Ahmad Fauzan Sazli
BANDUNG, KabarKampus – Sudah lebih dari dua kali ruas jalan tol Cipularang amblas. Pada Januari 2014 lalu, ruas jalan tol amblas pada di kilometer 72. Akibatnnya perjalanan Jakarta – Bandung yang biasa ditempuh dalam waktu 2 -3 jam molor hingga 6 jam.
Ir. Harmein Rahman, anggota Kelompok Riset Teknik Transportasi, Departemen Teknik Sipil ITB menduga bahwa salah satu faktor penyebab amblasnya ruas jalan tol Cipularang adalah ketidaktepatan metode pengerasan pada saat proses pembuatan jalan. Selain itu, target penyelesaian proses pembuatan jalan yang begitu cepat juga turut berperan dalam hal tersebut.
Ia menjelaskan, bahwa pembangunan jalan tol yang diresmikan pada tahun 2005 itu memang berpacu dengan waktu agar dapat digunakan untuk perhelatan 50 tahun Konferensi Asia Afrika. Target penyelesaian pengerjaan jalan yang begitu cepat membuat proses kompaksi, terutama di daerah timbunan, menjadi tidak ideal.
“Tidak seperti aspal, bagian atas jalan tol merupakan rigid pavement yang membutuhkan waktu lebih lama untuk kering. Proses pengerjaan jalan yang terburu-buru mengakibatkan proses pengeringan dipercepat, sehingga kepadatan bagian bawah ruas jalan berkurang. Akibatnya, sering terjadi kerusakan di daerah lereng yang merupakan daerah timbunan,” kata Harmain.
Menurutnya, selain akibat ketidaksempurnaan proses pembuatan jalan, amblasnya ruas jalan Tol Cipularang terjadi akibat curah hujan yang sangat tinggi. Intensitas air yang tinggi diiringi dengan sistem pengaliran air yang kurang baik menyebabkan air masuk ke dalam sistem jalan.
“Keberadaan air ini menyebabkan tanah penopang jalan menjadi gembur dan densitas tanah menurun. Daya dukung tanah pun ikut menurun sehingga tanah tidak dapat lagi menopang jalan yang berada di atasnya,” jelas Harmain.
Ia menuturkan, saat ini, langkah perbaikan jalan yang amblas berupa pemasangan tiang-tiang beton dan penyuntikan bahan kimia ke dalam tanah dinilainya sebagai langkah terbaik yang dapat dilakukan. Akan tetapi, biaya perbaikan jalan tersebut memakan dana yang jauh lebih bila dibandingkan dengan melakukan langkah antisipatif.
“Dalam perbaikan jalan, biaya yang harus dipenuhi adalah biaya peningkatan safety factor agar sistem tidak kembali gagal,” jelas Harmain.
Selain itu, menurutnya diperlukan juga biaya akselerasi agar proses perbaikan jalan berlangsung dengan cepat sehingga jalan dapat digunakan kembali. Langkah antisipatif tentunya tidak membutuhkan biaya akselerasi dan safety factor yang digunakan dapat sesuai dengan desain awal.
Ia mengungkapkan, salah satu langkah antisipatif yang dapat dilakukan oleh pengelola jalan tol saat ini adalah membuka kembali database jalan dan mengidentifikasi daerah-daerah yang berpotensi mengalami kerusakan. Pengamatan daerah-daerah yang berpotensi mengalami kerusakan juga perlu dilakukan secara real time.
“Dengan demikian, dapat dilakukan langkah antisipatif agar kejadian seperti ini tidak terulang kembali. Pengelola harus mengetahui daerah mana saja yang membutuhkan perhatian, setelah itu baru diambil langkah antisipatif. Jangan sampai kejadian dahulu, baru mengambil tindakan,” tegasnya.
Di samping mengidentifikasi daerah yang berpotensi mengalami kerusakan, menurutnya langkah antisipatif lain yang dapat dilakukan oleh pihak pengelola jalan tol adalah mengatur sistem pengaliran air. Air yang telah mengalir secara alamiah melalui suatu jalur seharusnya difasilitasi alirannya, bukan dibendung atau dibelokkan.
Menurutnya, langkah antisipatif yang hendak diambil sebaiknya setara dengan kondisi musim hujan seperti sekarang. Selain itu, musim penghujan dengan intensitas curah hujan yang sangat tinggi menyebabkan langkah antisipatif tersebut perlu dilakukan pada musim kemarau.
“Segala pekerjaan hendaknya dilakukan pada musim kemarau, karena hal tersebutlah yang menentukan keselamatan kita di musim hujan,” tutur Harmein.[]