NATALIA OETAMA
Ada banyak cara untuk mencuri perhatian, salah satunya dengan menjadi berbeda. Ini juga yang dilakukan oleh film yang dari judulnya terdengar seperti film super hero. Bukan, film besutan Matt Ross ini berkisah tentang menjadi orang tua yang baik di tengah isu-isu berat seperti kapitalisme yang dikemas dengan sederhana dan mengena.
Film “Captain Fantastic” dibuka dengan keasrian hutan, yang dipecah oleh aksi seorang laki-laki dengan badan penuh lumpur yang bergulat dengan rusa. Mengiris leher rusa dengan pisau hingga sang rusa terkapar dan mati.
Tak lama berselang beberapa manusia berlumpur lainnya keluar, membasuh diri di sungai dan bersama-sama menggotong makanan ke sarang mereka.
Ben yang diperankan oleh Viggo Mortensen berperan sebagai kepala keluarga. Kapten dan komado ini membesarkan anak-anaknya dengan cara yang berbeda dibanding kebanyakan orang tua lainnya. Mereka hidup di tengah hutan Pasifik Northwest, berburu dan bercocok tanam untuk makan sehari-hari.
Keluarga ini dilatih dengan begitu ekstrim oleh sang ayah, olah tubuh seperti yoga, fighting, tracking bahkan panjat tebing harus dikuasai oleh keenam anaknya. Pada malam hari keluarga unik yang terdiri 3 anak laki-laki dan 3 anak perempuan ini diharuskan membaca buku di tengah api unggun.
Titah sang kapten tak dapat dibantah. Hal ini dilakukan tak lain dan tak bukan untuk menyelamatkan anak-anaknya dari ancaman dunia.
Ketenangan dari keluarga ini terusik ketika sebuah berita sedih menghantam mereka. Sang ibu Leisle yang diperankan oleh Trin Miller dan selama ini divonis menderita gangguan jiwa bipolar bunuh diri di salah satu Rumah Sakit jiwa di Washington.
“Ibumu bunuh diri di RS kemarin.” Berita itu disampaikan sang kapten di suatu malam tanpa diperindah sama sekali, dengan dingin dan tanpa ekspresi.
Keenam anak yang memiliki nama unik dan hanya satu-satunya di dunia ini kemudian merajuk untuk memberi penghormatan kepada ibu mereka. Ayah mereka luluh dan akhirnya Bodevan (George MacKay), Kielyr (Samantha Isler), Annalise Basso (Vespyr), Rellian (Nicholas Hamilton), Zaja (Shree Crooks) dan si kecil Nai (Charlie Shotwell) bersama-sama menuju pesta pemakaman sang ibu.
Dengan steve, nama bus yang mereka gunakan dimulailah sebuah petualangan baru menyongsong dunia luar yang telah mereka tinggalkan sepuluh tahun lamanya.
Selama perjalanan ini banyak masalah ikut bergulir. Anak-anak yang dikisahkan menguasai enam bahasa dan dibekali dengan segala ilmu pengetahuan dan cara berpikir kritis ini ternyata masih gagu dengan dunia luar.
Mereka paham tentang segudang pengetahuan namun tak pernah punya wadah untuk mempraktekannya. Hal ini paling terlihat dalam adegan ketika seorang polisi lalu lintas patroli ingin memastikan kelengkapan surat-surat Ben dalam perjalanan.
Puncak dari masalah terjadi ketika, salah satu anak perempuan Ben jatuh dari genteng karena ingin menyelamatkan sang adik. Keadaan ini membuat keangkuhan Ben yang selama ini merasa telah menjadi orang tua yang luar biasa hancur berkeping-keping. Di sini kemudian disisipkan nilai kekeluargaan yang manis. Bukankah keluarga adalah orang yang akan membantu ketika dunia menghinamu?
Film ini ditutup dengan manis dan hangat. Ben melonggarkan komandonya, memberi kesempatan pada anak-anaknya untuk melihat dunia. Karena seperti tag line film ini, “he prepare them for everyting expect the outside world, dia mempersiapkan mereka untuk apa saja tapi tidak untuk dunia luar”.
Hal ini yang akhirnya harus direlakan oleh semua orang tua termasuk Ben.
Film ini sarat dengan makna keluarga, menghangatkan hati juga sekaligus mampu membuatmu bertanya-tanya tentang banyak hal yang ada. Porsi dari tiap bagian di film ini terasa pas, ditambah dengan akting memukau dari keenam anak yang punya wataknya masing-masing.
Jika kamu pernah mendambakan hidup jauh dari peradaban, mungkin film berdurasi 118 menit ini pantas untuk dijadikan pilihan. []