Sastra Wijaya – AUSTRALIA PLUS
Agustinus Wibowo, penulis perjalanan dan fotografer asal Indonesia baru-baru ini hadir di Festival Penulis di Perth (Australia Barat). Penulis yang dikenal menguasai banyak bahasa ini berbicara dengan wartawan ABC Sastra Wijaya mengenai apa yang dibicarakan di Perth, pandangannya mengenai Australia dan buku terbaru yang sedang ditulisnya.
Anda diundang di Perth Writers Festival, apa yang Anda bicarakan di sana?
Saya tampil dua kali di Perth. Sesi pertama disebut Nomadic Lives (Kehidupan Nomadic (Berpindah-pindah). Saya tampil bersama penulis terkenal Australia Tim Cope, yang menghabiskan waktu tiga tahun mengendarai kuda berkelana dari Mongolia ke Hongaria di Eropa.
Jadi kami terlibat dalam kehidupan nomadic dalam perjalanan kami. Di tahun 2005, saya memulai perjalanan “Grand Overland Voyage”, melakukan perjalanan selama empat tahun, dimulai dari ibukota China, Beijing, dengan harapan bisa mencapai Afrika Selatan, tanpa melewati laut.
Saya tidak menyelesaikan perjalanan tersebut, karena saya akhirnya tinggal di Afghanistan selama hampir tiga tahun. Salah satu pertanyaan menarik yang kami diskusikan di panel tersebut adalah apakah kita bisa menyebut diri kita nomad modern.
Dalam pandangan saya ada perbedaan besar antara kehidupan nomadik dengan melakukan perjalanan.
Bagi orang luar, para nomad ini sering dilihat sebagai ‘orang yang bebas’ yang bebas melakukan perjalanan di dunia tanpa batas. Kenyataannya sebenarnya adalah sebaliknya. Para nomad ini berpindah empat kali setahun, mengikuti perubahan musim.
Namun mereka memiliki tempat yang tetap untuk tinggal selama musim semi, musim panas, musim gugur dan musim dingin. Jadi mereka masih dibatasi oleh batas, baik batas internasional maupun tradisional. Selain itu niat perjalanan mereka adalah bertahan hidup, mereka perlu berpindah untuk mencari air dan rumput untuk ternak mereka di musim yang berbeda.
Sebaliknya petualang modern melakukan perjalanan sesuai keinginan mereka sendiri, mereka lebih memiliki kebebasan untuk memilih kemana akan pergi dan bagaimana caranya.
Namun di sisi lain, juga ada persamaan mendasar di antara keduanya. Mereka yang melakukan perjalanan lama (misalnya selama beberapa tahun), akan menyadari bahwa ada begitu banyak hal dalam hidup ini di luar kontrol manusia, sehingga kita harus meneyrahkan diri kepada Alam yang tidak terduga.
Merasa lemah merupakan fase penting dalam kehidupan seorang pengelana, hal untuk dipahami mengenai perjalanan adalah mengurangi ego.
Para nomad sudah memiliki pemahaman yang mendalam ini dalam pikiran mereka, karena mereka merasa hanyalah satu titik kecil dalam Alam semesta, dan karenanya mereka menghormati Alam, dan menyesuaikan diri dengan perubahan alam, dan bukannya mengubah alam, dengan kekuatan mereka.
Bagaimana dengan sesi berikutnya?
Sesi lainya bertajuk This Place Called Home (Tempat Yang Disebut Rumah), bersama dengan penyair asal Nigeria Inua Ellams, dan pegiat Afrika Selatan Sisonke Msimang.
Kami bertiga ternyata pernah menjadi imigran dalam kehidupan kami, tinggal di berbagai negara berbeda, mengalami diskriminasi, atau rasisme, dan juga mempertanyakan arti Rumah (Home).
Dalam kesempatan ini, saya berbagi cerita mengenai kehidupan saya sebagai warga keturunan China di Indonesia yang dibesarkan di jaman Orde Baru. Diskriminasi yang saya alami membuat saya berpikir apakah China, tanah asal nenek moyang saya, adalah rumah saya sebenarnya.
Saya kemudian melakukan perjalanan ke China, tinggal di sana selama beberapa tahun, dan mencoba mengerti mengenai ke-China-an saya, dan menemukan bahwa saya tidaklah merasa menjadi bagian dari negeri itu, seperti harapan saya semula.
Karenanya, saya memulai perjalanan “Grand Overland Voyage”, dengan mimpi menemukan rumah sebenarnya.
