Oleh : Ahmad Akfiyan*
“Amati alam, maka setiap kemajuan masyarakat tak lebih dari kemajuan materi di sekelilingnya.”
Dunia barat mengalami kemajuan akan keteknikan yang begitu pesat. Bahkan seluruh peralatan industri, transportasi, barang elektronik, sampai dengan peralatan ketik yang penulis gunakan merupakan produk barat. Dominasi barat akan kemajuan peradaban sudah menjadi rahasia global yang menjadi tolak ukur kemajuan masyarakat. Akan tetapi apakah dengan kemajuan materi telah mengantarkan masyarakat kepada kemajuan peradaban, kesejahteraan yang sebenar-benarnya? Lalu apa tolak ukur yang dipakai sebagai ukuran untuk memvonis suatu kemajuan masyarakat?
Liberalisme dan Kapitalisme sebagai sistem serta ideologi yang menjadi pedoman barat telah mengantarkan manusia kepada kebebasan yang sebesar-besarnya sehingga daya saing dan kreativitas manusia dapat tersalurkan tanpa intervensi dari negara. Berbeda dengan komunisme yang tak mengakui kebebasan individu sebab menganggap masyarakat adalah yang sejati menjadikan ideologi ini kaku, sehingga untuk menyeragamkan masyarakat perlu digunakan sebuah sistem totalitarian yang mengekang kebebasan individu dalam berkehendak dan berkreativitas. Maka tidak heran bila Vladimir Putin pernah berkata bahwa, siapa yang tidak merindukan Uni Soviet maka ia tidak punya hati, dan barangsiapa menginginkannya kembali maka ia tak punya otak.
Ideologi global yang muncul pada Abad ke 20 seperti sebuah paku yang memiliki dua ujung berlawanan arah. Di satu sisi liberalisme dan kapitalisme memberikan individu kebebasan sebesar-besarnya sehingga persaingan manusia antar manusia merupakan sesuatu yang dibiarkan begitu saja tanpa intervensi dari negara. Dengan harapan adanya persaingan alami antar manusia akan terus mengarahkan pada kemajuan.
Liberal atau Totalitarian
Adam Smith dalam bukunya Welt Of Nation menyebunya dengan self interest yakni kepentingan manusia secara pribadi akan mencukupi kebutuhan manusia lainnya. Misal saja seorang pedagang yang menjual sate ayam, maksud utamanya tidak untuk melayani perut-perut manusia lainnya yang sedang kelaparan.
Namun untuk mendapatkan laba dari hasil penjualanya sehingga dapat ia gunakan untuk hal lainya. Begitupun orang yang lapar perutnya, membeli sate ayam bukan untuk menuntaskan tujuan si pedagang tadi, akan tetapi untuk mencukupi kebutuhan perutnya yang sedang kelaparan. Dengan si pembeli membayar kepada pedangang maka kedua belah pihak akan tercukupi maksud dan tujuan masing-masing. Seperti itulah sistem liberalisme bekerja dengan tidak ada intervensi negara dan sistem ekonomi kapitalisme bekerja sebagaimana dengan yang dimaksud self interest itu tadi.
Sedangkan di sisi lain totalitarianisme dan komunisme mengingkari kehendak individu menjadi kehendak masyarakat sepenuhnya. Dalam kampanye nya komunisme terdengar begitu manis karena menghilangkan kepemilikan individu menjadi kepemilikan bersama yang dikelola sepenuhnya oleh negara. Namun dari satu slogan kepemilikan bersama ini muncul persoalan kompleks sebab segala sesuatu musti diatur oleh negara dengan memastikan seluruh kekayaan terbagi rata kepada masyarakat.
Jika penulis ambil contoh yang sama dengan pedagang sate ayam diatas, maka dapat penulis misalkan menjadi kebalikannya seperti ini. Pertama si pedagang sate ayam musti memiliki maksud dan tujuan utama untuk memenuhi kebutuhan perut masyarakat yang kelaparan, dan masyarakat yang sedang lapar tidak boleh memiliki tujuan untuk kepentingan perutnya saja, namun memberikan uang kepada si pedagang sate ayam tadi sebagai biaya produksi daganganya kembali. Laba yang diterima dan dagangan yang diberikan harus berimbang, cukup untuk biaya produksi serta biaya konsumsi si pedagang sate, sedangkan sate ayam yang dibuat harus sebanyak jumlah masyarakat yang perutnya kelaparan. Dengan begitu problem kebutuhan masyarakat akan sama-sama tercukupi dengan mengutamakan kepentingan umum. Namun untuk memastikan kepentingan umum dapat benar-benar tercapai negara musti melakukan intervensi kepada masyarakat dengan melakukan kontrol penuh atas sistem, maka totalitarianisme memastikan berjalannya komunisme.
