BANDUNG, KabarKampus – Kejatuhan negara Yugoslavia seharusnya menjadi pelajaran bagi Indonesia di tengah konflik elit politik saat ini. Karena kehancuran Yugoslavia secara berkeping-keping tidak lain dan tidak bukan disebabkan oleh pertarungan elit politik yang diikuti konflik etnik dan identitas.
Hal ini disampaikan Al Araf, Direktur Imparsial kepada seratusan peserta Konferensi Jaringan Antar Iman Inonesia (JAII) di Kota Bandung, Sabtu, (05/08/2017). Diskusi yang digelar mengusung tema “Intoleransi dan radikalisme atas nama agama dalam perperktif keamanan negara”.
Menurut Al Araf, sekarang Yugoslavia tidak lagi menjadi sebuah negara. Ia telah hancur menjadi entitas negara yang berbeda beda seperti Bosnia, Serbia dan sebagainya. Padahal Yugoslavia adalah negara yang besar yang banyak orang tidak menduga akan hancur.
“Jadi kita tentu harus belajar, bahwa sebuah negara bisa hancur berkeping keping karena konflik antar elit politik yang diikuti dengan konflik identias, baik suku, agama, dan sebagainya,” ungkap Al Araf.
Untuk itu, ia mengingatkan para peserta, betapa konflik elit politik di Indonesia yang terjadi saat ini begitu mengkhawatirkan dan pada level tertentu akan mengarah pada konflik identitas. Seperti yang akhir-akhir ini terjadi, elit politik sedang menyeret masyarakat yang awalnya toleran, lalu membawanya pada persoalan kekuasaan yang melibatkan emosi mereka.
Baginya, Indonesia memang berbeda dengan negara-negara seperti Irak dan Suriyah. Namun, sepanjang elit politik tidak menggunakan isu perbedaan agama dan identitas, maka konflik bisa dihindari.
“Elit politik harus berhati-hati dalam berbicara karena ini akan sangat berdampak di masyarakat,” ungkapnya.
Oleh karena itu, menurut Al Araf, Indonesia sebagai kesatuan identitas, harus menjadi negara dirawat dan dijaga. Sehingga Indonesia tidak terjebak dalam dinamika yang dialami Yugoslavia.[]