More

    Pembunuhan, Seks dan Tafsir Religi


    Simon berdiri di balkon apartemennya, wajahnya kusut, rambutnya yang hampir sebahu tertiup angin. Simon tinggal di kota besar yang penuh bangunan tinggi menjulang. Suara perempuan merintih kesakitan.

    Simon tinggal bersama adik perempuannya, Katyusha, yang sakit keras. Penyakit itu membuat sang adik harus pakai masker respirator, hanya matanya saja yang tampak.

    Sehari-hari, Simon ditemani rintih Katyusha, dan seekor anjing. Simon tak bisa keluar apartemennya, bergaul dengan teman seusianya, senang-senang, dan sejenisnya. Sebab ia harus mengurusi Katyusha. Simon kesepian.

    - Advertisement -

    Satu-satunya hiburan yang bisa ia lakukan adalah internetan. Suatu waktu, ia berselancar mencari gambar-gambar Bunda Maria hingga Maria Magdalena, ditemani musik klasik. Namun pencarian itu berakhir pada gambar-gambar porno.

    Pada malam natal, ia minum anggur disaksikan adiknya. Simon mabuk, kepalanya penuh dengan perempuan-perempuan telanjang yang dilihatnya di internet. Katyusha melihat tingkah kakaknya yang menakutkan.

    Katyusha berbaring di kasurnya sambil menangis. Simon menghampirinya, dan menghabisinya dengan palu. Anjingnya terus menyalak melihat kelakuan tuannya yang sinting. Simon pun menghabisi anjing kesayangannya itu.

    Musik klasik yang biasa dinyanyikan di gereja bergema. Simon yang sebelumnya berlumuran darah, kini berdandan rapi. Mengenakan jas, memeluk kitab. Sepertinya ia akan menjalankan suatu misi suci.

    Simon merupakan tokoh fiksi dalam film “Klise Nastere” yang diputar dalam “Diskusi dan Pemutaran Film: Remaja & Hasrat Psikopat” di Kaka Cafe Jl. Sultan Tirtayasa No. 49 Bandung, Jumat (19/05/2017).

    Film tersebut karya Nier Castielroy, mahasiswa FFTV Institut Kesenian Jakarta (IKJ) angkatan 2014. Dalam sesi diskusi, Nier Castielroy mengatakan film yang diproduksi 2017 itu mengambil setting 2016 dalam lingkup mikro masyarakat perkotaan yang kesepian. Pembuatan film yang kental dengan unsur kekerasan dan seksual itu dilatarbelakangi peristiwa-peristiwa yang terjadi pada Desember 2016, dimana ada momen religi yang rutin diperingati.

    Menurutnya, peristiwa religiusitas rentan menimbulkan salah tafsir seperti yang dialami Simon. Ia adalah potret dari kondisi sosial yang sakit, menyukai kekerasan, gemar menyakiti demi kepentingan pribadi, dan seterusnya.

    Film pendek berdurasi kurang dari 10 menit itu sangat minim dialog namun sarat dengan simbol sebagai metafor. Simon mendapatkan “wahyu” yang diyakininya menyuruhnya untuk menutupi kesalahannya sendiri dengan membunuh adik dan anjingnya.

    Lewat film, “Saya ingin mennunjukan tentang kesalahan interpretasi religi,” kata Nier Castielroy yang gemar bikin film-film psychological thriller.

    Film lain yang dibikin Nier Castielroy antara lain film pendek “Muka’ku” yang meraih Best Cinematographer dan Best Director Nominee Festival Film Jawa Barat 2016. []

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here