More

    Belenggu “Baperisme,”

    Oleh: Baqi Maulana Rizqi

    Adakah disini yang tidak begitu mendapat respon, ketika memilih berpikir lebih panjang dan lama terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk bergerak, bekerja dan aktivitas lainnya. Kalaupun toh ada, apa yang Anda rasakan? Muakkah atau kesal dan mbatin?

    Ilustrasi / www.psychologicalscience.org

    Iya kurang lebih begitulah realitas hari ini. Orang ataupun sebagian dari kita, tidak begitu suka bepikir panjang untuk nantinya memutuskan cara atau metode mana yang akan dilakukan untuk situasi yang sedang dihadapi. Paling banter kita akan mendapat cap, lola (loading lama). Tak bergairah dalam hidup serta cap-cap miring yang lainnya, termasuk cap topi miring (eh becanda).

    - Advertisement -

    Mengecap-ngecap adalah bagian kelompok manusia yang mengalami ejakulasi dini kali yah? Artinya ejulasi dini dalam mengambil kesimpulan. Intinya lebih banyak subjektifnya, senenak wudel saja main ngceap-ngecap.

    Praktis sekali memang cara kita melakukan segala sesuatu, apakah tidak ada dampak yang nantinya berpengaruh pada hasil ataupun capaiannya, yang jelas ada. Sebab muaranya kita akan lebih praktis, sehingga hasilpun seadannya. Artinya memang tidak bisa disalahkan sebelah pihak juga, karena industrialisasi membawa situsai sosial begitu. Ditambah pula hadirnya teknologi yang berperan besar dalam kehidupan manusia sekarang, semakin praktis kan?.

    Tapi, soal substansi apakah ada jaminan. Agh, saya pikir tidak begitu menjamin. Sebab ketika cara-cara yang dipakai praktis, ya jelas hasilnya pun tidak kurang dari proses tersebut.

    Tampaknya, yang suka buru-buru, panikan, serta yang mengkonsumsi dan mempraktikan baperisme akut harus sering-sering mendengarkan lagunya SLANK yang berjudul alon-alon asal kelalon. Artinya, berpikir panjang sangat perlu dilakukan. Kenapa begitu, untuk menganalisis lebih dalam agar nantinya kesimpulan yang diambil sesuai dengan fakta-fakta, sehingga mengarahkan kepada yang namanya objektivitas.

    Misal, jika saya tawarkan premis seperti ini: ‘komunikasi adalah bagian dari cara manusia itu eksis’. Apakah ada yang menyepakati? Kalau ada iya syukur, kalau tidak ada ya tidak apa. Apalagi kalau yang tidak peduli, iya jelas orang sekarang sukanya yang praktis-praktis.

    Kenapa saya membuat premis tersebut, karena seperti ini. Sudah menjadi kemakluman kita bersama bahwa, setiap hari manusia mengolah apa itu kata, lalu dibahasakan dengan bentuk bicara dan lain-lain. Tidak ada persoalan baik atau buruk, benar atau salah, bicara menjadi penentu. Ia menghadirkan perbicangan sehingga ia hadir artinya ia eksis. Karena secara sederhana perangkat yang mutlak hadir dalam komunikasi itu sendiri dengan adanya komunikan, komunikator, pesan, dan media.

    Apakah bebas nilai? Sangat bebas saking bebasnya ada yang mengkritik lewat lagu yang berjudul Pidato Retak, sebuah lagu yang mengambarkan kontradiksi apa yang di pidatokan oleh para pemimpin dengan kesesuaian dengan fakta yang ada dimasyarakat.

    Apakah ada jaminan, hari ini setiap orang yang berbicara itu murni tanpa ada kepentingan apapun. Kalau toh pun murni, kan sudah dijelaskan soal komunikan, komunikator, pesan, dan media. Artinya disitu ada pesan, dan jelas pesan tersebut sangat bergantung pada penyampai  pesan tersebut dan artinya sangat sarat kepentingan.

    Ketika saya kaitkan dengan gambaran yang sudah dipaparkan diatas, soal kita yang lebih ejakulasi dini karena kita lebih suka yang praktis-praktis tanpa terlebih dahulu mengalaisis dan informasi-informasi yang lain dengan premis ‘komunikasi adalah bagian dari cara manusia itu eksis’, adalah bagaimana saya mau mengajak untuk kita bisa bepikir lebih panjang. Artinya bukan juga untuk berlasaan malas-malasan, atau memperlama, dan alasan-alasan pembelaan semata. Akan tetapi alangkah lebih bijaknya, kita mampu menghayati betul situasi dan kondisi yang ada. Karena dengan seperti ini memperbesar ruang kemungkinan, jika bang Iwan Fals mengatakan setiap hari selalu ada kemungkinan adalah bagian dari cara manusia memanfaatkan potensi akal yang sudah dikaruniai.

    Artinya, bagaimana kita mau menuju masyarakat madani, jika potensi akal untuk merasionalisasikan yang ada untuk di carikan kegunaan serta manfaatnya tidak mendapat tempat atau terhalangi oleh dominasi-dominasi rasa yang terpendam, seperti lirik lagunya band-band yang beraliran baperisme.

     

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here