More

    Investigasi

    Karya Hardy Hermawan*)

    Entah berapa kali Budi memilih-milih saluran radio yang paling pas untuk ia dengarkan sepanjang perjalanannya ke kantor. Toh, ia kembali juga ke frekuensi Jakbiz FM, radio berita ekonomi dan bisnis yang tak punya irama musik dalam tayangannya—kecuali untuk jingle dan iklan belaka.

    Beberapa menit lagi akan masuk pukul sembilan, bursa saham akan segera dibuka, jalanan lumayan padat, dan Budi menyimak suara mezzo-sopran si penyiar yang mulai membacakan berita yang ia rilis semalam. Stasiun radio itu memang terbiasa membacakan headline media-media terkemuka setiap pagi. Setelahnya para pendengar akan mulai menelepon, menanggapi berita-berita tersebut.


    Sudah beberapa hari berita yang ditulis oleh Budi menjadi pilihan si penyiar untuk dibacakan. Berita tentang PT Sriwijaya Energy Tbk, sebuah perusahaan pertambangan yang nilai bukunya mencapai US$ 20 miliar dan memiliki konsesi minyak di Sumatera Selatan. Selama dua hari terakhir, nilai SWJE, kode saham Sriwijaya Energy, terbenam di harga terendah, Rp 50 per saham, setelah sebelumnya terus merosot usai Budi menulis skandal keuangan yang menerpa perusahaan migas tersebut. Ditambah lagi, harga minyak dunia juga sedang anjlok hingga di bawah 45 dolar per barel.

    - Advertisement -


    “Ampuunnn, mbak,!”seorang penelepon terdengar merintih. “Amsyiong ini. Saham saya jatuh nggak karuan…SWJE bikin saya rugi banyak!”


    Si penyiar merespon agak genit. Ia mencoba membesarkan hati si penelepon dengan menyebutnya sebagai investor hebat yang hanya perlu sedikit liburan. “Sekalian menunggu harga minyak dunia kembali naik, Pak,” ujar penyiar itu.


    Budi terbahak. “Mampus!,” bisiknya, sambil terus menyimak siaran. Ada kebanggan yang aneh menjalari perasannya hingga telepon selulernya tiba-tiba berbunyi. Tawanya berhenti dan menyisakan senyum. Ia memelankan suara radio. “Halo?” katanya.


    “Bud, kamu gila! Berita sekeren itu kamu makan sendiri. Bagi nomor-nomor narsum kamu, dong…,” Suara perempuan di ujung sambungan terdengar begitu cepat.


    “Boleh, tapi aku sekarang lagi nyetir. Nanti aku kasih.”


    “Sip, tapi kamu kasih highlight juga, ya. Kenapa SWJE sampai berantakan begitu?”


    “Ya sudah, sambil sarapan, di tempat biasa, ok?”


    “Siaaap….”


    ***


    Tiga puluh menit berselang, setelah sedikit bercermin di pinggiran mobil SUV hitam berharga setengah miliar miliknya yang mengilap, Budi mendapati Kenanga sudah menunggunya dengan cangkir kopi yang masih mengepul. Kafe ini memang buka sejak pagi, menyediakan tempat buat orang-orang seperti mereka yang tak sempat sarapan di rumah. Keduanya duduk di bagian teras yang terbuka, smoking room. Kenanga Yudha, presenter televisi, master komunikasi lulusan Leeds University, terlihat begitu segar dan ranum. Make-up yang dipakainya masih tipis tapi mata Budi tetap sulit berpaling dari wajahnya itu.


    “Kamu ‘kan tinggal baca laporan yang aku bikin, kenapa mesti tanya-tanya lagi? ujar Budi setelah duduk di depan perempuan itu. “Kasus SWJE, Sriwijaya Energi, sudah aku tulis berhari-hari.”


    “Hehehe, sudahlah,” jawab Kenanga. Sambil terkikik, lirik matanya kembali bikin Budi terenyak. “Aku tahu, kamu masih punya informasi yang belum dirilis. Aku kenal kamu. Ngomong-ngomong, KPK atau polisi yang bakal pegang kasus ini?”


    Budi tahu, pertanyaan itu hanya basa-basi. Toh, jadinya tidak penting siapa pun yang mengusut kasus itu. Kenanga bukan penyiar TV biasa. Perempuan 30 tahunan itu bisa saja duduk manis dan menunggu tim produser menyiapkan bahan. Tapi itu tak dilakukannya. Ia berusaha mencari informasi tambahan untuk memperkuat talkshow mingguan yang digawanginya.


