Oleh : Jauharuddin Ahmad Akfiyan
Bagian I, Riwayat singkat gerakan mahasiswa pasca kemerdekaan
“Karena sejarah telah membuktikan bahwa perubahan-perubahan besar selalu diawali oleh kibaran bendera Universitas,” (Petikan Pidato Hariman Siregar, 31 Desember 1973).
Gerakan mahasiswa khususnya di Indonesia selalu mengalami perubahan seiring dengan kondisi politik yang terjadi dalam tubuh pemerintahan. Hal ini dapat dicermati dengan melihat gerakan mahasiswa pasca kemerdekaan, tepatnya pada tahun 1950 an kala Dewan Mahasiswa atau yang disebut DEMA mulai berdiri di universitas-universtas di Indonesia.
Awal mulanya, DEMA merupakan wadah bagi mahasiswa yang berfungsi sebagai student goverment. Sehingga mahasiswa lebih cenderung memiliki semangat untuk belajar berpolitik ketimbang berusaha mempraktikan cara-cara berpolitik praktis.
Organisasi mahasiswa ini mulai kental dengan praktik politik ketika disusupi oleh organisasi mahasiswa yang biasa disebut ekstra kampus seperti HMI, CGMI, GMNI, dan lain sebagainya. Indikasi semacam ini mulai terlihat pada tahun 1955 ketika terjadi Pemilihan umum dan sekitar pergolakan konsepsi presiden kembali kepada UUD 1945.
Fenomena ini memuncak dengan lahirnya angkatan 57 pada era demokrasi terpimpin yang berorientasi pada persoalan pemerintah. Hal ini dijelaskan dalam buku analisa kekuatan politik di Indonesia yang diterbitkan oleh LP3ES, yang menerangkan bahwa terjadi pelembagaan dalam partai-partai, sebagai hasil dari aktivitas di sekitar pemilihan umum, dari gerakan pemuda saat itu adalah penting dalam memberikan arah dan tujuan ormas-ormas mahasiswa itu.
Tentu saja gerakan mahasiswa yang lebih menonjol terjadi pada angkatan 66, kala itu terjadi demontrasi besar-besaran pasca G30S/PKI yang berhasil mempreteli kewibawaan dari kebijakan seorang pemimpin yang telah dinobatkan sebagai presiden seumur hidup.
Sebenarnya apabila diterangkan lebih jauh terkait jalannya sejarah gerakan mahasiswa, maka akan dapat ditarik satu benang merah sebagai gambaran umum, bahwa seluruh gerakan dan respon yang diberikan mahasiswa cenderung kepada pengawalan terhadap praktik kebijakan pemerintah yang beorientasi pada persoalan sosial politik dan sosial ekonomi. Perkara yang sebenarnya lumrah terjadi, sebab politik dan ekonomi merupakan fondasi awal atas terselenggaranya cita-cita kesejahteraan bagi masyarakat banyak.
Adapun pendidikan, budaya, maupun kesehatan menjadi aspek penunjang. Ketika aspek politik dan ekonomi berjalan dengan baik, maka aspek penunjang yang penulis sebutkan diatas akan mengekor menjadi baik pula.
Satu hal yang patut untuk disoroti adalah letak sejarah atau titik dimana gerakan mahasiswa mengalami penurunan frekuensi atas respon yang diberikan dalam mengawal pemerintahan. Hal ini merupakan perkara yang wajar mengingat dalam gerak sejarah yang dikemukakan oleh Oswald Spengeler (1880-1936) bahwa “gerak sejarah tidak bertujuan lain kecuali melahirkan, membesarkan, mengembangkan, dan meruntuhkan kebudayaan.
Berawal dari orde baru dibawah kepemimpinan rezim Soeharto yang mulai jengah dengan aksi kritik dan protes yang diberikan mahasiswa terhadap rencana pembangunan yang dinilai timpang dan praktik korupsi merjalela. Kemudai disusul dengan meletus nya Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari) dan dilanjutakan gerakan mahasiswa 1977-1978 (Gema 77/78). Puncaknya pada Oktober 1977, ketika perwakilan DEMA diseluruh Indonesia berkumpul dan berhasil mencetuskan ikrar mahasiswa yang dipublikasikan pada hari sumpah pemuda. Ikrar ini menjadi gerbang pembuka aksi mahasiswa yang kian meluas serta tututan mundurnya Soeharto dari kursi presiden.
