ABC AUSTRALIA
82 persen warga Asia Australia pernah mengalami diskriminasi dan tindak rasisme demikian diungkapkan dalam Konferensi Kepemimpinan warga Asia Australia minggu ini di Melbourne.
Warga Asia di Australia sebenarnya hanya sebesar 14,7 persen dari keseluruhan penduduk Australia. Dari jumlah tersebut, yang benar-benar lahir di Australia hanyalah 30,5 persen.
Studi yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Metode Sosial di Australian National University (ANU) di Canberra mewawancara 2547 orang yang 765 darinya mengaku sebagai warga Asia Australia dan pernah mengalami diskriminasi dan rasisme.
Persentase rasisme tertinggi dari data tersebut terjadi di lingkungan tempat kerja dengan angka 65 persen.
Jadi bagaimana pengalaman warga asal Indonesia yang sekarang tinggal di Australia?
Salah seorang diantaranya adalah Bernard Leon Lokman yang mengatakan pernah menerima tindakan rasisme di lingkungan kerjanya yang merupakan industri kesenian.
Walau sudah bertutur Bahasa Inggris lancar layaknya penduduk lokal Australia, Bernard yang adalah seorang penyanyi opera mengaku masih mengalami tindak rasisme dari beberapa pihak dalam dunia kerja.
“Tidak separah itu, tapi ada beberapa kejadian di mana saya diganggu orang karena warna kulit dan kebanyakan yang saya alami adalah diskriminasi dalam profesi, secara tidak langsung.”
Ia teringat akan kejadian yang menimpanya ketika hendak mendaftar ke University Western Australia sebagai mahasiswa jurusan Seni Rupa belasan tahun lalu.
“Karya saya sebelumnya (portofolio) banyak yang bercerita mengenai rasisme. Sewaktu wawancara, pewawancara berkata, ‘Saya tidak yakin apakah saya harus menerima seseorang dengan amarah sebesar ini.” kata Bernard menceritakan wawancara yang dilakukannya.
Selain bekerja di bidang seni, Bernard juga bekerja paruh waktu di sebuah kedai kopi di pusat kota Melbourne di mana ia juga mengalami tindakan rasisme dari atasannya.
“Dalam pekerjaan sehari-hari selalu terasa ada standar ganda. Ekspektasi produktivitas kita [warga Asia Australia] lebih tinggi daripada ras kulit putih.”
Namun, laki-laki yang sudah hampir 16 tahun lamanya menjadi warganegara Australia ini merasa bahwa bentuk rasisme yang paling sering ia alami adalah yang berkaitan dengan orientasi seksualnya.
“Rasisme yang paling saya rasakan adalah rasisme terhadap pria gay dari kalangan Asia. Rasisme seksual dalam komunitas LGBTIQ+ sangatlah menonjol.” tambah Bernard kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.
Di dalam laporan, memang ditemukan bahwa tingkat diskriminasi terhadap komunitas LGBTQIA+ yang lahir di luar Australia lebih parah dibandingkan dengan yang lahir di Australia.
Ditendang dari belakang
Adista Nuratika merasa kecewa terhadap perlakuan seorang warga Australia yang menendangnya dari belakang ketika sedang menonton lomba balap mobil Formula One (F1) Maret tahun ini di Albert Park Melbourne.
Saat itu, para penonton berdiri untuk menyanyikan lagu kebangsaan Australia bersama-sama.
Mahasiswi S1 Universitas Deakin di Melbourne yang saat itu pergi bersama ketiga temannya ini namun tidak berdiri karena merasa lelah setelah beraktivitas seharian.
Di antara kedua teman lainnya yang juga masih duduk, Adista merasa terkejut saat menerima tendangan yang menurutnya dilakukan oleh seorang remaja laki-laki Australia.
“Yang lucunya itu dia hanya menendang saya saja, padahal di depan ada juga yang tidak berdiri dan di belakang saya pun ada orang Australia yang tidak berdiri juga.”
