Menjadi mahasiswa adalah masa transisi penting Kawan Kampus menuju kedewasaan, termasuk dalam hal mengelola keuangan. Di tengah gaya hidup kampus yang dinamis, godaan untuk mengonsumsi tanpa perhitungan bisa sangat besar. Mulai dari nongkrong di kafe, membeli gadget terbaru, hingga berbelanja impulsif secara daring—semua bisa menjadi pintu masuk pada jeratan hutang konsumtif.
Apa sih utang konsumtif itu?
Utang konsumtif adalah utang yang digunakan untuk membeli barang atau layanan yang nilainya terus menurun dan tidak menghasilkan pendapatan. Contohnya adalah cicilan ponsel baru, pakaian bermerek, atau pinjaman untuk liburan. Berbeda dengan utang produktif yang bisa menambah nilai atau menghasilkan penghasilan di masa depan (misalnya utang untuk modal usaha), utang konsumtif justru menguras keuangan dan sering kali menimbulkan beban psikologis.
Mahasiswa kerap kali belum memiliki penghasilan tetap, namun sudah mulai mengelola keuangan sendiri. Di sisi lain, akses terhadap pinjaman kini sangat mudah—mulai dari pay later, kartu kredit mahasiswa, hingga pinjaman daring tanpa jaminan. Ketidaksiapan dalam mengelola keuangan, ditambah tekanan sosial dan gaya hidup, membuat mahasiswa sangat rentan terjebak dalam siklus utang konsumtif.
Utang konsumtif juga memberikan dampak jangka panjang. Sebab meskipun terlihat sepela, utang konsumtif bisa memberikan dampak besar seperti bunga denda yang menumpuk. Hal ini bisa membuat total utang membengkak. Juga termasuk membuat skor kredit Kawan Kampus menjadi buruk sehingga menyulitkan akses pinjaman di masa depan.
Akan lebih bahaya lagi jika utang konsumtif membuat tertundanya tujuan keuangan seperti menabung untuk kuliah lanjut, usaha, atau menikah. Menghindari utang konsumtif bukan berarti tidak boleh menikmati hidup sebagai mahasiswa. Kuncinya adalah keseimbangan dan kesadaran finansial.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>
