More

    Sepucuk Surat Toleransi Untuk Masa Depan

    Penulis : Sidik Permana

    Alice mengajarkan kepada kita untuk, “memikirkan 6 hal mustahil sebelum sarapan.” Setiap pagi, terpikirkan suatu dunia yang penuh perdamaian, orang-orang mulai berbicara satu sama lain tanpa kepalsuan dan sentimentalitas, kebencian berlandaskan histori kelam, atau publikasi ilmuwan Nazi mengenai arya Jerman (euforia Darwinisme). Toleransi sempurna (tanpa cacat dan multitafsir) adalah bagian dari enam mimpi mustahil itu.

    Ilustrasi (gambar : Unesco)

    Mari rehat sejenak dan renungkan kemustahilan itu, bagaimana mempersatukan visi toleransi manusia yang berbeda-beda? Konsep dan definisi bisa jadi sama, tapi belum tentu dengan visinya. Toleransi para nasionalis garis keras seperti Hitler, marxis taat seperti Stalin, ataukah para fundamentalis berjubah agama, hanya terbatas pada kelompok tertentu saja. Ibnu Khaldun, peletak dasar sosiologi berkata bahwa perwujudan dari faedah (maslahat) manusia di bumi lewat kemampuannya menundukan bumi agar menjadi pelayan manusia membuat mereka selalu mencari sesama ras manusia agar ia membantunya mencapai suatu tujuan (As-Sirjani, 2015). Kelahiran toleransi merupakan berkat atas kelemahan manusia sehingga membutuhkan uluran tangan orang lain.

    Keterbatasan manusia dan kondisi yang sulit memaksa mereka untuk hidup berdampingan dengan manusia dan komunitas lain. Ibnu Khaldun menambahkan bahwa sikap hidup berkelompok (homo socius) manusia adalah naluri karunia Tuhan (As-Sirjani, 2015). Oleh karena itu, menarik meninjau ulang makna toleransi, yang sebenarnya memberikan sumbangsih prediksi masa depan umat manusia, dan yang terpenting adalah bagaimana ia bisa mempertemukan—bahkan memisahkan—umat manusia menjadi sebuah perdamaian abadi atau permusuhan laten. Padahal cita-cita bangsa sudah termuat dalam mukadimah UUD Tahun 1945 alinea ke 4, perdamaian abadi.

    - Advertisement -

    Ketakutan Akan “Benturan”

    Keselamatan adalah unsur utama perkembangbiakan (Brodie, 1996). Itu merupakan salah satu alasan mengapa manusia bertahan hidup dengan jalan bekerja sama. Tidak lain adalah demi meneruskan kisah hidupnya pada generasi baru. Salah satu faktor pendorong seseorang berhubungan dengan orang lain, ialah fiksi toleransi.

    Meski konsep ini berkembang sebagai pedoman berperilaku manusia di tengah pluralisme, nyatanya dunia ini terus bergerak ke arah suatu konflik besar yang terpendam. Abdul Lathif Amir dalam karyanya Ahkan Al-Asra wa As-Sabaya fi Al-Hurub Al-Islamiyyah pernah meneliti total peperangan yang terjadi sejak awal sejarah manusia hingga tahun 1945. Dalam penelitiannya, ia menemukan fakta mengejutkan sebagai berikut: terjadi 34.531 perang selama 5560 tahun; dengan jumlah rata-rata 6,2 perang per tahun; di antara 185 generasi, yang mengalami kedamaian hanya sepuluh generasi saja (As-Sirjani, 2015).

    Seakan-akan menjadi bom waktu, toleransi menjadi begitu mudah dimanfaatkan sebagai alat legitimasi permusuhan. Kita lihat, dalilnya menjadi alat pemaksa milik aktor konflik untuk menjejali orang-orang agar menerima konsep toleransi versinya tanpa memperhatikan fondasi yang telah terbangun secara normatif. Di samping pemaksaan “toleransi” versi aktor, toleransi juga diartikan sebagai “pengabaian”, bahasa anak mudanya, up to you. Jadi, rumusnya adalah mengabaikan sama dengan kebaikan, teguran adalah genderang perang. Artinya, altruisme (suka mementingkan orang lain) hanya bisa ditemukan bila dia tidak mempermasalahkan apa yang dilakukan oleh orang lain secara cuma-cuma. Tidak heran bila toleransi diartikan juga dengan, “urus saja urusan kau sendiri”.

