More

    Piye Kabare Reformasi?

    Iman Herdiana

    Ilustrasi / Meme Soeharto

    BANDUNG, kabarkampus – Reformasi 1998 menjadi peristiwa historis yang perlu diberi banyak catatan kaki. Sehingga momentum bersejarah tersebut tidak berlalu begitu saja.

    “Pada titik ini, pada kilometer 20 tahun reformasi ini, saya rasa perlu kita memberi catatan kaki, apakah sesungguhnya perjalanan ini sudah mengarah ke arah yang kita mau pada saat kita mengusung reformasi,” kata Furqan AMC, aktivis 98, yang mengawali diskusi santai “20 Tahun Reformasi” di Kaka Cafe, pekan lalu.

    - Advertisement -

    Diskusi ini dihadiri sejumlah narasumber aktivis 98, diantaranya Priston Sagala, aktivis 98 dari GMNI, Irzal Yanuardi, aktivis 98 dari FAMU, dan Budi Yoga, aktivis 1998 dari Unpar.

    Furqan melanjutkan, ada banyak pertanyaan yang muncul terhadap reformasi. Pertama, apakah jalan dan hasil reformasi sesuai dengan yang diharapkan oleh para pengusung reformasi itu sendiri? Apa saja yang sudah dicapai dan apa yang belum, siapa saja yang teribat dan mengusung reformasi, apa hasilnya, siapa saja yang menikmatinya, dan seterusnya.

    “Sehingga banyak sekali turunan pertanyaan-pertanyaan yang bagi kita tidak sederhana, harus didiskusikan dengan banyak pihak,” lanjut aktivis Forum Aktivis Mahasiswa Unisba (FAMU) ini.

    Bahkan kini aktivis 98 menghadapi pertanyaan yang sifatnya lebih eksistensialis, antara lain “Piye kabare? Enak zamanku toh?”. Pertanyaan tersebut muncul dalam bentuk poster atau stiker bergambar Suharto dengan senyumnya yang khas. Stiker ini biasanya ditempel di belakang mobil.

    Romantisme memang biasa muncul di setiap masyarakat post-otoritarian termasuk Indonesia pasca rezim Orde Baru. Bahkan fenomena serupa juga muncul di zaman kemerdekaan, tidak sedikit yang ngomong “enak zaman wong Londo (Belanda)”, “zaman republik lebih susah”, dan pernyataan-pernyataan eksistensialis lainnya.

    Padahal, kata Furqan, mereka lupa sedang berada di zaman transisi. Orang yang berada di era transisi cenderung merindukan masa sebelum terjadinya transisi.

    Tapi Furqan juga melihat pertanyaan “Piye kabare” tidak muncul alamiah, melainkan ada upaya konstruksi untuk membangun kesadaran yang regresif atau mundur.

    Siapa pun yang membikin stiker “Piye kabare” bisa diasumsikan sebagai pihak yang tidak suka reformasi. Bahkan, lebih jauh terkesan berusaha menegasikan gerakan reformasi.

    Sayangnya, kesadaran regresif tersebut berkelindan dengan penyimpangan kesadaran lainnya yang terjadi di masyarakat, yaitu fanatisme sempit terhadap orang per orang. Banyak orang bicara “Pokoknya Megawati”, “Pokoknya Amin Rais”. Bahkan hingga sekarang orang-orang sibuk bicara “Pokoknya Jokowi”, “Pokoknya Prabowo”. Mereka lupa persoalan sesungguhnya adalah reformasi sistem, bukan sekadar ganti penguasa orang per orang.

    “Saya pikir situasi ini harus dijawab. Siapa yang paling berkepentingan menjawab? Menurut saya ya teman-teman yang mengusung reformasi,” katanya.

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here