Setelah melakukan perjalanan selama beberapa tahun, dan kemudian menemukan realitas bahwa rumah saya sebenarnya adalah Indonesia —dimana saya menemukan ibu saya terbaring di ranjang karena kanker dan menunggu saat-saat terakhir dalam hidupnya — saya menyadari bahwa Rumah bukanlah sebuah tempat. Rumah adalah sesuatu dalam kepala kita, dimana kita bisa berdamai dengan masa lalu dan masa depan. Ketika anda berada di titik itu, dimana saja bisa menjadi rumah anda.
Apakah ini merupakan kunjungan pertama ke Australia? Ataukah Anda sudah pernah berkunjung sebelumnya ke sini? Bagaimana Anda melihat Australia dibandingkan pengalaman mengunjungi negara-negara Asia Tengah?
Ini adalah kunjungan ketiga saya ke Australia. Semua kunjungan saya ke Australia adalah dalam rangka ikuti dalam Festival Penulis. Saya pernah diundang ke Byron Bay Writers Festival (NSW) di tahun 2014, dan Kimberley Writers Festival di Kununurra (Australia Barat) tahun 2015.
Bulan Mei 2017, saya juga akan hadir di Alice Springs Writer Festival. Kunjungan ke Australia membuat saya mengerti dan menangkap ‘budaya festival penulis’.
Saya terkagum-kagum bahwa setelah mengunjungi festival penulis di Kununurra yang terpencil letaknya (sekitar 3 ribu km dari Perth, atau 800 km dari Darwin), bahwa hampir di semua kota di Australia adalah festival penulis dan ini bisa menjadi ajang bagi kontak dekat antara penulis dan pembaca.
Di Indonesia, festival penulis dimulai di Ubud Bali, dilakukan oleh warga asal Australia Janet De Neefe, dan sekarang Ubud Writers and Readers Festival menjadi inspirasi bagi kota-kota besar di Indonesia untuk mencontoh.
Jadi budaya festival penulis di Indonesia sangat kuat terkait dengan apa yang dilakukan di Australia.
Tentu saja, kunjungan saya ke Australia lebih banyak hubungan dengan profesi saya sebagai penulis, yang memberikan pengalaman berbeda dengan perjalanannya saya ke Asia Tengah, dimana saya memiliki lebih banyak kesempatan untuk mengetahui kehidupan nyata.
Namun bagaimanapun juga, saya terkesan dengan keramahan dan sikap santai orang Australia – orang tidak saling kenal bisa berbicara di jalan, memuji atau berbicara mengenai cuaca atau penampilan orang lain.
Sama dengan saya takjub dengan keramahan dan sikap santai warga di Asia Tengah dimana merupakan hal yang biasa orang asing mengundang saya untuk minum teh atau menginap di rumahnya.
Perbedaannya dalam pandangan saya terbatas adalah Australia adalah negeri yang dipandu dan taat hukum dan aturan dimana peraturan dipasang dimana-mana di jalanan, dan warga mengikuti peraturan itu sampai ke hal-hal yang kecil.
Sebaliknya di Asia Tengah, semua bisa dirundingkan dan kita selalu bisa menemukan jalan keluar bahkan untuk hal yang mungkin tampak mustahil, karenanya anda memiliki kesempatan mengalami banyak hal yang tidak terduga.
Sejauh ini sudah berapa buku yang Anda tulis?
Saya sudah menulis tiga buku. Selimut Debu (A Blanket of Dust, 2010), mengenai perjalanan saya di Afghanistan.
Kemudian diikuti dengan Garis Batas (Borderlines: A Journey through Central Asia, 2011), yang melihat masalah perbatasan di negara-negara bekas Uni Soviet termasuk batas psikologis, dan pencarian identitas nasional.
Buku ketiga saya adalah Titik Nol (Zero: When the Journey Takes You Home, 2013), sudah dilihat sebagai pembaharu sebagai genre baru dalam penulisan buku perjalanan di Indonesia, dimana pembaca bisa mengikuti perjalanan fisik, spiritual dan emosional pengarang, dan dalam waktu bersamaan melihat konflik dan kecemasan di dalam benak pembaca itu sendiri.
Zero sudah diadaptasi menjadi film di Indonesia.
Salah satu buku yang Atulis bercerita mengenai ibu Anda? Apa yang mendasari penulisan buku tersebut?
Buku itu berjudul Zero. Setelah 10 tahun berkelana, saya harus pulang ke rumah, untuk menghadapi kenyataan bahwa ibu saya dalam keadaan hampir meninggal. Dia menderita kanker dan hanya memiliki sisa hidup beberapa hari lagi.