Persoalan Kemiskinan
Dalam persoalan semacam ini ditemui kesamaan problem pada dua sisi, yakni kemiskinan masih terjadi diantara masyarakat kapital dan komunis. Pada masyarakat kapital kemiskinan disebabkan oleh mereka yang tidak mampu bersaing sehingga tidak memiliki laba untuk meningkatkan taraf kehidupannya.
Mereka masih memiliki kehendak bebas namun tertindas oleh kebebasan kaum yang memiliki laba diatas mereka. Alhasil untuk tetap bertahan, kaum yang termarjinalkan ini musti menggantungkan hidupnya pada pada kaum borjuis dengan mengharapkan sebagian kecil laba atau upah untuk digunakan sebagai penghidupan dan energi dalam bekerja. Maka letak totalitarian sistem kapital pada belenggu kaum borjuis yang menuntut target produksi kepada kaum pekerja.
Dalam sistem komunisme kemiskinan terjadi sebab sistem yang kaku, mengakibatkan kreativitas individu dalam berkehendak menjadi terbatas, sehingga inovasi atau ide kemajuan adalah konsepsi dan teknis mutlak oleh negara yang musti dijalankan oleh masyarakat. Selain itu kompleksitas pembagian kekayaan yang sulit untuk diterapkan, dan pembukaan lapangan pekerjaan oleh negara yang tidak dapat menampung seluruh kaum pekerja. Ide kepemilikan bersama menjadi ideologi yang sesat untuk diterapkan pada tahap praktik teori akhir.
Kaum Tengah
Tokoh cendekiawan muslim Nurcholis Madjid dalam Nilai-nilai dasar perjuangan menjelaskan bahwa dalam diri manusia terdapat kehendak bebas yang menjadi kebebasan manusia dalam berkreativitas, namun disisi lain kehendak tersebut musti dibatasi dengan hak kebebsan orang lain. Maka individu maupun masyarakat tidak boleh dipandang sebagai sesuatu yang mutlak, keduanya berjalan beriringan sesuai dengan konteks masing-masing. Misal ambil contoh masih dengan pedagang sate ayam tadi. Seorang pedagang sate ayam dan pembeli dalam konteks individu boleh saja melakukan kehendaknya atas dasar motif kepentingan pribadi. Namun dari laba yang diterima, si pedagang sate ayam musti insyaf bahwa dia hidup di dalam dan bagian dari masyarakat. Maka sebagian dari laba yang ia terima adalah wajib untuk diberikan kepada masyarakat sebagai kesejahteraan bersama.
Indonesia telah menjadi bagian dari kaum tengah dengan kebijakan pajaknya. Memberikan ruang bagi kehendak, kreativitas, dan persaingan namun disisi lain negara memberlakukan pajak untuk dialokasikan sebagai program pengentasan kemiskinan di masyarakat. Akan tetapi, berdasarkan data yang penulis peroleh dari sebuah artikel di media online CNN Indonesia yang berjudul “Menggunting Jurang ‘Si Miskin dan Si Kaya’ dengan Pajak”, menyebutkan bahwa, Porsi penerimaan pajak dari individu khususnya non karyawan, justru menempati posisi buncit dalam catatan penerimaan pajak di Indonesia. Padahal, para wajib pajak (WP) yang masuk dalam kategori PPh 25/29 mayoritas merupakan pengusaha atau wiraswasta yang tak dipungkiri, sebagian memiliki pendapatan yang tinggi. Realisasi penerimaan pajak dari wajib pajak orang pribadi (WP OP) selama semester I 2017 hanya mencapai Rp 61,4 triliun.
Perinciannya, penerimaan PPh 21 sebesar Rp 55,6 triliun dan PPh 25/29 dari orang pribadi Rp 5,8 triliun. Sementara itu, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPnBM) mencapai Rp 228,7 triliun. Posisi penerimaan PPN yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan PPh tidak mencerminkan kemampuan orang dalam membayar pajak. Ini merupakan permasalah internal dari kebijakan pajak yang diberlakukan, solusinya adalah membalik struktur semacam ini
sehingga orang yang lebih mampu membayar pajak lebih besar, dengan begitu keadilan ekonomi akan terlaksana sesuai dengan porsinya. Maka konsepsi yang lebih tepat adalah pajak diukur berdasarkan perolehan laba individu sepenuhnya, dengan mengacu pada persaingan bebas intervensi yakni negara bersikap liberal. Hasil daripada pajak kemudian dialokasikan sebagai kepentingan umum. Ini adalah bentuk intervensi negara pada ukuran tertentu, dimana ada suatu batasan yang mengharuskan sikap totaliter. Masalah pajak tanah dan barang boleh dihapuskan sama sekali asalkan kontrol laba dalam konteks individu tetap di perhatikan negara sebagai solusi kesejahteraan rakyat.[]
*Penulis adalah mahasiswa Ilmu Pemerintahan, Universitas Muhammadiyah Ponorogo.