Oleh: Febrilian Cahyani Gitaningtyas*
Tingkat laju kenaikan harga barang dan jasa atau yang bisa disebut inflasi dapat memberikan pengaruh bahkan ancaman tersendiri dalam aspek keamanan di suatu negara termasuk Indonesia. Transformasi sudut pandang konsep keamanan tradisional menuju non-tradisional membuat objek dari ancaman semakin meluas dan bukan hanya terpatok pada isu militer seperti peperangan antar negara. Kaum liberal memandang keamanan suatu negara sebagai terciptanya kondisi harmonis dan tentram yang diciptakan oleh negara untuk menghindari faktor-faktor yang dapat membahayakan segala aspek kehidupan masyarakat. Menurut Buzan dalam Hidayat Chusnul Chotimah, dkk (2017), konsep keamanan berkembang menuju dimensi yang multidimensi dan saling terkait, yakni mencakup ekonomi, sosial, lingkungan, militer, dan politik. Sehingga dalam hal ini, keterkaitan antara faktor-faktor domestik maupun global mampu mempengaruhi kondisi perekonomian seperti adanya inflasi yang mengancam keamanan negara.
Di Indonesia, gejolak terkait isu perekonomian masih menjadi fokus utama untuk dapat mengukur indikasi keberhasilan pembangunan dalam menciptakan kesejahteraan rakyat serta negara. Tingkat persentase rata-rata harga barang dan jasa Indonesia dapat dibilang belum sepenuhnya stabil. Berdasarkan data dari BPS (Badan Pusat Statistik) Indonesia sempat mengalami inflasi drastis dengan persentase 4,30 pada tahun 2012 kemudian naik menjadi yang paling tinggi yaitu 8,38% pada tahun 2013. Inflasi yang terjadi di tahun 2013 berdampak pada kenaikan harga kelompok bahan-bahan pokok masyarakat seperti listrik, beras, bawang merah, bahkan ikan segar. Di mana sumbangan persentase tertinggi berasal dari harga BBM serta cabai dengan persentase 1,75% dan 1,31% (Jefriando, 2014). Keadaan seperti ini tentunya mengancam secara langsung pada kehidupan sehari-hari dan meningkatkan angka kemiskinan di Indonesia terutama selama periode tersebut yang membuat masyarakat tidak berada pada suatu kondisi aman.
Seperti yang telah dijelaskan di awal bahwa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat persentase inflasi suatu negara dapat berasal dari kondisi yang terjadi dalam lingkup domestik maupun global. Dalam kasus inflasi yang terjadi tahun 2013, faktor domestik lah yang mengakibatkan harga barang dan jasa melonjak yaitu harga BBM bersubsidi dan kemudian ikut mempengaruhi pada kelompok kebutuhan pokok lainnya. Inflasi yang disebabkan oleh faktor global dapat terlihat selama masa Pandemi Covid-19. Di mana, kondisi selama pandemi menjadi permasalahan global yang memporak-porandakan dan mengakibatkan keadaan darurat ekonomi. Terlebih adanya pembatasan aktivitas masyarakat dalam periode yang cukup lama di masa awal pandemi semakin menghambat bahkan memberhentikan laju aktivitas perekonomian, berkurangnya permintaan terhadap barang jasa juga proses ekspor dan impor barang.
Selama Pandemi Covid-19 berlangsung sejak awal tahun 2020 hingga saat ini, memang sebagai negara berkembang, Indonesia masih harus berhadapan dengan permasalahan stabilitas perekonomian. Target presentasi terhadap inflasi yang telah ditentukan oleh pemerintah sebelumnya, tidak dapat terpenuhi akibat dari faktor dari Pandemi Covid-19. Dari data yang ditetapkan oleh BPS, target persentase inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) berada pada sasaran sekitar 3,0% (BI, 2022). Tingkat inflasi sendiri tidak boleh mencapai pada angka yang terlalu rendah atau terlalu tinggi, sehingga harus sesuai dengan target. Inflasi tahunan pada 2020 berada pada persentase sebesar 1,68%. Ini menunjukkan bahwa target yang telah ditetapkan oleh pemerintah masih belum tercapai. Justru pada tahun 2020 rata-rata inflasinya menjadi yang terendah jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Namun memang, rendahnya tingkat inflasi ini tidak terlalu berdampak pada daya beli yang tinggi, di mana tingkat daya beli tetaplah renda terlebih adanya Pandemi Covid-19 yang mengubah pola aktivitas masyarakat (Ayuningtyas, 2022).
