NATALIA OETAMA
Di tengah arus kesibukan perfilman Indonesia mengangkat kemegahan roman picisan, Ernest Prakarsa menjajaki debut keduanya sebagai sutradara dengan cerita yang justru begitu sederhana dan terkesan biasa-biasa saja. Sebuah komedi.
Dari hal-hal sehari-hari yang terasa begitu dekat dan lekat, Ernest Prakarsa berhasil menyulap cerita yang membuat terpingkal, menitikan air mata haru sekaligus terhanyut dengan plot cerita sederhana ini.
Setidaknya itu yang saya alami ketika menonton film “Cek Toko Sebelah” mengawali tahun 2017 ini.
Seorang juragan Tionghoa bernama Ko Afuk yang diperankan Chew Kinwah memiliki sebuah toko sembako yang berdiri bersebelahan dengan toko sembako lainnya. Meskipun dari judulnya film ini memperlihatkan persaingan kedua toko, namun dalam keseluruhan film pertikaian antar toko ini hanyalah bumbu komedi pelengkap bukan hidangan utama.
Cerita utamanya justru bergulir di dalam toko itu sendiri, tentang drama keluarga. Ko Afuk yang telah ditinggal mati oleh istrinya kini mulai sakit-sakitan dan harus segera mewariskan toko kepada salah satu dari dua anak laki-lakinya.
Anak laki-laki tertua bernama Yoan diperankan oleh Dion Wiyoko yang berprofesi sebagai fotografer. Si sulung yang dulunya mahasiswa DO yang sempat terbawa ke dalam arus obat-obatan terlarang ini memilih pasangan hidup, Ayu yang tidak sebangsa dan diperankan oleh Meira Anastasia.
Sang ayah tak pernah respek dengan semua piihan hidup si sulung.
Berbeda jauh dengan si sulung yang saat ini hidupnya begitu pas-pas-an, anak sulung dikisahkan sebagai mahasiswa lulusan luar negeri dengan karir yang sedang melejit, dan peran ini diperankan langsung oleh Ernest Prakarsa.
“Ngurus hidupmu saja kamu belum bisa, apalagi ngurus toko?” begitu kilah sang ayah ketika akhirnya mengultimatum untuk memberikan toko kepada si bungsu Erwin.
Erwin yang sedang dalam proses promosi ke Singapura tentu saja gundah gulana dengan keadaan ini. Keputusan ini kemudian memantik konflik. Sang kakak yang cemburu dan sang adik serta pacarnya yang tak ingin diserahi tanggung jawab.
Konflik terus memuncak sehingga sampai di satu titik kedua bersaudara ini mau tak mau terpaksa bekerja sama untuk mempertahankan toko kesayangan orang tua mereka.
Ending cerita ini sebenarnya cukup tertebak, namun pesan yang ingin disampaikanpun mampu ditransfer dengan baik serta berbonus humor. Salah satu pesannya, melihat orang yang kita sayang hidup dalam rasa bersalah itu suatu hal yang tidak mengenakan.
Jahitan dari tiap potongan yang satu ke potongan cerita selanjutnya sering kali masih membuat kagok perasaan. Ketika sedang menangis bombay tiba-tiba segera diselipi dengan adengan kocak atau sebaliknya, film ini seperti ingin memperlihatkan roller coaster perasaan yang memang lumrah terjadi di kehidupan nyata.
Film berdurasi 98 menit yang justru menonjolkan kesederhanaannya ini memiliki komposisi yang pas, ada harunya, ada banyolnya ada keluarganya. Akhir kata, film ini ingin mengingatkan kembali slogan lama yang selalu dinyanyikan oleh Asri Welas “Harta yang paling berharga adalah keluarga.” []