Oleh: Shifa Jauzaa Martabaya*
Bulan Mei tahun ini, Amerika Serikat kembali digemparkan dengan kasus penembakan massal di lingkungan sekolah. Berdasarkan liputan CNN pada tanggal 24 Mei 2022, telah terjadi penembakan di Sekolah Dasar Robb, Uvalde, Texas. Kejadian ini menyebabkan 21 orang meninggal dunia, 19 orang siswa dan 2 orang guru. Pelaku adalah seorang remaja berusia 18 tahun, bernama Ivan Arellano. Tercatat dalam 5 tahun terakhir telah terjadi sekitar 12 kasus dan kasus kali ini adalah yang paling parah. Bagaimana kejadian ini bisa terus terulang?
Perdebatan tentang isu kepemilikan senjata telah terjadi sejak lama di Amerika Serikat. Pihak pendukung di kalangan pemerintah berasal dari Partai Republik dan masyarakat pendukungnya terafiliasi ke dalam National Rifle Association. Kelompok ini mengadvokasi hak kepemilikan senjata dengan dalih ini adalah hak konstitusional warga Negara dan tidak terpisahkan dari identitas individu. Kebebasan kepemilikan senjata api telah diatur dalam“Bill of Rights”Amandemen Kedua Konstitusi, sebagai konstitusi tertinggi Amerika Serikat.
Berlawanan dengan itu, Brady Campaign to Prevent Gun Violence menginginkan perizinan kepemilikan senjata api diperketat. Mereka juga mendukung upaya legislatif Partai Demokrat untuk membuat peraturan baru dan alokasi dana federal pada empat hal yaitu menutup celah pemeriksaan latar belakang,melarang senjata serang bergaya militer dan magazen berkapasitas tinggi, membuat lingkungan sekolah yang lebih aman sertameningkatkan akses ke pelayanan kesehatan mental.
Penembakan di Sekolah Dasar Robb menegaskan bahwa kepemilikan senjata api dinilai lebih banyak menimbulkan dampak negatif. Kasus itu juga mempekuat pendapat kelompok penentang tentang perlunya upaya memperketat izin senjata api, demi kemanan warga Negara Amerika Serikat. Meskipun demikian pihak pendukung tetap bersikeras menyatakan pembatasan kepemilikan senjata api akan melanggar hak konstitusi warga negara itu sendiri.
Dalam menanggapi kasus ini, kita mengacu pada salah satu pendapat ahli tentang diplomasi publik yaitu, menurut Jan dalam bukunyaPublic Diplomacy Between Theory and Practice,berpendapat bahwa esensi dari diplomasi publik adalah untuk ‘getting other people on your side’,yang pada akhirnya diplomasi publik mampu mempengaruhi opini dan sikap orang lain. Sehingga dapat didefinisikan diplomasi publik sebagai pekerjaan yang bertujuan untuk mempengaruhi secara positif persepsi individu dan organisasi di luar negeri tentang negara sendiri. Diplomasi publik kemudian bisa dilihat sebagai instrumen dari soft power, yaitu kekuatan daya tarik dan reputasi seseorang di luar negeri.
Kasus ini sedikit banyak telah menciderai citra Amerika Serikat dalam mempertahankan nilai dan norma. Amerika Serikat harus memperbaiki pandangan dunia lewat diplomasi publik yang tepat sebagai instrument soft power.Lalu bagaimana masyarakat internasional memandang Amerika dan perbedaan kepemimpinan yang mempengaruhi isu kepemilikan senjata ini?
Kegagalan Amerika untuk meyakinkan publik akan kekuasann dan powernya dengan tidak mampu menjaga keamanan penduduknya dari segala macam bentuk ancaman baik dari luar maupun dalam. Salah satu aspek yang terdampak akibat kasus ini adalah national brandingAmerika, dimana menurut Sun (2009) national brandingdigambarkan sebagai imagedan reputasi suatu bangsa yang dibangun atas dasar persepsi yang dibentuk dan didefinisikan oleh orang-orang di luar negara tersebut; persepsi mereka umumnya dipengaruhi oleh stereotyping, pemberitaan di media, juga pengalaman pribadi.
