More

    Dinamika Demonstran

    Penulis : Andi Juliandrie Abham*

    Jika membahas demonstrasi, yang paling pertama diingat ialah mahasiswa. Karena memang bukan tidak mungkin tokoh utama dibalik demonstrasi dilatarbelakangi dari kaum intelektual yang berstatus mahasiswa.

    Mahasiswa sendiri adalah sebutan bagi orang yang sedang menempuh pendidikan tinggi di sebuah perguruan tinggi yang terdiri atas sekolah tinggi, akademi, dan yang paling umum adalah universitas. Sepanjang sejarah, mahasiswa di berbagai negara mengambil peran penting dalam sejarah suatu negara. Dalam diri seseorang yang berstatus mahasiswa memiliki potensial dalam memahami perubahan dan perkembangan di dunia pendidikan serta di lingkungan masyarakat.

    Mahasiswa sendiri memiliki posisi dan peran sebagai agent of change, social controler, dan the future leader, ketiga fungsi tersebut sangatlah berat untuk dijalankan di tengah masyarakat yang mayoritas lebih memilih bersikap apatis terhadap permasalahan yang terjadi di Indonesia, tidak melakukan sesuatu saja terkadang dicap salah apalagi jika melakukan sesuatu meskipun sesuatu yang dilakukan tersebut berdampak bagi mereka kedepannya.

    - Advertisement -

    Yah, itulah kearifan modern yang menjadi budaya dalam benak setiap insan di Indonesia, seketika menjadi polisi moral hingga tiba – tiba menjelma layaknya Tuhan. Menjadi mahasiswa yang bisa diterima semua kalangan sudah seperti sila kelima Indonesia saja, hanya sebuah mitos yang tak bermetamorfosis menjadi sebuah fakta, meski dengan begitu kegandrungan terhadap keadilan telah tertanam dalam benak setiap mahasiswa.

    Di era sekarang ini, mahasiswa sering kali dicap minor oleh masyarakat awam yang memandang sesuatu hanya dari satu sisi, menjelma sebagai insan yang sudah pasti benar dengan pengetahuan yang ia punya meski pengetahuan itu ia dapat hanya melalui layar kaca TV atau ponsel, sering membenci sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya itulah yang terjadi pada otak – otak insan yang kerjanya hanya nyinyir.

    Yang paling sering terucap dari tuan dan nyonya nyinyir jika mahasiswa turun ke jalan mengawal aspirasi rakyat ialah “demo terus bikin macet”. Mereka seolah tidak sadar jika bukan mahasiswa yang  memantik gerakan perubahan atas kondisi negara, siapa lagi? Sudah tidak mungkin jawabannya adalah orang – orang yang kerjanya nyinyir di sosial media, karena perubahan sosial tidak akan terjadi jika hanya media sosial. Jika macet membuat mereka merasa dirugikan, bagaimana dengan mahasiswa yang rela mengorbankan kenyamanannya demi mereka, berapa jam saja jalan mereka dipinjam untuk dijadikan titik aksi karena tidak mungkin juga aksi dilakukan dalam gedung terlebih kapasitas gedung yang berbanding 1 : 5 dengan massa aksi. Berbeda dengan pejabat negara yang membuat macet uang rakyat, dimana saja ia bisa memacetkan uang rakyat, bisa di mall dengan berbelanja sepuasnya atau bahkan keliling dunia.

    Mahasiswa turun ke jalan bukan asal turun ke jalan saja, ketika ada terjadi polemik mahasiswa terlebih dahulu menjalin komunikasi dengan pihak yang terkait dengan polemik yang ada. Meraka berdialog mencari solusi tetapi seringkali pihak terkait menolak sehingga demonstrasi menjadi pilihan terakhir untuk menyampaikan aspirasi terhadap polemik yang terjadi.

    Di sisi lain, tidak menutup kemungkinan ada beberapa faktor juga yang memicu reaksi negatif dari masyarakat. Hal itu saat demonstran bertindak anarkis termasuk merusak beberapa fasilitas umum. Biasanya tindak anarkis terjadi saat situasi di lapangan sedang memanas antara demonstran dengan aparat kepolisian. Kadang juga dikarenakan adanya penumpang gelap yang menjadi provokator untuk membuat aparat keamanan negara melakukan tindakan represif terhadap demonstran dan menjadi acuan dari tindak anarkis.

    Dengan begitu, apapun alasannya itu tindakan yang seharusnya tidak dilakukan oleh demonstran agar menjaga ritme perjuangan yang ia perjuangkan. Selain tindak anarkis, salah satu pemicu masyarakat menilai negatif dari sebuah demonstrasi sendiri ketika banyak mahasiswa yang mengabadikan momen tersebut dengan ponsel mereka. Entah untuk mengenang kejadian atau bahkan sekedar instastory saja dan lagi – lagi tindakan tersebut menjadi bahan celaan bagi orang yang katanya berpendidikan itu. Sebagaimana cuitan Boy Candra “Kalau kegiatan mahasiswa mereka masukkan ke instastory dan media sosial memang kenapa? Itu juga cara menyebar informasi dan menyeimbangi media – media biasa. Tidak semua media meliput semua sisi aksi, media sosial hadir untuk memberitahu masyarakat yang lebih umum.”

    Cuitan itu cukup merespon mengenai hal tersebut dan lagian juga instagram diciptakan memang tujuannya untuk pamer, jika tidak suka cukup klik unfollowed atau block. Untuk kedepannya, agar mengurangi reaksi yang berbau negatif, perlunya mahasiswa mengadakan seminar atau dialog terbuka mengenai apa itu sebenarnya demonstrasi. Akan tetapi melihat kondisi teknologi yang sudah sangat canggih seperti sekarang ini, mungkin teknologi yang canggih itu bisa dipergunakan masyarakat untuk mencari sesuatu yang belum kita pahami seutuhnya sebelum mengeluarkan pendapat, karena membaca dan memahami sebuah konflik yang terjadi akan jauh lebih baik daripada berkoar dengan satu referensi.

    Berdasarkan reaksi dari polemik – polemik sudah sangat menjelaskan bagaimana fungsi mahasiswa, akan tetapi setiap pergerakan pasti masih saja ada yang menilai minor yang dikarenakan macet hingga rusuh. Memang banyak menimbulkan gejolak dan cerita di setiap harinya, selalu saja ada hal yang menjadi alasan untuk nyinyir, coba sekali – kali tukar peran biar tahu bagaimana rasanya. Ketika mahasiswa turun ke jalan adalah salah dan mahasiswa memilih untuk diam ketika ada polemik terhadap bangsa, “ kemana mahasiswa di zaman sekarang? “ kalimat itu yang keluar dari mulut insan yang kerjanya hanya nyinyir, nyinyir dan nyinyir. Dengan seperti itu, kecelakaan berpikir ternyata memang benar adanya. Sejatinya jika tidak mampu mengapresiasi sesuatu, tidak usah mencela sesuatu tersebut terlebih jika sesuatu tersebut belum engkau pahami seutuhnya. Jadi tua memang sebuah keniscayaan tetapi menjadi dewasa adalah sebuah pilihan.[]

    Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Administrasi Bisnis Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here