Mega Dwi Anggraeni
BANDUNG, KabarKampus – Sebuah batu sisa makam bertuliskan Luitenant (Letnan) Oeij Bouw Hoen ditemukan di sebuah tembok kost-kostan di RT 05/ RW 03, Kelurahan Babakan Ciamis, Bandung. Batu nisan tersebut ditemukan oleh Komunitas Aleut secara tidak sengaja pada Sabtu pekan lalu.
Kondisi dari batu nisan tersebut tampak tidak terawat. Makamnya hilang, berganti dengan sampah-sampah yang menutupi batu nisan. Sebagian dari lahan yang seharusnya jadi makam pun digunakan sebagai tempat jemuran warga.
Sekilas, tulisan pada batu itu memang tampak tidak istimewa. Tetapi jika melihat tahun yang tertera pada batu itu, bisa diketahui jika sang letnan hidup dan meninggal di Bandung pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
Ridwan Hutagalung, Pembina Komunitas Aluet, mengatakan dia bersama komunitasnya tidak sengaja menemukan batu nisan itu. Awalnya, mereka hanya akan menyusuri Cikapundung untuk mencari jejak sejarah tragedi banjir Cikapundung pada tahun 1945. Tetapi secara tidak terduga, mereka malah menemukan sebuah sisa makam berupa batu nisan milik seorang Letnan Tionghoa.
“Awalnya saya kira nisan itu adalah milik seorang anggota militer, makanya didiamkan saja di situ. Tetapi yang menarik adalah tahun yang tertera pada nisan tersebut. Kemudian, sesampainya di rumah, saya mencari tahu tentang Oeij Bouw Hoen,” akunya, Kamis, (27/03/2014).
Dari hasil pencarian tersebut, diketahui bahwa Oeij Bouw Hoen merupakan salah satu dari tiga letnan Tionghoa yang ada di Bandung pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Bahkan, dia merupakan Letnan Tionghoa pertama pada masa itu.
“Dari informasi tambahan yang saya terima, Oeij Bouw Heon terpilih menjadi letnan karena dia salah satu orang yang istimewa. Tapi saya masih belum tahu banyak tentang Letnan Tionghoa pertama di Bandung ini,” ujarnya.
Ridwan menjelaskan, Pemerintah Hindia Belanda memberikan pangkat militer kepada orang-orang Tionghoa tertentu pasca Tragedi Angke pada 1740. Umumnya, orang yang menerima pangkat adalah orang-orang terkemuka, misalkan orang kaya dan pedagang.
Meskipun begitu, pemilik pangkat ini tidak memiliki tugas yang berhubungan dengan kemiliteran. Tugas mereka hanya sebagai pengubung antara pemerintah dengan warga Tionghoa.
“Pangkat ini biasanya ditentukan dalam skala wilayah. Untuk kota besar, pangkatnya bisa mencapai kapten, untuk Batavia sampai mayor, dan karena Bandung termasuk kota kecil maka pangkat hanya sampai pada letnan saja,” katanya.
Berdasarkan informasi yang di dapat oleh Komunitas Aleut, Oeij Bouw Heon hanya menjabat sebagai letnan selama setahun, sejak 1881 hingga 1882. Selanjutnya, jabatan tersebut diberikan kepada Chen Hai Long atau Tan Hai Long. Letnan kedua ini menjabat hingga tahun 1888. Kemudian pada tahun 1888 hingga 1917, putra Tan Hai Long, yakni Tan Joen Liong menggantikan tugas sang ayah menjadi letnan Tionghoa ketiga di Bandung.[]