More

    Mahasiswa dan Peran Intelektual di Era Teknologisasi

    PENULIS : SULAEMAN

    Sulaeman, mahasiswa Sosiologi Unhas.

    Pada perjalanannya peran pemuda sangat berpengaruh besar dalam membangun bangsa. Selain memiliki semangat juang yang tinggi, mereka juga memiliki power untuk menjadi jembatan penghubung antara rakyat dan pemerintah.

    Laksana pemuda adalah corong, tempat bagi rakyat untuk menyampaikan keluh kesah dan aspirasinya. Selain itu pemuda punya tanggung jawab dalam melanjutkan tongkat estafet perjuangan para pendahulu pemimpin hari ini.

    - Advertisement -

    Sejarah kita mencatat bahwa jaman perjuangan dan perlawanan para pemuda dipelopori oleh kaum terpelajar alias mahasiswa. Perjuangan kaum intelektual di negeri ini dimulai  ketika Budi Utomo yang diisi beberapa anak muda terpelajar yang belajar di Stovia, kala itu sukses menjadi organisasi pemuda yang berhasil  menjadi embrio perlawanan republik ini.

    Tahun 1908 bergulir narasi perjuangan telah dimulai. Semangat juang pemuda membuka mata dan keinginan rakyat yang sudah lama dipendam. Dari sana, impian tentang Indonesia merdeka menemukan sepercik cahaya, yang akan menghantarkan pada sebuah kebebasan dan kedaulatan.

    Jika menilik sejarah kehadiran Boedi Oetomo, bukan satu satunya tunggal perjuangan pemuda kala itu. Perjuangan lainnya pun lahir, diantaranya seperti sebut saja  Indische Vereeninging yang kemudian berubah nama menjadi Perhimpunan Indonesia. Selain itu adalah munculnya Indische Partij yang  sukses melakukan propaganda propaganda di masa prakemerdekaan.

    Kemudian ada Sarekat Islam dan Muhammadiyah yang beraliran nasionalis demokratis dengan dasar agama, dan juga Indische Social Democratische Vereeninging  yang berhaluan Marxisme, menambah  perlawanan para pemuda dalam mewujudkan cita-cita dan  arah politik menuju kemerdekaan. Semuanya waktu itu masih berupa puzzel-puzzel harapan.

    Hampir bisa dipastikan masa di atas  menjadi  suatu episode sejarah, berkobarnya semangat pemuda yang menandai munculnya sebuah angkatan pembaharu. Semangat ini yang kemudian menggelinding dan meyakinkan semangat perjuangan para founder Indonesia untuk melakukan proklamasi kemerdekaan.

    Berdasarkan kisah cerita dan bukti bukti itu tentu akan mengarah pada cerita yang sama, soal bagaimana peristiwa renggas dengklok yang menjadi  sebab terjadinya dorongan untuk segera mendeklarasikan kemerdekaan Republik ini. Jawabnya adalah kaum muda yang mengukuhkan keraguan kaum tua waktu itu dengan menculik Soekarno-Hatta. Detik detik proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 hanya satu dari bukti semangat pemuda yang nyata,

    Namun kemerdekaan di tahun 1945 ternyata tidak menyudahi  perjuangan dan perlawanan kaum muda dan mahasiswa. Tidak melawan penjajah namun melawan bangsanya sendiri, beberapa aksi dan perlawanan mahasiswa dan pemuda  dimasa orde lama dan orde baru, hingga singkat ditahun 1998 melahirkan Reformasi  yang berhasil  membuat Soeharto lengser.

    Bicara mengenai gugatan terhadap kemerdekaan dan Reformasi hari ini pun nampaknya masih menjadi sebuah pembahasan yang kurang menarik perhatian bagi generasi hari ini. Kemerdekaan pun mengalami re-defenisi yang keliru oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia pada umumnya.

    Penafsiran mengenai kemerdekaan tidak bisa diterjemahkan secara prosedural. Namun dimaknai sebagai sebuah  mekanisme formalitas yang gugur ketika upacara pengibaran bendera telah selesai lewat proklamasi semata. Kemudian upacara 17 agustusan seperti upacara seremoni HUT RI yang telah kita peringati beberapa waktu yang lalu.

    Padahal, sejatinya kemerdekaan adalah sesuatu yang sifatnya holistik. Kita bukannya dikerangkeng dan dikungkung oleh hal-hal yang sifatnya simbolis. Bukan itu saja, namun sepertinya kata bung Karno dalam pidato Trisaktinya ini perlu menjadi renungan bahwa kemerdekaan itu sesungguhnya mencakup tiga hal yakni berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian dalam berbudaya. Pidato singkat ini yang barangkali perlu menjadi renungan bagi semua kaum muda khususnya mahasiswa.

    Mahasiswa Sebagai Kaum Intelekual Organis

    Bicara pemuda tentu saja tidak dapat dilepaskan dari kata’’Mahasiswa”. Status ini (baca: intelektual organis) seharusnya benar-benar direalisasikan melalui gerakan untuk membangun bangsa, baik dituangkan dalam bentuk kegiatan organisasi, maupun terlibat aktif dalam berpartisipasi dengan lembaga atau instansi yang concern pada masalah sosial, semisal LSM.

    Bisa juga melalui karya kreatif dan kritis dalam bentuk tulisan ataupun lewat turun lansung ke jalan. Mahasiswa tidak boleh hanya larut oleh cerita heroik pada masa silam hingga melupakan tugasnya dalam mengisi kemerdekaan.

