbedaan. Saat ini kita memiliki kecendrungan egosentris; entah atas nama etnik, atas nama agama, status sosial, dan sebagainya. Pada titik itu, saya kira orkestra seperti miniatur kehidupan yang menarik.
Simfoni orkestra adalah simbol indah yang mestinya bisa merangsang kehidupan sosial kultural yang lebih luas lagi tentang bagaimana hidup bertoleransi dan harmoni diantara banyak perbedaan. []