JAKARTA, KabarKampus – Aksi BEM SI Wilayah Jabodetabek untuk mendesak agar Presiden Jokowi memberhentikan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sebagai Gubernur Jakarta dituding melanggar hukum oleh aparat Kepolisian. Bahkan aksi yang berlangsung ricuh dan membuat empat Presiden Mahasiswa ditahan di Polda Metro Jaya ini dianggap ditunggangi oleh sekelompok orang.
Bagus Tito Wibisono, Koordinator BEM SI 2016/2017 menerangkan, aksi aliansi BEM SI wilayah Jabodetabek-Banten di hari kasih sayang tersebut konstitusional dan tidak melanggar hukum. Justru pemerintah atau aparatlah yang melanggar hukum.
Bagus membuat tujuh sanggahan atau fakta dalam aksi 14 Faburi 2017 di depan Istana Negara :
Aksi mahasiswa di masa tenang adalah legal
Tidak ada dasar hukum apapun yang menjadi legal standing, bahwa aksi di masa tenang pilkada adalah ilegal dan inkonstitusional. Padahal mahasiswa justru ingin menegakan legalitas hukum, khususnya UU nomor 23 pasal 83 ayat 1-3.
Tidak ada perizinan dalam aksi apapun, melainkan pemberitahuan.
Salah besar jika polisi mengklaim aksi mahasiswa tidak mendapatkan izin. Karena memang setiap aksi tidak menggunakan izin, melainkan surat pemberitahuan. Sangat logis jika pemberitahuan mahasiswa terlambat, karena sampai tanggal 13 Februari 2016 terdakwa Ahok belum juga diberhentikan sebagai gubernur DKI Jakarta. Sehingga mahasiswa mengirimkan surat pemberitahuan ke Polda, dan ternyata tidak ada karyawan yang menerima surat tersebut.
Polisi meminta aksi dilakukan setelah Pilkada
Hal ini sangat aneh, karena jatuh tempo terdakwa adalah tanggal 12 Februari lalu dan ini sesuai konstitusi. Jika aksi dilaksanakan setelah tanggal 15, maka artinya mahasiswa membiarkan adanya pelanggaran hukum di bumi pertiwi ini. Dan semakin jelas ada upaya perlindungan terhadap terdakwa yang statusnya berbeda di hadapan hukum. Padahal semua orang sama dimata hukum.
Sanksi dalam penyampaian pendapat di muka umum adalah pembubaran bukan penangkapan
Jika menurut polisi mahasiswa melanggar hukum, maka sanksi konstitusionalnya adalah pembubaran, sesuai UU no 9 tahun 1998, pasal 15. Tetapi yang terjadi adalah penangkapan empat mahasiswa dengan menggunakan kekerasan. Mereka dipukul dan dikeroyok di dalam mobil angkutan. Padahal mahasiswa tidak merusak fasilitas, tidak menganiaya aparat, tidak melakukan kekerasan kepada aparat. Apakah pelayanan polisi adalah dengan kekerasan ?
Mahasiswa tidak diperkenankan didampingi kuasa hukum
Hal memalukan kembali terjadi ketika aparat menginterogasi empat mahasiswa. Mereka tidak ahli dalam hukum, namun ketika ahli hukum datang untuk membantu, justru mereka tidak diperbolehkan masuk. Malah mereka di dorong dan diusir, serta dikeluarkan dari kantor Polisi. Hal ini melanggar pasal 57 dan 69 KUHAP dan berhak untuk diperkarakan. Sangat logis jika dalam proses interogasi berpotensi terjadi intimidasi kepada mahasiswa, karena mereka tidak didampingi kuasa hukum, padahal itu adalah hak mereka.
Keluarga dilarang untuk bertemu
Kedudukan keluarga lebih tinggi dari kuasa hukum dan lebih berhak bertemu dengan orang yang di interogasi. Namun, hal ini tidak berlaku kemarin malam. Kakak dari salah seorang mahasiswa yang ditangkap, dilarang untuk menemui adiknya karena alasan ‘perintah atasan’. Lagi-lagi polisi melanggar konstitusi. Arogansi mewarnai setiap penjelasan mereka di kantornya sendiri, sehingga mahasiswa menjalankan aksi SMS seretak Kompol Nyamun untuk membebaskan mahasiswa.
Aksi mahasiswa difitnah ditunggangi
Entah bagaimana lagi menjelaskan bahwa tujuan aksi mahasiswa hari ini adalah memastikan konstitusi tegak di negeri ini. Bukan hanya mahasiswa, DPRD DKI Jakarta saja sudah memboikot terdakwa, DPR RI akan mengajukan hak angket, salah satu mantan menteri sudah berstatement konstitusi di media, tandanya ini murni gerakan penegakan hukum. Jika ingin diperkarakan, bisa saja kami melaporkan pencemaran nama baik BEM SI sebagai aliansi independen yang mengontrol kebijakan sosial politik.[]