More

    Kenang-kenanglah Kami

    Aku hidup jutaan tahun lalu ketika Sangiran masih dikelilingi laut. Kehidupanku dan keluarga terbilang bahagia. Punya pasangan dan anak-anak yang lucu. Komunikasi kami lancar, laiknya sebuah keluarga kecil, kami sangat memperhatikan satu sama lain.

    Kini, kalian lebih dekat melihatku. Bahkan bisa memegang seluruh anggota tubuhku. Tentu tubuhku yang sekarang ini merupakan gambaran dari manusia sekarang. Bahwa kami menggunakan batu sebagai alat berburu, tidak mengenakan pakaian, apalagi hang out di mal seperti saat sekarang.

    - Advertisement -

    Tapi jika kalian menonton film-film hollywood, kami sebenarnya adalah makhluk yang menyamar. Datang dari kehidupan yang memiliki teknologi paling canggih lalu merasa bosan dan akhirnya menjadi seperti ini.

    Harus kuakui rasa dingin di dalam bangunan ini seperti saat kami menghadapi malam. Kalau sudah begitu, biasanya kami merapatkan diri bersama anggota keluarga dan menyalakan api demi kehangatan.

    Sungguh pengalaman yang luar biasa melihat generasi masa kini dengan cermat menatap kami. Ada yang ketawa, ada juga yang keningnya berkerut-kerut. Tidak sedikit yang mengabadikan diriku sebagai kenangan. Alat itu namanya kamera kan?

    Kehidupan kalian memang canggih. Kamera juga alat yang sering kalian pijit-pijit itu tak pernah lepas dari tangan. Seperti kami saat memegang kapak batu bila keluar dari goa. Juga tak pernah lepas.

    Sepertinya alat itu cocok untuk anakku. Sedangkan dengan umurku yang sudah jutaan tahun, tak bisa lagi melihat huruf-huruf kecil di alat itu. Tapi kudengar dari pengunjung tadi malam, bahwa manusia sekarang juga masih menggunakan bahasa gambar. Itu bahasa yang biasa kami gunakan. Bahkan saat curhat di dinding rumah kami.

    Kalian menyebutnya goa, kami menyebut oa-oa.

    Saat diajak Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran, kami sekeluarga sudah sepakat, kami tetap memilih menjadi “purba”. Sesuatu yang kalian anggap kuno dan tak berbudaya. Ini pilihan kami. Kami tak siap harus mengenakan busana ala K-Pop atau isteriku harus mengenakan hak tinggi saat ke mall. Dan tak perlu pula kami menjustifikasi kehidupan kalian yang telah banyak menghancurkan kehidupan tempat dimana kami pernah tinggal.

    Sebagai nenek moyang kalian, aku mengerti. Setiap babak kehidupan selalu punya ceritanya masing-masing. Meski perkenalan kita singkat di Jakarta ini, aku dan keluarga akan terus melihat perkembangan manusia.

    Jika kalian sempat datangilah kami di Sangiran, Jawa Tengah. Tanyalah pada Pak Harry Widianto, dia hampir mengenal kami dengan baik. Ide mengajak kami ke Atrium Mal Kota Kasablanka ini juga dari dia. Ia ingin mal juga bisa menjadi museum purbakala yang menyimpan rahasia kehidupan. Ia ingin mal tak hanya untuk tempat berjualan tapi juga tempat untuk menikmati pengetahuan.

    Di pertemuan yang bahagia ini, aku ingin mengungkapkan rasa bahagiaku dengan membaca puisi. Sebuah puisi lama yang kalian kenal. Tapi maaf aku tak begitu hapal. Kurang lebihnya begini.

    “Kami sudah coba apa yang kami bisa, Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa…Kami sudah beri kami punya jiwa, tapi kini tinggal tulang-tulang berserakan. Kenang-kenanglah kami.”

    Never ending Sangiran.

     

    ttd
    Homo Erectus si Orang Sangiran

    - Advertisement -

    1 COMMENT

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here