    Banyaknya versi toleransi dapat menciptakan benturan yang tidak dapat dihindarkan. Tapi, toleransi memberikan jalan untuk menyelesaikan clash itu, toleransi yang sesungguhnya dan sanggup melewati aral gendala, yaitu “ketahuilah dirimu sendiri, dan pahamilah orang lain”. Maka, kita memasuki spektrum toleransi, pancaran dari satu cahaya yang menghasilkan hasil yang berbeda-beda, itulah sesungguhnya warna toleransi.

    Spektrum Toleransi

    Ilustrasi

    Terlalu naif bila menyimpulkan bahwa toleransi benar-benar akan hilang. Namun, berani juga bila mengatakan bahwa toleransi sedang merangkak ke bentuk baru. Pada tahun 1995, UNESCO mengeluarkan deklarasi prinsip-prinsip toleransi, bunyinya, “Toleransi adalah penghargaan, penerimaan dan penghormatan terhadap berbagai macam cara-cara kemanusiaan, bentuk-bentuk ekspresi dan kebudayaan” (Baghi, 2012). Inilah titik balik universalisme atas konsep toleransi, yang bahkan masih diartikan sebagai, “whatever”.

    Ricoeur dalam karyanya Lecturer I, Autour du Politique, melihat toleransi sebagai suatu asketisme (kerelaan berkorban dan kesederhanaan), karena toleransi berkaitan dengan pengekangan diri (Baghi, 2012). Dalam lingkup kultural, dapat dipahami bahwa toleransi bermakna sikap saling mengerti dan menerima segala diversitas budaya dalam hubungannya dengan yang lain. Dari aspek religius-teologis, toleransi diartikan sebagai refleksi dan penghayatan akan kebenaran dalam cahaya simpatik atau karitas (la verit’e dans la charit’e).

    Toleransi dari berbagai perspektif menunjukan ketidakterikatannya hanya pada satu definisi tunggal. Keberagamannya menunjukan konsep yang kaya akan pengertian. Persamaannya adalah nilainya yang mampu menunjukan cara pergaulan hidup antar manusia di tengah-tengah perbedaan cara pandang dan prinsip hidup, sebagai contoh bagaimana toleransi ini dilakukan di kerajaan Mughal, India.

    Perlu kita sadari, ikatan pergaulan itu bukanlah penjara kebebasan, melainkan pedoman perilaku yang berkesadaran. Karena itulah, lebih tepat bila toleransi sesungguhnya dikatakan sebagai Vipassana, salah satu bentuk meditasi, dalam bahasa Pali, India Kuno yang berarti “introspeksi”. Toleransi adalah instrospeksi diri.

    Jadi, sebagian orang berpendapat bahwa toleransi adalah, it’s up to you and it’s up to me. Pernyataan itu cenderung beresiko menimbulkan gesekan, khususnya bagi negara dan agama, yang notabene peletak fundamental aturan dasar antara bernegara dan berkeyakinan dengan dimensi dan jalan yang berbeda (terkecuali negara dengan agama sebagai konstitusi tertinggi). Mungkin kaum Hippies lebih sepakat dengan gagasan anti-pengekangan dan kebosanan, namun naluri manusia untuk aman dan damai menolak untuk tandas akibat kebebasan yang kebablasan. Karena yang dibutuhkan di tengah-tengah pluralisme adalah toleransi berkesadaran, khususnya Indonesia, bukanlah memberi otoritas subjek sebebas mungkin, melainkan dengan kesadaran akan keberadaan orang lain. Hal ini senada dengan pernyataan Felix Baghi (2012), “Kita boleh saja menyetujui semua cara hidup yang berbeda-beda. Namun, persetujuan ini berlaku sejauh tidak merugikan pihak lain”.

    Spektrum cahaya toleransi yang terbiaskan dan diterima boleh beragam. Namun, yang perlu diperhatikan bukanlah pembiasannya, melainkan keindahan dan corak warnanya. Apakah toleransi yang bijaksana itu? Akal sehat yang baik pasti akan melihat bahwa toleransi sesungguhnya adalah how to undestand. Dan itu adalah bagaimana mematuhi rambu-rambu yang ada untuk menghindari kecelakaan prinsip hidup.

    Aku Bersumpah! Toleransi Masih Ada

    Aristoteles (1995) menyimpulkan satu hal, “cara hidup yang terbaik, baik untuk kota atau individu, adalah kehidupan dalam kebaikan, yang diperlengkapi sepantasnya seperti sebuah warung kelontong yaitu kebaikan eskternal dan kebaikan tubuh—yang memungkinkan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kebaikan”. Dari damai hingga perang berlandaskan “ketidaktahuan”, semua itu bisa membuktikan keberadaan toleransi. Bagaimana toleransi beragama di Selandia Baru mengantarkannya menjadi negara terdamai di dunia, dan siapa sangka disana pula terjadi tragedi Christchurch atas dasar “kekhawatiran” pada intensitas golongan muslim yang kian meningkat. Terkadang musuh terbesar manusia bukanlah apa yang ada di hadapan kita ataupun kerabat dekat, melainkan ketidaktahuan dan keengganan kita untuk memahami satu sama lain. Andai saja Inggris dan Amerika tidak pernah menyetujui negara Israel di Palestina setelah Perang Dunia II, mungkin kita tidak akan pernah melihat berita “bencana kemanusiaan terburuk abad modern”. Apakah mereka paham?