    Seminggu ini, berita yang ditulis Budi di situs online aruna.id mengentak perhatian khalayak. Para pejabat ekonomi dan hukum dibikin tergopoh-gopoh. PT Sriwijaya Energy terlibat kongkalikong yang melibatkan perusahaan pelat merah bernama PT Asuransi Jaya Abadi. Kenanga akan mengangkat kasus ini dalam talkshow-nya nanti malam.


    Di depan Budi, Kenanga menaruh setumpuk dokumen. “Aku sudah membaca laporanmu dan beberapa dokumen tentang SWJE dan AJA, maksudku Asuransi Jaya Abadi. Kasus ini tidak begitu rumit tapi tak sembarang orang bisa mencium ada kejanggalan dalam transaksi mereka. Kamu juga tidak akan bisa,” ujar Kenanga, pelan. “Siapa yang memberi tahu kamu?”


    “Hahaha…. Itu rahasia dapur!”


    “Hati-hati, Bud… Pak Johny yang punya SWJE itu bisa gelap mata. Di laporan keuanganya tampak ia punya utang besar kepada JP Pacific, perusahaan investasi Amerika, untuk kebutuhan riset, izin, dan eksplorasi. Dia sekarang sudah pegang izin eksploitasi dan perlu biaya untuk mulai ngebor. Makanya ia bikin transaksi dengan AJA,” kata Kenanga.


    “Ya,” ujar Budi sambil menyecap kopinya lalu membakar sebatang rokok. Ia bayangkan muka Johny Wijaya yang ramah tapi kerap canggung. Johny adalah orang yang sulit menyembunyikan perasaan. Masuk akal jika saat ini Johny akan marah besar kepada dirinya. Maka, Budi enggan meneruskan pikirannya tentang Johny. Ia kembali pada Kenanga. “Kamu tahu,” ujar Budi, “kenapa SWJE tak meminjam saja ke bank?” Asap rokok mengepul mengiringi pertanyaan itu.


    “Sulit. Utangnya kelewat besar,” Kenanga menjawab sambil membuka tasnya, mengambil rokok, dan menyalakannya segera. “Lagi pula, tiba-tiba ada kasus lahan di lokasi konsesi,” katanya lagi dengan suara terpilin asap menthol. “Hanya transaksi dengan AJA itulah peluang bagi Pak Johny. Dia merepo sahamnya kepada AJA dan mendapat dana segar untuk pengembangan SWJE. Jika pengeboran berjalan, SWJE bisa aman. Blok itu menghasilkan minimal 100 ribu barel per hari.”


    “Tepat!”


    “Kita yang biasa bergaul dengan orang-orang bursa akan paham jika transaksi semacam itu, apalagi dengan perusahaan pelat merah, bakal rawan penyelewenangan.” Kenanga berhenti sejenak, pandangannya menyapu seisi kafe. Lantas ia membungkuk sedikit dan meneruskan dengan suara pelan, “tapi mendapatkan bukti adanya kickback dari Johny kepada Dono Harun, Dirut AJA, bukan perkara simpel. Kamu tahu dari mana?” cecar Kenanga, bak di depan kamera studio.


    “Kamu hebat,” ujar Budi mengangkat cangkir kopinya melewati bibir dan berhenti tepat di bawah matanya. Senyumnya mengembang. “Mestinya kita ini satu tim,” katanya sebelum mengecap lagi kopi yang sudah mulai hangat itu.


    Kenanga menghela nafas. “Kamu ajak aku masuk arena? Enggak ah, aku malas jadi wartawan tulis. Sekarang era visual,” katanya.


    Ditolak, tapi Budi merasa lega. Kenanga tak lagi mencecarnya soal berita itu. “Aku ingin bikin situs multimedia. Kamu tetap siaran dalam platform TV internet. Berita dalam format teks, gambar, audio, video bisa kita produksi.”


    Kenanga terkekek. “Kapan-kapan kita bahas,’ ujarnya. “Rencana kamu oke juga. Tapi kamu masih berutang jawaban atas pertanyaanku tadi….”


    “Nanti kita ngopi lagi,” jawab Budi sambil meminta bon pesanan kepada kasir.