    Mahasiswa dan pemuda hari ini harus menjalankan ‘fatwa’ meminjam istilah Gramscie yang ia sebut sebagai  intelektual organik. Bagi Gramnscie intelektual organik adalah para intelektual yang tidak sekedar menjelaskan bahwa kehidupan sosial dari luar berdasar kaidah kaidah saintifik, tapi juga merupakan bahasa kebudayaan untuk mengekspresikan perasaan dan pengalaman riil yang tidak bisa diekspresikan oleh masyarakat sendiri (Leszek Kolakowski).

    Selain Gramscie, Hamka juga memberi contoh yang bagus kepada pemuda Indonesia. Semangatnya yang tinggi sebagai intelektual tidak hanya ia aplikasikan sebagai teori saja. Namun, ia terapkan dalam kehidupan masyarakat sekitarnya. Beliau memang memiliki semangat tinggi dalam menggali ilmu. Bahkan dalam pernyataannya ia mengakui perlu membaca sampai lima puluh buah buku untuk memahami satu hal mengenai agama dan emosi. Dan sebagai kaum intelektual, ia juga mengaplikasikan ilmunya dalam kehidupan sosial.

    Gagasan gagasan di atas perlu terinternalisasi, dalam diri mahasiswa sepanjang perjalanan akademiknya, mahasiswa harus peka terhadap persoalan sosial, dekat dengan masyarakat yang dihimpit ribuan persoalan, mulai dari kemiskinan, kesenjangan, sampai pada bentuk bentuk keji seperti pemerkosaan dan penindasan atas hak rakyat dan perampokan besar besaran.

    Hal ini tidak lepas dari era modern seperti sekarang yang kita hadapi. Budaya konsumtif dan teknologisasi yang sangat riskan membuat mahasiswa menjadi apatis, dan menginginkan segala sesuatu secara instan. Hal ini terlihat telanjang dari gaya hidup mahasiswa di beberapa kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, Yogyakarta, dan sebagainya.

    Berdirinya mall-mall besar di sekitar kampus menjadi potret tantangan sendiri, bagi dunia mahasiswa. Pasalnya, pengaruh untuk menjadi mahasiswa yang konsumtif sudah pasti lebih bersar dibandingkan dengan mahasiswa di daerah yang kesulitan mengakses hal itu. Apalagi dengan kecanggihan teknologi yang memacu corak atau slogan’’menjauhkan yang dekat, mendekatkan yang jauh’’ serta individualitas perilaku mahaiswa itu sendiri.

    Ancaman perlu diantisipasi lebih jauh, mengingat kecanggihan teknologi melahirkan beberapa  gaya hidup baru dikalangan mahasiswa. Salah satunya dengan menerapkan sistem copy paste saat mengerjakan tugas. Jelas, hal seperti ini akan mamatikan peran mahasiswa sebagai kaum intelkektual, dengan slogan instanisasi diera modern.

    Selain itu, yang lebih bahaya lagi apabila status mahasiswa sebagai kaum intelektual  hanya sekedar menjadi status kosong tanpa isi.  Lalu, apabila sudah seperti itu, siapakah yang yang akan diharapkan menjadi intelektual organik?

    Tidak hanya dikalangan mahasiswa, kesenjangan ekonomi pun  terjadi dikalangan masyarakat. Dimana masyarakat semakin terkotak-kotakkan dengan kelas kelas sosial melalui gaya hidupnya. Sebagai contoh, bagi kelas menengah kebawah, ia memilih belanja ditempat tempat ‘tradisional’. Berbeda dengan masyarakat atas. Sudah otomatis dia akan memilih tempat lebih elit sebagai tempat favorit yang barangkali dirasa akan disamping memenuhi hasrat dan kebutuhannya serta sekaligus memperlihatkan status sosialnya di masyarakat.

    Sebagai, kaum intelektual yang hidup di abad modern, sekarang tentu mahasiswa menghadapi dua beban ganda’’pertama’’ ia harus mawas diri memposisikan perannya dalam era teknologisasi. Tekanan untuk berperilaku konmsutif hedon dan sederet perilaku berlebihan lainnya sangat riskan, artinya instanisasi perilaku, baik secara pribadi ataupun sosial bak setan yang menggoida iman intelektual tersebut.

    Kedua memahami serta mampu memecahkan masalah kesenjangan yang terjadi di kalangan masyarakat. Bagaimana  ia tidak digunakan oleh kecanggihan teknologi di era modern. Namun, bagaimana ia menjadikan teknologi sebagai alat untuk membangun bangsanya. Salah satunya ialah bagaimana ia bisa menjadi bagian dari kaum intelektual organis seperti yang digagas dan dicontohkan oleh Hamka.

    Yang jelas, suatu hal yang pasti, bahwa mahasiswa harus menjadi kelompok sosial (collective sosial) yang berperan aktif, menjadi problem solving di tengah himpitan dan problematika sosial yang begitu kompleks. Ia harus berdiri  paling depan, mempropogandakan tatanan sosial yang bebas dari najis dan pemerkosaan struktur. Menendang jauh jauh bentuk pembodohaan yang semakin canggih dengan wajah baru.

    *Penulis: Sulaeman (Mahasiswa Sosiologi Universitas Hasanuddin, Makassar)

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here