Peristiwa inilah yang menjadi garis pembatas berakhirnya era Dewan Mahasiswa sebagai student goverment. Untuk meredam suara kritis dan protes mahasiswa, menteri pendidikan dan kebudayaan yang saat itu dikepalai oleh Daoed Joesoef menerbitkan peraturan nomor 0156/U/1978 yang dimaksudkan untuk “mengembalikan fungsi mahasiswa” sebagai kaum intelektual yang harus kembali pada tradisi keilmuan. Peraturan ini biasa disebut dengan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan disusul dengan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK), adalah sebuah penataan organisasi kemahasiswaan, dengan cara menghapus organisasi kemahasiswaan yang lama berupa Dewan Mahasiswa dan diganti dengan format yang baru.
Kebijakan ini berhasil me-nina bobokan gerakan mahasiswa sehingga mahasiswa tidak diberikan ruang untuk campur tangan urusan politik pemerintahan. Mahasiswa cukup berteori tanpa harus melakukan praktik sosial.
Dalam wilayah perguruan tinggi, awalnya mahasiswa tidak diperkenankan untuk membentuk organisasi kemahasiswaan yang mengkoordinir ditingkat universitas. Sebab dikhawatirkan dapat memobilisasi massa dengan melakukan koordinasi antar mahasiswa lain di berbagai perguruan tinggi, sehingga hanya koordinasi-koordinasi kecil ditingkat fakultas yang diperbolehkan, itupun tidak memiliki fungsi eksekutif.
Namun gerakan mahasiswa tampaknya tidak benar-benar padam, hal ini ditenggarai oleh munculnya kebijakan Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) oleh mendikbud Fuad Hasan pada tahun 1990. Konsep ini lahir dari tidak terkontrolnya gerakan mahasiswa diluar kampus yang bersinergi dengan gerakan politik, meskipun tidak terkonsentrasi penuh pada satu titik seperti gerakan-gerakan mahasiswa sebelum munculnya NKK/BKK.
Peluang seperti ini dimanfaatkan oleh mahasiswa untuk membentuk miniatur negara didalam perguruan tinggi, setidaknya membentuk gerakan intra mahasiswa yang dapat bergerak lebih leluasa dibandingkan dengan NKK/BKK. Dengan diserahkannya pelaksanaan teknis kepada masing-masing perguruan tinggi, maka SMPT memiliki bentuk struktural yang beragam, sesuai dengan kebijakan yang dijalankan oleh Perguruan tinggi. Semisal saja SM-UGM yang pada waktu itu menggunakan mekanisme legislatif dan eksekutif, menempatkan kongres sebagai kedaulatan tertinggi membawahi SMPT, UKM, dan BEM.
Pasca reformasi Senat mahasiswa berubah fungsi menjadi lembaga legislatif dan membentuk badan pelaksana yang bertanggung jawab kepada senat mahasiswa. Seiring perkembangannya badan pelaksana ini berubah menjadi Badan Eksekutif Mahasiswa yang memiliki fungsi Eksekutif dari kebijakan yang disusun oleh Legislatif dan berdiri sebagai lembaga sendiri, sejajar dengan senat mahasiswa yang berubah nama menjadi Dewan Perwakilan Mahasiswa, sebuah praktik dari konsep miniatur negara yang kita jumpai pada era sekarang ini.
Namun bukan berarti perubahan konsep miniatur negara harus berhenti pada penyempurnaan sistem-sitem yang ideal, perubahan seperti tatanan struktural ormawa niscaya terjadi, sebab proses dialektika akan terus berjalan seiring dengan hukum materi yang bergerak, begitu juga sebaliknya dan saling bersangkut paut. Hal ini berlaku terhadap ormawa yang merupakan cerminan kondisi materi sesuai dengan era-nya. Meskipun bentuk dari konsep struktural ormawa semacam ini telah berkembang hingga skala nasional dengan dibentuknya Bem Seluruh Indonesia maupun Forum Legislatif Mahasiswa Indonesia. Mahasiswa dengan title Agent of Change harus berani memberikan sebuah praktik dari gagasan perubahan, bukan sekedar meniru bentuk miniatur negara seperti halnya trias politika yang dipraktikan oleh negara kemudian diseret masuk dalam lingkup kampus. Baru gelar Iron Stock akan benar-benar terlaksana secara efektif.
*Penulis adalah Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Ponorogo, Prodi Ilmu pemerintahan. Aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).