    ***


    Sejak di halaman parkir apartemen yang sangat ekslusif itu, Budi berusaha mencerna jawaban-jawaban Direktur Legal Sriwijaya Energi dalam talkshow yang semalam dipandu Kenanga. Sama sekali tak ada kalimat defensif. Sang Direktur mengakui banyak hal yang ditulis Budi bahkan memuji tulisannya sebagai laporan investigatif yang hebat. Dia berbasa-basi ketika mengatakan percaya pada penanganan kasus ini oleh aparat hukum. Tapi satu hal yang membuat Budi tergelitik, pengacara korporasi itu menyebutkan peran pialang saham bernama Evita yang mengatur semua transaksi SWJE dengan AJA.


    Budi bukannya tak tahu peran pialang itu: Evita Lee, perempuan awal 40 tahunan yang sangat langsing dan memesona. Tapi ia membatin, Evita bukan siapa-siapa. Tak punya nilai berita.


    Usai talkshow bersama Kenanga, sang Direktur itu menghubunginya untuk mengajak bertemu. Budi sudah beberapa kali menemuinya untuk kepentingan konfirmasi. Kali ini, Sang Direktur yang lihai bernegosiasi ini ingin bertemu di lokasi privat. Budi mengiyakan. Sejenak ia amati lagi penampilannya. Kostumnya ala professional Korea. Rambutnya pendek, dipoles pomade dan tersisir rapi, cocok dengan lokasi mewah di pusat kolonialisme tempo dulu yang ia datangi.


    Siang tadi itu, Sang Direktur membuka peran Evita Lee secara lebih rinci. Perempuan itulah yang mengenal Dono dan menawari saham SWJE yang ada pada dirinya. “Saham itu sudah d-irepo Pak Johny kepada perusahaan Evita enam bulan lalu,” ujar Chandra, sang Direktur. “Jadi, ini sebenarnya transaksi antara Evita dengan Dono. Pak Johny tak tahu soal kickback. Semuanya diatur Evita,” katanya.


    Penjelasan Joe begitu menarik. Ia berbual soal Johny, pengusaha yang disebutnya nasionalis, yang lebih layak mengelola blok migas Sriwijaya ketimbang pemodal asing. “Asing-asing itu mengincar blok migas kita, Bud,” ujarnya,


    Budi berusaha tetap berhati-hati, ia merespon dengan beberapa pertanyaan. Suasana mulai cair, dan obrolan jadi kian asyik. Ada suguhan wine dan wagiyu super premium. Mereka juga ditemani beberapa bidadari anggun nan berkelas. Untunglah Chandra berbuat kesalahan. Ia mengerjapkan mata, memberi isyarat bahwa Budi bisa menikmati para bidadari itu. Isyarat yang membangkitkan kewaspadaan. Lantas datang pula tawaran perdamaian: sejumlah nilai uang. Ini sudah bahaya. Budi pun bergegas pamit. Pulang dan merasa menjadi pemenang. Tak ada yang perlu dicemaskan. CCTV ada di mana-mana.


    ***


    Yang membuat Budi kesal justru ketika ia tiba di kantor. Denny Daulay memanggilnya bertemu empat mata. Pemimpin redaksi aruna.id ini memintanya meliput pertemuan bisnis di Seoul, Korea Selatan. “Tidak lama, hanya lima hari. Isunya soal industry pop di Korea. Aku sudah ajukan nama kau, Budi Alfian, mewakili kantor kita. Berangkat tiga hari lagi. Bagaimana?,” tanya Denny.


    “Baik, tak masalah..”


    “Tapi, setelah dari sana, kau pegang terus soal industri pop ini. Kau cocok dengan tugas ini. Sesuai penampilan kau, gaul. Metropolis. Kau harus ulas habis, kenapa Korea bisa maju dengan K-pop dan Indonesia seperti cuma jadi konsumen, oke?” Denny bicara seperti senapan mesin, nyerocos begitu lama.


    Budi tercekat. “Laporanku soal Sriwijaya Energy bagaimana?”


    “Aman itu,” jawab Denny. “Teman lain bisa melanjutkan. Lagipula, kamu sudah berhasil di kasus itu. Move on-lah. Kasus itu sudah selesai…”


    Separuh berteriak, Budi menjawab, “Gila! Tak bisa begitu! Kau dikasih apa sama mereka?”