Adista merasa bahwa tindakan ini dilakukan oleh remaja Australia tersebut dalam keadaan tidak sepenuhnya sadar.
“Mungkin memang benar kalau kata orang-orang dia sudah mabuk, karena biasanya sebelum pertandingan F1 orang-orang pada minum dulu. Ini mengapa mungkin dia sudah setengah sadar,” katanya.
“Saya juga berpikirnya dia mau memberi tahu pelan-pelan tapi karena sudah mabuk jadi agak agresif.”
Menurut survei, sebesar 57 persen tindakan rasisme pada warga Asia Australia terjadi di acara olahraga.
Kejadian yang menimpa Adista, meski ia bukan adalah warga Asia Australia, turut mengilustrasikan penelitian tersebut.
Walau demikian, Adista mengatakan bahwa menurut pengalamannya, tidak semua orang Australia memperlakukannya seperti itu.
“Kebetulan di universitas saya ambil jurusan fotografi yang sedikit orang Indonesianya dan Asianya. Jadi saya main dengan orang Australia yang menurut saya orangnya baik-baik,” kata perempuan 22 tahun itu.
“Memang ada satu atau dua orang yang kelihatannya tidak suka sama saya, tapi sejauh ini pengalaman rasisme yang paling parah adalah saat ditendang di F1 ini.”
Rajin namun tidak ditawarkan kerja
Rasisme ternyata juga umum terjadi di sektor pendidikan di Australia. Sebanyak 65 persen warga Asia Australia di sekolah mengalami tindakan rasisme.
“Rasisme itu bagian dari drama kehidupan. Sudah kodrat manusia untuk selalu membantu mereka yang merasa nyaman dulu,” kata Julia Beeston, warga Indonesia yang datang ke Selandia Baru 26 tahun lalu.
“Dan nyaman itu biasanya karena banyak kesamaan.”
Julia Beeston yang berusia 55 tahun lahir di Sulawesi dari seorang ayah yang datang dari China dan ibu orang Parigi, Sulawesi Tengah.
Di tahun 1993, Julia pindah ke Selandia Baru untuk melanjutkan kuliah, namun akhirnya berhenti di semester tiga diploma untuk melanjutkan usaha kedai sarapan dan makan siang di sana.
Ia mengatakan sering sekali menjadi korban rasisme seumur hidupnya meski sudah berpindah-pindah negara mulai dari Selandia Baru, Australia hingga Arab Saudi.
Salah satu pengalaman pahitnya terjadi di Adelaide, ibukota Australia Selatan, dari tahun 2002 sampai 2007.
“Waktu anak saya mulai sekolah SD, orangtua murid banyak yang diminta untuk jadi sukarelawan di sekolah membantu guru mendengar anak-anak membaca,” kata ibu dari dua orang anak ini.
“Saya di sekolah anak saya setiap hari bantu segala macam. Bahkan kadang seharian. Tapi, waktu itu, ada lowongan kerja yang dibayar, dan yang ditawarkan pasti orang kulit putih saja padahal mereka hanya nongkrong di kantor.”
“Saya setiap hari pasti bantu. Yang orang Australia mah boro-boro, seminggu sekali saja. Kadang dua minggu sekali baru kelihatan.”
Karena penasaran, perempuan yang kini bekerja di perusahaan minyak di bagian pelatihan pekerja kontrak di Arab Saudi ini bertanya kepada kedua orangtua yang ternyata ditawarkan pekerjaan langsung oleh pihak sekolah.
Ia merasa kecewa mengetahui pekerjaan tersebut ditawarkan oleh seorang penjaga perpustakaan yang selalu melihatnya bekerja setiap minggu.
“Salah satu dari orangtua ini ditawarkan pekerjaan secara langsung oleh penjaga perpustakaan yang setiap hari lihat saya jaga anak dengan keterbelakangan,” kata Julia Beeston.
“Hal seperti ini yang membuat kesal. Kalau ada lowongan pekerjaan dibayar bukannya seharusnya ditawarkan ke orang yang memang sudah membantu dari awal, bukan?”tambahnya lagi.[]