Jadi saya duduk di dekatnya, membacakan catatan perjalanan saya ke negeri jauh, dari tempat-tempat yang belum pernah didengarnya.
Ibu saya tidak pernah melakukan perjalanan ke manapun, jadi dengan membacakan cerita perjalanan kepadanya, saya bisa memberikan pengalaman perjalanan langsung itu dari mulut saya sendiri.
Dalam waktu bersamaan, ibu saya juga mulai terbuka, menceritakan pengalaman hidupnya, kehidupannya sebagai perempuan keturunan China di Indonesia, masa kecilnya, perjuangan hidupnya, cinta, kecemburuan, masa penantian, pemahamannya mengenai hidup dan kematian.
Ini membuat saya sadar mengenai adanya lapisan lain dalam perjalanan, untuk mengerti bahwa meskipun kami melakukan perjalanan berbeda dalam hidup kami, pada dasarnya kami berbagi perjalanan yang sama.
Buku ini saya persembahkan untuk ibu saya, namun juga saya melihat bahwa pelajaran hidup yang saya dapatkan dari perjalanan saya akan bisa membantu pemnbaca yang mengalami masalah dalam perjalanan hidup mereka.
Apa proyek terbaru yang sedang Anda lakukan sekarang? Menulis mengenai Indonesia?
Ya, ini proyek buku keempat saya akan difokuskan pada Indonesia. Bagi saya bahwa Indonesia masih berdiri sebagai sebuah negara merupakan misteri besar bagi saya.
Sebuah negeri yang begitu luas dan terbentang, dengan lebih dari 300 suku, dan lebih dari 700 bahasa, dipisahkan oleh pulau dan laut. namun masih tetap bersatu sebagai negara meski ada berbagai peristiwa kelam berdarah dalam sejarah perjalanannya. Saya ingin mengerti mengapa Indonesia bisa seperti Indonesia.
Karenanya saya memulai perjalanan dari perbatasan dengan Papua Nugini, dimana saya belajar mengenai gerakan kemerdekaan Papua Barat.
Saya juga melakukan perjalanan ke Aceh guna belajar mengetahui kehidupan di sana setelah konflik dan tsunami. Saya juga mengunjungi Belanda dan Suriname untuk melihat Indonesia dari perspektif Diaspora Indonesia.
Saya berencana mengunjungi Timor Leste tahun ini juga untuk mengetahui apa arti kemerdekaan bagi mereka yang merasakannya.
Buku ini adalah buku mengenai nasionalisme Indonesia, untuk melihat mana yang mitos dan apa yang menjadi realitas, yang merekat atau memisahkan negara kepulauan ini.
Ketika Anda menulis buku Grand Overland Journey, mengapa memilih perjalanan dari Beijing ke Afrika selatan?
Saya memulai perjalanan dengan mimpi besar. Awalnya perjalanan seperti ingin ‘menaklukkan’ dunia. Dengan dana sekitar $US 2 ribu (sekitar Rp 20 juta), saya bermimpi bisa melakukan perjalanan sejauh mungkin lewat darat dari Beijing, dan lokasi terjauh itu adalah ujung selatan Afrika Selatan.
Tetapi kemudian setelah saya melakukan perjalanan selama beberapa tahun, niat melakukan perjalanan itu berubah dalam diri saya.
Keinginan menjadi tidak lagi sekedar ingin menaklukkan dunia, namun ingin belajar dari dunia. Khususnya setelah saya ‘terdampar’ di Afghanistan, dan berada di sana selama beberapa tahun.
Saya baru menyadari bahwa tujuan bukanlah lagi hal yang penting bagi saya, namun pengalaman dan kontemplasi dari perjalanan itu sendiri yang penting.
Anda dilahirkan di Jawa dari keluarga China Indonesia, sekolah sampai universitas, tidak tamat dan kemudian memutuskan pindah ke Beijing? Mengapa? Apakah ada pertaliannya dengan Anda karena memiliki darah China?
Itu hanya salah satu alasan saja. Sebagai minoritas China di Indonesia, saya dibesarkan dengan ajaran dari orang tua bahwa kita harus bekerja sangat keras untuk bisa bertahan hidup di negeri ini. Karena itu, saya menghabiskan konsentrasi saya sepenuhnya untuk belajar sebagai prioritas pertama.