    “Realistis aja, Bud” Denny terus membujuk sambil menepuk bahu Budi. “Kau enak, punya istri anak orang kaya. Bisa bawa mobil mewah meski gaji di sini tidak seberapa. Tapi kantor bisa kehilangan iklan dari perusahaan-perusahaan pelat merah. Sebaliknya, jika kita stop kasus ini. Sriwijaya Energy dan perusahaan afiliasinya bisa pasang iklan di tempat kita”


    “Tapi ini pidana dan kasus ini baru tahap penyelidikan. Jangan kau hentikan dulu sampai ini masuk ranah penyidikan,” Budi berargumen.


    Denny bergeming. “Ayolah, Bud kita perlu hidup juga,” katanya pelan.


    Budi meradang, “Persetan kau!” ia berlalu dari ruangan Denny, tergesa meraih tas dan segera menuju mobilnya yang terparkir di halaman kantor. “Mental kere,” gerutunya sambil menyalakan kontak. Sepanjang jalan Budi memaki-maki hingga jelang memasuki kompleks rumahnya ia tak sadar jika laju mobilnya kian oleng dan braaakk…


    Budi tak ingat lagi apa yang terjadi.


    ***


    “Sudah dulu, Mas. Istirahat, kamu belum tidur,” suara Renny terdengar nyaring dari luar ruang kerja Budi.


    Tak lama Renny masuk dan membawakan sepiring potongan buah-buahan. Budi menatap istrinya sambil berguman. “Besok sidang vonis Dono Harun. Setelah itu, sidang perdana Johny akan digelar,” katanya.


    “Iya, aku tahu. Tapi Evita masih menjadi saksi,” jawab Renny sambil duduk di samping Budi.


    “Sekarang kamu sehat dulu, Mas. Kaki kamu belum sembuh benar. Sudah berapa lama? Dua bulan, ya?”


    “Hampir tiga bulan,” ujar Budi sambil mengingat ban mobilnya yang tersayat hingga kempes dan membuat laju mobilnya oleng lantas menabrak pohon besar di pinggir jalan. “Aku hampir mati gara-gara kasus ini tapi kantor hanya memberi santunan dan pesangon seadanya. Mereka tak melanjutkan pemberitaan Sriwijaya Energy. Brengsek,” katanya.


    “Kantormu itu memang tak tahu caranya berbisnis,” ujar Renny.


    “Kamu sekarang istirahat saja. Besok lanjutkan lagi main di media sosial. Aku mau tidur, besok pagi banyak kerjaan,” ujar Renny lagi. Ia mencium Budi lantas beranjak pelan.


    “Oh, ya, Mas,” Renny berhenti di pintu tiba-tiba. Budi tengadah memperhatikan istrinya “JP Pacific sudah ajukan gugatan pailit kepada SE. Investor kita confirmed menjadi angelstart up yang kamu siapin. Nanti aku ngomong sama Papi supaya investasinya lewat bank kita,” kata Renny sambil tersenyum.


    “Wow! Mantap!,” Budi mengangkat jempol. “Selamat tidur, sayang. Nanti aku nyusul,” katanya.


    Renny adalah pejabat sebuah bank buku 3 yang sebagian sahamnya dimiliki sang ayah. Ia cukup mengerti pemberitaan seputar Sriwijaya Energy dan informasi material di dalamnya. Budi banyak mendapat informasi dari Renny ketika kemarin menulis laporannya itu. Ini kali, informasi soal gugatan pailit juga sangat berguna.


    Segera ia mengambil handphone-nya dan menuliskan informasi itu untuk dijadikan narasi permainan media social yang ia geluti sejak mulai pulih dari kecelakaan tiga bulan silam. Kiprahnya di media social, melalui beberapa akun dan sebagian besar dengan akun anonym itu, menarik perhatian netizen. Aparat hukum bergerak lebih cepat karena gelombang opini yang ia hembuskan di dunia maya. Dono Harun dan Johny Wijaya terancam dipenjara. Budi menimbang-nimbang, biar partnernya saja yang memainkan isu kepailitan Sriwijaya Energy di media sosial. Ia lalu mengirim pesan kepada sang partner: Kenanga.


    ***


    Ballroom hotel mewah ini menjadi saksi peluncuran situs multimedia dengan teknologi termaju di Indonesia: zabax.co. Budi Alfian, sang Chairman, menyatakan kantornya ini akan menjadi pelaku industri komunikasi yang komprehensif dan menawarkan jurnalisme presisi. Ia juga memiliki unit layanan big data, analisis data, riset dan survey bisnis-ekonomi-politik-komunkasi, serta social media. Wakil Presiden Republik Indonesia hadir di acara peluncuran tersebut.


