Frino Bariarcianur
Museum Fatahillah di Kota Tua Jakarta dari dulu hingga sekarang punya cerita. Kali ini cerita kehidupan dari boneka ajaib yang pandai menari.
Ada dua boneka yang menarik perhatian pengunjung di halaman Museum Fatahillah. Boneka-boneka itu mampu bergerak ke kiri dan ke kanan. Keduanya bisa menari apa saja. Rupanya tidak hanya aku yang tertawa, sejumlah pengunjung yang melihat pun tertawa juga.
Boneka itu terbuat dari sandal jepit dan kain perca. Untuk bisa menari dengan lucu, kedua tangan dan kakinya diberi tali. Pada pangkal talinya terdapat semacam kontrol yang digerakkan dengan tangan. Dari kontrol inilah boneka mengikuti irama lagu.
Pembuatnya bernama Pak Muchtar. Seorang laki-laki kelahiran Bandung yang hidupnya berpetualang. Kedua boneka berbentuk wanita dan tengkorak ini adalah hasil kreasinya sendiri. “Saya mendapatkan mimpi untuk membuat sebuah boneka,” kata Pak Muchtar.
Jadilah sebuah boneka tengkorak yang lucu.
Untuk membuat sebuah boneka ia menghabiskan 8 sandal jepit, kain bekas, pemutar lagu dari mp3 bekas, dan 8 tali senar. Ia juga membutuhkan paralon kecil sebagai konstruksi pengait senar boneka. Lalu ada sebuah kotak untuk menyimpan pengeras suara.
Jika lagu sudah diputar jari-jari Pak Muchtar seperti seorang DJ yang memainkan plat musik. Jika DJ mengeluarkan suara, maka jari Pak Muchtar menghasilkan gerakan boneka yang menarik perhatian. “Saya membuatnya 6 bulan lalu. Ini boneka ajaib,” kata Pak Muchtar dengan wajah serius.
Hidup keluarga Pak Muchtar memang sederhana. Ia dan anak-anak menyambung kehidupan dengan bekerja apa saja. Yang penting halal dan tak melanggar hukum di Indonesia. Sambil menghembuskan asap rokok kretek ia bercerita mengenang jalan kehidupannya. Waktu itu matahari seperti ingin memanggang manusia di museum Fatahillah. Tapi cerita Pak Muchtar membuat panas itu tak ada artinya.
Pak Muchtar kelahiran Bandung, 57 tahun lalu. Sebelum menjadi pemain dan pencipta “boneka ajaib” ia pernah mengadu nasib di daerah Minang, Sumatera Barat. Isteri dan anak-anaknya ia boyong semua. Mereka berjualan namun nasib belum berpihak kepada Pak Muchtar. “Persaingan terlalu berat. Kami hanya pedagang kecil.”
Cerita terhenti. Ia melanjutkan kembali konsernya. Kali ini lagunya Gang Nam Style. Jari-jari Pak Muchtar dan Rama Saputra, anaknya, bergerak seperti DJ. Boneka-boneka melenggok ke kanan ke kiri. Senyum pun terlihat di wajah pengunjung Museum Fatahillah Kota Tua Jakarta.
Beberapa anak kecil menaruh uang ke kaleng. Seribu, 2 ribu, ada juga yang 5 ribu. Ia juga pernah ngamen di kereta api jurusan Kota Tua – Bogor. Ia membawa keyboard dan bernyanyi. Anak-anaknya juga ikut. Menurut cerita Pak Muchtar, sebelum tampil di Museum Fatahillah, boneka-boneka lucu itu pun ia kenalkan di kereta. Lalu ia putar otak untuk mendapatkan uang lebih dari pertunjukkannya. Selain itu ia sudah tua dan tak sanggup lagi harus berhimpitan di dalam kereta. Akhirnya pilihan jatuh di halaman Museum Fatahillah. Di sini sudah 6 bulan ia menghibur pengunjung.
