Film dokumenter “Nokas” mengisahkan tentang Belis, tradisi perkawinan dalam masyarakat Timor. Sutradara menghabiskan waktu 3 tahun lamanya untuk membuat film ini.
“Saya dekat dengan subjek film saya.. Hal ini yang membuat saya memilih Nokas sebagai tokoh utama. Pemuda Kupang yang masih mau bertani. Keluarga Nokas yang memiliki beragam latar dari ayah dan ibu yang bercerai dan kakak perempuannya yang hamil dan tak dinikahi. Dengan segala konflik tersebut, saya ingin memaparkan cara pandang keluarga ini melihat tradisi belis, mahar atau mas kawin,” ungkap Manuel Alberto Maia, sutradara film Nokas, saat berdiskusi di ruang Sinosofia Fakultas Filsafat UNPAR, beberapa waktu lalu.
Tradisi penghargaan terhadap wanita, terhadap air susu dan segala pengeluaran yang dikeluarkan oleh keluarga perempuan sebelumnya. Tradisi yang akhirnya mau tak mau seperti memberi harga pada wanita. Hal yang kemudian diidentikan dengan kepemilikan dan kesewenang-wenangan laki-laki terhadap wanita, menambah panjang kasus KDRT di Indonesia.
Sayangnya tidak ada angka pasti yang bisa disebutkan sang sutradara mengenai jumlah kasus KDRT yang terjadi di Kupang.
Film yang membutuhkan waktu 3 tahun pembuatan ini telah berhasil menembus Eurasia Film Festival September silam. Film Nokas ini diproduseri oleh Shalahuddin Siregar salah pentolan dari film dokumenter Indonesia. Dalam acara Festival Film Indonesia 2016, film “Nokas” masuk sebagai nominasi Film Dokumenter Panjang Terbaik.
Dalam durasi 1 jam, kita diajak untuk menapaki kehidupan Nokas secara begitu dekat dan lekat. Film berat yang pantas disimak dan didiskusikan. Karena di akhir itulah tujuan pembuatan film ini, mengangkat perdebatan tentang belis, tentang mahar dan tentang tradisi. []