Kegagalan AS dalam menjaga negaranya, membuat dunia internasional menyoroti upaya dari presiden AS saat ini dan terdahulu yaitu, Joe Biden dan Donald Trump, bagaimana perbedaan kedua pemimpin ini dalam menanggapi dan menyelesaikan kasus kontrol senjata?
Donald Trump
Trump didukung penuh oleh NRA sebagai calon presiden Amerika pada tahun 2016 lalu, hal ini dipicu oleh vokalnya Trump dalam menyuarakan pendapatnya tentang hak asasi kepemilikan senjata api. Sependapat dengan Trump direktur eksekutif NRA saat itu, Chris Cox, beliau beranggapan jika upaya penghapusan Amandemen kedua Konstitusi AS terkait kebebasan dalam memiliki senjata api, akan membuat warga Amerika merasa tidak aman dan ketakutan. Dari kecenderungan Trump tidak memiliki konsern yang spesifik pada issue ini, seperti pada peristiwa penembakan di kota perbatasan El Paso, Texas, pada Sabtu 3 Agustus 2019, saat itu Trump sama sekali tidak memberikan prilaku yang responsif dalam menanggulangi permasalahan ini, beliau hanya memberikan statement
“Ini juga merupakan masalah penyakit mental. Jika Anda melihat kedua kasus itu … kedua penembak itu sangat sakit,” kata Trump (BBC, 5 Agustus 2019)Sedangkan diduga bahwa malapetaka ini terdapat sindikat supremasi orang berkulit putih, dan pemicunya adalah retorika anti-imigran yang mewarnai kampanye pilpres dan masa jabatan Trump menjadi salah satu potensi munculnya kejahatan kebencian.
Untuk bisa meminimalisir ketidakpercayaan masyarakat kepadanya, salah satu cara Trump untuk mengkordinir lenyelesaian kasus ini adalah dengan melakukan oertemuan dengan korban selamat, dan keluarga korban untuk bisa memberikan simpati dan dukungan moril sebagai seorang presiden, dan setelahnya Trump akan melakukan audiensi dengan Entertainment Software Association (ESA), yang akan membahas keterlibatan Gim (game online), yang diduga mempromosikan kekerasan melaui aktivitas permainannya. Hal ini merupakan salah satu upaya Trump yang mengaitkan kasus penembakan massal ini dengan konstruksi sosial yang dipengaruhi oleh penggunaan media dan teknologi.
Joe Biden
“Demi Tuhan, ini sudah jadi epidemi dan harus dihentikan,” kata Biden (BBC, 8 April 2022)
Setelah terpilih sebagai presden Amerika pada 2020 lalu, performa kepemerintahan Bidan mulai dibandingkan dengan presdien sebelumnya, yaitu Donald Trump. Tidak terkecuali terhadap kasus ini, sebagai Presiden, Biden sangat mengecam aksi yang dilakukan oleh pelaku, dimana dengan sigap Biden memerintahkan kepada Departemen Kehakiman untuk membuat aturan soal pistol berpopor. Di bawah aturan tersebut, pistol berpopor akan digolongkan sebagai senapan laras pendek, yang memerlukan pemeriksaan latar belakang yang jauh lebih ketat di bawah Undang-Undang Senjata Api Nasional. Dan dilansir dari CNN, pada 25 Juni 2022 Biden resmi menandatangani Rancangan Undang-Undang (RUU) keamanan senjata bipartisan menjadi undang-undang, UU ini merupakan reformasi senjata federal besar pertama dalam tiga dekade terakhir. Jelas bahwa sebagai seorang presiden, Biden menganggap keselamatan rakyatnya adalah yang utama, namun dibalik itu beberapa golongan masyarakat menganggap aksi yang dilakukan Biden akan melanaggar hak konstitusi mereka dalam kepemilikan senjata api, yang mana hal ini telah diatur pada Amandemen Kedua Konstitusi AS.