Di halaman museum Fatahillah, tidak hanya Pak Muchtar yang mencari rejeki. Ada banyak orang yang punya kepentingan untuk menyambung kehidupan. Inilah wajah ekonomi mandiri yang digagas oleh warga Jakarta dan para perantau di ibu kota. Untuk bertahan hidup, mereka harus kreatif.
Mereka menyewakan sepeda ontel, berdagang makanan dan minuman, membuat tatto, ojek sepeda, pertunjukkan kuda lumping, pertunjukkan sulap, menjadi patung tentara dan masih banyak lagi. Kreativitas mereka muncul karena kebutuhan mendasar yakni cari makan.
Begitulah juga pertunjukkan Boneka Ajaib milik Pak Muchtar.
Meski umurnya yang tak lagi muda tak membuat kreativitas harus berhenti. Bahkan ketika dagangannya apes di Tanah Minang, ia menggebrak dengan membuat sebuah mobil mini. Tidak tanggung-tanggung, mobil berkekuatan 6 PK mesin Ratna Diesel itu ia jalankan dari Padang ke Jakarta.
“Kami pulang karena tak punya uang lagi. Kami hanya membawa 75 ribu,” kata Pak Muchtar mengenang perjalanan selama 13 hari pada tahun 2002.
Mobil mini buatan Pak Muchtar panjangnya 2,5 meter, lebarnya 80 cm. “Atapnya setinggi ban mobil truk,” kata Pak Muchtar. Sri Hastuti, sang isteri, Rama Saputra waktu itu berumur 10 tahun, dan adiknya Muhammad Fajar berumur 7 tahun.
“Kayak naik odong-odong aja, Bang. Kalau jalannya nanjak, harus didorong. Cape,” kata Rama tersenyum. Tapi kehidupan memaksa mereka terus berjalan.
“Andai saya tahu, isteri saya sedang hamil, takkan saya memaksa dia naik mobil itu,” kenang Pak Muchtar. Wajahnya menampakkan kemurungan. Ia menyesal. Tapi Sri Hastuti punya pandangan lain. Ia kuatkan hatinya untuk mengikuti sang suami dengan kandungan yang berumur 4 bulan. Tentu tak seperti naik mobil kebanyakan, mereka harus berhimpitan satu sama lain.
“Pengalaman itu perih. Bagaimana sakitnya kehidupan waktu itu,” kali ini Pak Muchtar hisap asap rokoknya kuat-kuat.
Selama perjalanan mereka sekeluarga banyak dibantu. Jika mampir di sebuah rumah makan, pemiliknya menggratiskan makanan. Jika mereka singgah di kantor camat, ada yang ngasih uang 50-100 ribu. “Alhamdulillah, banyak yang bantu selama perjalanan.”
Sesampai di Jakarta, ia singgah di Indosiar. Mereka sekeluarga disambut di acara “Alamak”. Di sinilah ia mendapat uang lebih, sebesar 700 ribu. Ia merasa karya mobil mininya layak untuk diperlihatkan ke Presiden, hingga ia pun berangkat lagi ke Cikeas. Sayang, orang penting Indonesia ini tak ada di tempat.
Sampai ia membuat boneka ajaib ia tak pernah bertemu SBY.
Kehidupan terus berjalan. Berputar seperti roda ban mobil mininya, menari seperti boneka ajaibnya yang selalu membuat tawa. “Saya akan bikin 8 boneka ini lagi, jadi lengkap seperti pemain band. Biar pengunjung lebih suka dengan Boneka Ajaib saya.”
Ia juga berharap, bila pertunjukkan Boneka Ajaib di Museum Fatahillah ini disukai, akan banyak orang yang memberi uang. Mereka bisa makan dan bertahan di rumah kecil mereka di daerah Pondok Kopi.
Siang itu di halaman Museum Fatahillah, panas yang membara seperti tak ada artinya. Hati ini pun bergetar mendengar sekelumit kisah kehidupan Pak Muchtar.[]