    Budi menyambut sang Wapres ditemani CEO zabax.co, Kenanga Yudha. Mereka lalu mengenalkan orang nomor dua di Republik ini kepada investor utama kantor baru tersebut: Billy Cohen, pemilik Cohen Investment.


    Pria paruh baya berkebangsaan Amerika ini memuji-muji Indonesia sebagai tempat investasi yang menyenangkan. “Kami akan banyak menanamkan modal di negeri Anda, Tuan Wakil Presiden,” ujar Cohen disambut tawa merekah sang Wapres. Lantunan musik para artis terbaik dan gemulai para sosialita menjadikan malam itu begitu seronok.


    “Pesta yang keren. Selamat, Budi. Hebat juga, kau, bisa mendatangkan Wakil Presiden dan banyak menteri,” ujar Cohen setelah para tamu mulai pulang. Cerutunya membara di sela-sela jari tangan kiri. Tangan kanannya memegang gelas anggur yang masih terisi separuh. Ia memuji jaringan lobi Budi di kalangan pemerintahan, aparat hukum, dan pelaku pasar. Dalam hatinya bergumam, bahkan jika oposisi nanti berkuasa di negeri ini, anak ini juga punya kemampuan melobi mereka.


    Budi hanya tersenyum datar. “Kami baru mendapatkan separuh dari yang kau janjikan, Bill. Kami masih menunggu 10 juta dolar lagi darimu,” katanya sambil meneguk anggurnya.


    “Sabarlah sedikit. Toh, kita sudah mengerjakan ini begitu lama. Aku sudah memasok begitu banyak informasi kepada kau dan kau juga sudah mendapatkan 10 juta dolar bagianmu. Tak lama lagi, setelah Equator Mining resmi masuk ke Sriwijaya Energy, kau bisa dapatkan 10 juta dolarmu lagi, anak rakus! Hahaha…”


    Budi ikut terbahak, “Kau lebih rakus, Bill: JP Pacific, Cohen Investment, Equator Mining. Entah berapa lagi entitas usaha yang kau punya untuk mengeruk ini semua! Kau dapatkan tambang minyak dengan harga tak sampai separuhnya.”


    “Greed is good, young man. Nanti Evita yang mengatur transaksinya,” Cohen bicara pelan sambil mengangkat gelas.


    “Toss!” teriak Budi. Mereka berdua bersulang. Kenanga mendekat dan Budi menatapnya. Cohen menoleh ke arah yang lain. “Ada bagusnya aku gagal membunuh anak muda ini tempo hari,” bisik hati Billy Cohen.
    ***


    *) Hardy Hermawan lahir di Sukabumi, Jawa Barat, pada 1974. Menjadi reporter sejak 1996 di harian Merdeka dan bergabung dengan Majalah Tempo pada 1998. Pada 2000-2003, ia pernah mengampu beberapa media yang terafiliasi dengan lembaga riset Econit lalu menjadi wartawan Majalah Berita Ekonomi TRUST (berganti nama menjadi Sindo Weekly), pada 2003-2011, dengan jabatan terakhir sebagai Redaktur Pelaksana. Ia pernah menjadi aktivis kampus yang radikal sewaktu mahasiswa dan ikut menjatuhkan Presiden Soeharto dari kekuasaannya semasa reformasi.


    Hardy juga berpengalaman sebagai host berbagai program acara radio di sejumlah stasiun di Jakarta. Sejak 2011, menjadi executive producer sekaligus host sejumlah program acara di stasiun televisi di bawah MNC Media/RCTI.


    Hardy menyelesaikan pendidikan sarjana Sosiologi dari Universitas Lampung dan meraih gelar Magister Sains di bidang ilmu ekonomi dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Ia kerap menjadi editor penulisan buku sejumlah tokoh nasional, menulis kolom ekonomi, dan tampil dalam forum kajian politik, jurnalisme, dan ekonomi. Pada 2016-2019, ia menjadi ekonom anggota Kelompok Kerja Fiskal dan di Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) dan sejak akhir 2019 tercatat sebagai Asisten Staf Khusus Presiden Jokowi untuk Bidang Ekonomi.

    Beberapa bulan lalu ia masuk ke Akademi Menulis-Dunia Sastra Kita untuk kembali belajar bahasa dan sastra secara benar. Ini adalah cerpen pertamanya yang ia tulis semasa belajar di Akademi Menulis-Dunia Sastra Kita.

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here