Tak hanya berhenti sampai di situ, dinamika terhadap inflasi Indonesia dalam periode belakangan ini masih belum dapat dikendalikan dan mencapai pada tahapan stabil. Hal ini masih perlu adanya kesigapan dari pemerintah demi mencapai keamanan ekonomi dan masyarakat. Terutama inflasi yang terjadi pada tahun 2022, di mana salah satu bahan pokok masyarakaat yaitu minyak goreng mengalami kenaikan harga secara drastis dan kemudian juga diikuti oleh komoditas lain. Inflasi pada minyak goreng di bulan April ini naik sebesar 0,95 (mtm) dan menjadi yang tertinggi sejak tahun 2017 (Sembiring, 2022). Harga minyak goreng kemasan premium naik sebesar 73,2% dari yang semula Rp. 15.103/litter naik secara signifikan menjadi Rp. 26.170/litter (Wahyudi, 2022). Adanya kenaikan signifikan terhadap harga minyak goreng, dipicu oleh kenaikan harga Crude Palm Oil (CPO) dunia yaitu sebesar $ 2.010/ton pada bulan. Sehingga harga minyak goreng domestik pun juga ikut terpengaruhi (Aeni, 2022)
Invasi yang dilakukan oleh Rusia terhadap Ukraina berdampak pada permasalahan ekonomi secara global. Konflik ini secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap sektor perdagangan dunia serta pendistribusian bahan baku dunia menjadi terhambat. Pada akhirnya, Indonesa akan terpengaruh dengan adanya konflik ini termasuk naiknya harga pada sektor minyak goreng. Di mana, Rusia dan Ukraina sama-sama memiliki komoditas pada sektor CPO yang vital bagi Indonesia. Didasarkan pada data Kementerian Perdagangan, pada tahun 2020 dan 2021, total dari nilai perdagangan antara Indonesia dengann Rusia masing-masing sebesar $ 1,93 miliar dan $ 2,74 miliar. Sedangkan dengan Ukraina cenderung meningkat pada tahun 2020 dan 2021, masing-masing sebesar $1,18 miliar dan $ 1,45 miliar (Permana, 2022). Dibandingkan dengan kondisi sebelum invasi terjadi harga CPO naik secara signifikan sebesar 80% (YoY) (Kusnandar, 2022). Kenaikan kenaikan pada harga CPO secara global, dapat memberikan dampak bagi minyak goreng di Indonesia dan sejumlah kebutuhan pokok dan energi, seperti gandum serta BBM.
Melihat dari kondisi ketidakstabilan harga barang akibat faktor domestik dan global yang terjadi hingga saat ini, dapat memberikan implikasi terhadap permasalahan keamanan ekonomi dan masyarakat. Tingkat kesejahteraan masyarakat yang menurun terutama selama pandemi mengacu pada kesenjangan dalam pemenuhan kebutuhan pokok. Masyarakat yang terdampak perekonomiannya secara langsung selama pandemi terutama bagi kalangan yang kurang mampu, membuat mereka harus berada pada tekanan dan keterpurukan. Apabila seseorang dihadapkan pada hambatan dalam mencapai tujuan dan hal tersebut dapat mengancam keberlangsungan hidupnya dapat menandakan bahwa ia tidak mendapatkan keamanan.
Dalam menghadapi permasalahan yang dapat menimbulkan kondisi tidak aman, liberalisme menganggap bahwa institusi merupakan jalan keluar, terlebih untuk menjembatani ke arah penyelesaian dari permasalahan. Hal ini dikarenakan apabila satu negara telah memutuskan untuk bergabung dalam institusi tertentu, maka itu berarti bahwa mereka telah memberikan beberapa hak-hak yang akan diatur oleh institusi. Adanya kerangka kerja dalam institusi yang tergabung dari berbagai negara dapat saling melengkapi, memperkuat, dan mencapai pada keamanan di suatu aspek yang lebih stabil. Terutama dalam stabilitas harga barang dan jasa yang menjadi aspek keamanan ekonomi dapat memungkinkan untuk terciptanya keamanan.
Upaya Indonesia dalam mengatasi permasalahan ekonomi terlihat pada partisipasi dalam G20. G20 merupakan institusi multilateral atas 19 negara dan 1 organisasi regional yang dibentuk dengan tujuan sebagai upaya dalam mencari solusi atas kondisi finansial ekonomi internasional terutama mewujudkan stabilitas keuangan global bagi negara maju juga berkembang. Selama Indonesia menjadi anggota, G20 telah membuka jalan bagi banyak sarana investasi, lapangan pekerjaan, serta gagasan-gagasan yang dapat membangun perekonomian antar anggota. Selain itu, G20 membuka prluang bagi Indonesia dalam menjalankan kerja sama bilateral sesama anggota. Seperti pada KTT tahun 2020, Indonesia berperan aktif dalam pengajuan ide dalam ekonomi digital yaitu Digital Media Accelerator Hub sebagai wadahunicorn antara anggota G20. Tak hanya itu, Indonesia dan Korea Selatan saling membahas mengenai kerja sama aset lebih lanjut dalam Indonesia-Korea Comprehensive Economic Partnership Agreement (IKCEPA) (Putri, 2020). Dengan bergabungnya Indonesia terlebih sebagai presidensi, akan memberi kesempatan yang lebih luas untuk bisa mendorong stabilitas perekonomian dan terciptanya kondisi aman terutama dalam aspek ekonomi.
Perkembangan konsep dan sudut pandang dalam keamanan dari isu tradisional menuju non-tradisional memberikan dampak permasalahan yang semakin kompleks. Dalam konsep keamanan, perlu adanya perlindungan dan harus dipastikan bahwa nilai-nilai dalam suatu negara tidak baerada pada kondisi yang terancam. Ekonomi merupakan aspek yang sangat penting untuk mengukur tingkat kesejahteraan di suatu negara. Adanya inflasi yaitu kenaikan dalam beberapa harga barang dan jasa dapat memberikan ancaman secara langsung terhadap kesejahteraan sosial masyarakat juga sistem dari negara itu sendiri. Sehingga institusi menjadi jalan keluar yang dapat diambil oleh negara-negara yang memiliki kesamaan tujuan dalam suatu aspek dan membutuhkan jembatan untuk menuju keamanan bagi seluruh masyarakat dan aspek di negaranya.
*Penulis adalah Mahasiswa semester tiga jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi (FISKOM), Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) di bawah bimbingan dosen Triesanto Romulo Simanjuntak, S.IP., M.A.