Dalam ujian nasional SMA, saya mendapatkan nilai salah satu tertinggi di propinsi saya Jawa Timur, dan saya berhasil masuk salah satu perguruan negeri terbaik di Indonesia (Universitas Brawijaya), pada saat itu sebenarnya sulit bagi warga keturunan China untuk masuk ke perguruan tinggi, karena masih adanay diskriminasi.
Namun saya kemudian kecewa dengan etos kerja para dosen di universitas. Beberapa dosen malah tidak hadir memberi kuliah tanpa pemberitahuan sama sekali.
Dosen lain memberikan nilai ujian serampangan, sehingga membuat saya berpikir mengapa saya mesti kuliah di sana. Kemudian saya mencoba mendapatkan beasiswa untuk sekolah di luar negeri, namun tidak berhasil mendapatkannya.
Tanpa sepengatahuan saya, ayah menabung cukup dana untuk mengirim saya sekolah ke luar negeri.
Ketika itu kebanyakan warga keturunan China di Indoensia akan mengirim anak-anak mereka sekolah ke Amerika Serikat atau Australia, namun orang tua saya tidak sekaya mereka, dan juga ayah saya lebih menyukai saya belajar nilai-nilai ‘Timur’ dan bukannya nilai “Barat.”
Dia kemudian mengirimkan saya sekolah ke Beijing – waktu itu belum menjadi tujuan populer -karena dia ingin saya mempertahankan identitas nenek moyang kami, dan dia juga memperkirakan di satu hari nanti China akan menjadi salah satu negara adidaya. Dan saya kira dugaannya menjadi kenyataan.
Apakah dengan pergi ke China membuat Anda merasa lebih dekat dengan orang-orang sedarah dengan Anda? Apakah Anda merasa kembali ke rumah asal karena di Indonesia, Anda masih dianggap sebagai pendatang?
Pada awalnya ya. Semasa kecil di Indonesia saya sering mendapat ejekan dari murid lain di sekolah atau orang di jalan hanya karena saya keturunan China. Berada di China untuk pertama kalinya membuat saya merasa bebas, seperti ikan berenang di lautan dimana saya tidak harus khawatir lagi mengenai warna kulit atau warna mata saya. Namun kemudian saya menyadari persoalan “Rumah” bukan sekedar masalah ras.
Di China, saya juga merasa seperti orang asing. Saya dibesarkan di Indonesia dengan nilai-nilai spiritual Jawa, yang mementingkan kebahagiaan spiritual di atas hal-hal berbau materi.
Model pemikiran seperti ini menjauhkan saya dari model kehidupan di China yang mementingkan pencapaian material.
Saya mengerti cara berpikir di China ini (karena saya juga orang China), namun kemudian saya tidak merasa menjadi bagian dari masyarakat yang menekankan pada nilai-nilai seperti itu. Di situlah saya pertama kali merasa saya benar-benar orang Indonesia, dan ironisnya itu terjadi ketika saya berada di China.
Anda disebut menguasai 16 bahasa. Bagaimana perjalanan Anda dalam belajar ini, langsung dengan mengunjungi negara-negara dimana bahasa itu digunakan?
Saya lebih suka mengunakan kata ‘belajar’ daripada disebut ‘menguasai’. Saya sudah belajar lebih dari 12 bahasa. Bahasa ibu adalah Indonesia dan Jawa, yang lain saya belajar di sekolah seperti Inggris, Mandarin, Jepang, Jerman, Rusia, dan Perancis, dan yang lainnya saya belajar sendiri seperti Urdu, Persia, Turki, Kirgistan, Kazakstan, Uzbekistan, Mongolia, Tok Pisin, Belanda, Birma, Sranan Tongo.
Namun bahasa itu seperti pisau, bila tidak digunakan akan menjadi tumpul. Saay belajar berbagai bahasa itu setidaknya sampai tingkat menengah (intermediate), yang memungkinkan saya berkomunikasi dengan penduduk lokal, dan bisa paling sedikit melakukan wawancara, namun beberapa bahasa sudah hilang karena saya tidak menggunakannya lagi.
Cara saya belajar bahasa adalah belajar mengenai aturan tata bahasa, dan beberapa kosa kata dasar sehingga saya bisa membuat kalimat sendiri untuk menciptakan kalimat.
Dan kemudian dengan berkunjung ke sebuah negara dan menggunakan bahasa di negara itu dengan aktif, kosa kata dan pengetahuan tata bahasa akan tumbuh dengan cepat.
Bagi saya mempelajari sebuah bahasa bukan saja sekedar untuk berkomunikasi dengan warga setempat, namun merupakan pintu untuk mengerti cara berpikir dan budaya penduduk setempat.[]