BANDUNG, KabarKampus – Cerita sejarah pada masa kemerdekaan Indonesia yang selama ini diajarkan kepada generasi penerus bangsa dalam beberapa hal masih menyisakan ruang untuk didiskusikan lebih mendalam. Perspektif sejarah yang selama ini diketahui lebih banyak menggunakan sudut pandang pemerintah Indonesia sendiri dalam kaitannya dengan penjajahan bangsa lain di tanah air, seperti Belanda dan Jepang.
Masih sedikit literatur yang mengungkap fakta sejarah dari perspektif bangsa yang menjajah. Hal ini mendorong Gert Oostindie, seorang penulis berkebangsaan Belanda untuk mengungkap perspektif Belanda, dari level pelaku yang paling bawah atau dalam hal ini para serdadu yang ditugaskan di Indonesia pada masa pasca kemerdekaan di tahun 1945-1950. Hubungan Indonesia-Belanda sekarang ini memang sudah memasuki babak baru untuk tidak lagi melihat pada masa lalu, melainkan memandang masa depan (tidak lagi melihat sejarah kelam). Hal ini lah yang dianggap salah oleh Oostindie.
Dalam sejarah yang selama ini ada, pada masa rakyat Indonesia memperjuangkan kemerdekaannya, Belanda digambarkan sebagai bangsa yang sangat kejam dalam melakukan penjajahan terhadap rakyat tanah air. Fakta tersebut menjadikan bangsa Indonesia sangat membenci Belanda baik pada masa awal kemerdekaan hingga sekarang. Kebencian berkepanjangan itu pun masih tergambar dari beberapa film tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia yang dibuat pada masa sekarang.
Namun, bagaimana Belanda melihat perspektif tersebut? Perang dekolonialisasi di Indonesia terjadi pada kurun waktu 1945-1950 pasca Indonesia merdeka. Belanda setidaknya menurunkan sekitar 220.000 serdadunya saat itu. Belanda kemudian disebut ‘salah’ atas perbuatan-perbuatannya. Hal ini lah yang membuat kondisi pasca kemerdekaan Indonesia menjadi sangat menyakitkan bagi Belanda. Khususnya bagi mereka yang menjadi saksi serta pelaku peristiwa itu.
Senin (19/09) lalu, Program Studi Magister Ilmu Sosial Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) bersama dengan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volenkunde (KITLV) / Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia menyelenggarakan Studium Generale berbasis buku “Serdadu Belanda di Indonesia, 1945-1950: Kesaksian Perang pada Sisi Sejarah yang Salah” di Gedung Sekolah Pascasarjana Unpar. Buku yang baru dirilis pada 13 September 2016 lalu di Erasmus Huise Jakarta tersebut merupakan karya Prof.Gert Oostindie, Direktur KITLV yang juga hadir sebagai pembicara pada kesempatan itu. Buku ini sebelumnya telah dirilis dalam bahasa Belanda pada Oktober 2015 dengan judul Soldaat in Indonesië.
Mengungkap sisi lain dari sejarah penempatan serdadu Belanda di Indonesia pada tahun 1945-1949, buku ini menggambarkan bagaimana realita yang dihadapi oleh serdadu-serdadu Belanda yang ditugaskan di Indonesia pada saat itu. Data yang terdapat di dalam buku ini didasarkan pada ego document para serdadu Belanda yang berbentuk surat, memoar, kesaksian, catatan harian, dan buku kenangan. Buku ini diakhiri dengan kesimpulan bahwa kejahatan perang yang dilakukan oleh Belanda bersifat struktural dalam pelaksanaannya atau dengan kata lain tindakan yang dilakukan memang seragam dari struktur teratas hingga yang paling rendah, meski perspektif pada setiap level sebenarnya dapat berbeda-beda (adanya kepecahan).
Perspektif serdadu Belanda yang diungkapkan di dalam buku ini memiliki ketidaksesuaian dengan fakta sejarah yang selama ini ada. Fakta sejarah yang selama ini diungkapkan menggambarkan bagaimana kejamnya bangsa Belanda terhadap bangsa Indonesia. Padahal, sebenarnya para serdadu Belanda juga menghadapi ‘kekejaman’ berupa perlawanan dari pejuang Indonesia yang sudah terlanjur benci pada Belanda. Ada juga pernyataan dalam salah satu bagian bahwa hadirnya Belanda adalah untuk menjaga ketertiban, sementara selama ini Belanda selalu digambarkan sebagai pengacau, pemabuk, dan lain sebagainya.
Kehadiran buku ini diharapkan dapat melengkapi perspektif sejarah yang belum terungkap dan berbeda karena selama ini lebih banyak perspektif Indonesia yang digunakan. Buku ini juga diharapkan dapat mendorong penulis Indonesia untuk kembali melihat sejarah dan tidak hanya terpaku pada perspektif pemerintah saja, namun juga dari perspektif akar rumput (para pelaku di level bawah). Dengan adanya buku ini Profesor Oostindie juga berharap dapat dilakukan kerjasama antar Indonesia-Belanda dalam penelitian dan penelusuran sejarah selanjutnya.