    Tesis Clash Civilization, Samuel Hutington, memberikan deskripsi jelas akan benturan antar peradaban yang akan meluluhlantahkan rasa persaudaraan. Menurut tesis itu, manusia selalu dibagi menjadi beragam peradaban yang anggotanya memandang dunia dengan cara yang tidak dapat didamaikan (Harari, 2018). Terdengar mengerikan, hanya saja pluralisme itu memang takdir dan tentunya ada batasan dari kemampuan kita untuk selalu terhubung. Maka perbedaan itu pasti ada, sekalipun globalisasi menjadi pemutus batas-batas geografis. Justru dari sinilah, kita belajar bahwa kesamaan kita—Sapiens—adalah keinginan akan rasa aman, demi terhindarnya  “benturan”. Lalu, mengapa Huttington memandang dunia sesadis itu?

    Pemerasan terhadap makna toleransi dimanfaatkan oleh segelintir orang sebagai legitimasi kebencian. Islamophobia adalah contohnya. Imbasnya adalah ketakutan terhadap hal-hal berbau islam, belum lagi beberapa ajarannya yang “diduga” oleh oknum penganut sekuler, dan lainnya menilai Islam agama intoleran. Misalnya, rajam. Brunei Darussalam yang memberlakukan hukum syariah untuk LGBT langsung menjadi sorotan dunia dan tentunya dikeroyok dunia barat. Amerika, kiblat liberal dunia, menilai hukum itu tidak manusiawi. Lalu, di mana letak toleransinya? Mengapa mereka tidak memilih untuk bersantai sambil mengopi di Brunei dan berdiskusi soal keislaman. Jadi, berhentilah menjadi yang “merasa terbaik”, karena kita tahu bahwa hanya Tuhan yang terbaik. Oleh karena itu, manusia sejatinya harus bisa saling memahami bahwa ketidaksempurnaan adalah kodrat, termasuk toleransi. Sehingga, selama manusia memikirkan hidup damai, selama itu toleransi pasti berdengung, namun yang ditekankan adalah toleransi yang berkesadaran, memangnya orang gila mana yang menyatakan bahwa “toleransi hanya untuk ku”.

    Ujung Jalan Toleransi : Damai Demi Tuhan 

    Mim “every day, we’re getting away from god”. Sebuah mim sederhana untuk mengkritik bahwa hidup kita semakin menjauh dan menjauhkan diri dari Tuhan. Padahal, jika berdamai demi senyum Tuhan, bukankah menjadi legitimasi kebaikan. Lupakan noda masa lalu, misalnya Perang Salib. Kita tahu bahwa perang-perang itu hanya permainan kekuasaan, yang menunggu hasil antara menang dan kalah, tapi lupa dampak kehancurannya.

    Dengan pasrahnya kita berkata bahwa “Tuhan telah mati”, seperti Nietszhe. Padahal, bagaimana nilai dan makna bisa hidup, bahkan toleransi, tanpa ada bimbingan Tuhan untuk saling berharmoni dengan keyakinan manusia lain, hewan, tumbuhan, dan alam. Tanpa ide tentang Tuhan takkan ada makna, kebenaran, atau moralitas mutlak: etika hanya menjadi persoalan selera, rasa, atau perilaku. Tanpanya pula, politik dan moralitas akan menjadi pragmatik dan licik, tidak bijak (Armstrong, 1993).

    *Penulis adalah Anggota Geostrategy Club

    Daftar Pustaka

    Aristoteles. (1995). Politic. New York: Oxford University Press.

    Armstrong, K. (1993). A History of God: The 4000-Year Quest of Judaism, Christiany and Islam. New York: Ballantine Books.

    As-Sirjani, R. (2015). The Harmony of Humanity: Teori Baru Pergaulan Antarbangsa Berdasarkan Kesamaan Manusia. DKI Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

    Baghi, F. (2012). Pluralisme, Demokrasi dan Toleransi. Yogyakarta: Ledalero.

    Brodie, R. (1996). Virus of the Mind. DKI Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).

    Harari, Y. N. (2018). 21 Lesson for the 21st Century. Manado: CV. Global Indo Kreatif.

     

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here