Perbedaan respon dari kedua Presiden AS ini, memberikan perbedaan dalam dinamika penyelesaian kasus ini, dimana Trump yang memiliki kedekatan politik dengan pihak NRA, dan tidak mampu konsisten dalam menanggulangi konflik penggunaan senjata ini. Sehingga membuatnya setuju untuk menyeldiki kasus namun tidak dengan mengubah aturan yang sudah ada. Upaya Trump dalam menyelesaikan kasus ini dengan membenahi aspek sosial, dimana Trump berfokus pada pengetahuan dan konstruksi sosial di masyarakat akan penggunaan yang bijak dalam memakai senjata.Sedangkan Biden membuat gerakan cepat dengan memerintahkan kepada Departemen Kehakiman untuk membuat aturan soal pistol berpopor, dimaskudkan untuk tetap memberikan kebebasan bersenjata bagi warga Amerika namun dengan prosedur yang lebih ketat untuk me mastikan bahwa keamanan masyarakatnya terjaga.
*Penulis adalah Mahasiswa Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas (UNAND), di bawah bimbingan dosen Virtuous Setyaka, S.IP., M.Si.
Selamat Sifa…
Terus produktif…
Selamat Shifa, tidak cukup sepuluh kali revisi untuk satu tulisan yang layak dan enak dibaca memang…jangan kapok, dan juga jangan cuma untuk nilai kuliah doank! Ayo nulis lagi karena kamu bukan pohon pisang… .
Terima kasih kabarKAMPUS.com .
Trump dari Partai Republik dan Biden dari Partai Demokrat dari dulu persaingan sengit, polemik senjata, tapi Industri senjata mereka tetap proyek besar. Siapa sebenarnya yang untung dari hal ini?
Keuntungan dari kepemilikan senjata ini sejatinya seperti pisau bermata dua, disatu sisi diperbolehkannya kepemilikan senjata ini bertujuan untuk perlindungan diri bagi masyarakat AS, dan menurut saya yang berbahaya bukanlah senjatanya tapi, siapa yang memakai senjata tersebut. Namun disisi lain akibat kurang jelasnya pengoperasionalan dari regulasi ini, membuat penggunaan senjata yang melewati batas manusiawi, mengakibatkan timbulnya kerusuhan dan penembakan massal.
Nah untuk industri persenjataan sendiri, dari yang saya baca bukan hanya di pakai oleh masyarakat dalam negeri AS, melainkan keuntungan besar ini didapat dari implikasi perang senjata antar negara, contohnya antara AS dan Iran yang membuat konsumsi akan senjata meningkat, mana halnya seperti yang kita tahu perusahaan senjata terbesar itu rata-rata berasal dari AS, dapat disimpulkan bahwa pihak yang diuntungkan dalam hal ini adalah perusahaan senjata itu sendiri.
Keuntungan dari kepemilikan senjata ini sejatinya seperti pisau bermata dua, disatu sisi diperbolehkannya kepemilikan senjata ini bertujuan untuk perlindungan diri bagi masyarakat AS, dan menurut saya yang berbahaya bukanlah senjatanya tapi, siapa yang memakai senjata tersebut. Namun disisi lain akibat kurang jelasnya pengoperasionalan dari regulasi ini, membuat penggunaan senjata yang melewati batas manusiawi, mengakibatkan timbulnya kerusuhan dan penembakan massal.
Nah untuk industri persenjataan sendiri, dari yang saya baca bukan hanya di pakai oleh masyarakat dalam negeri AS, melainkan keuntungan besar ini didapat dari implikasi perang senjata antar negara, contohnya antara AS dan Iran yang membuat konsumsi akan senjata meningkat, mana halnya seperti yang kita tahu perusahaan senjata terbesar itu rata-rata berasal dari AS, dapat disimpulkan bahwa pihak yang diuntungkan dalam hal ini adalah perusahaan senjata itu sendiri.