Erwin Handono
“We abuse land because we regard it as a commodity belonging to us. When we see land as a community to which we belong, we may begin to use it with love and respect”
-Aldo Leopold-
Isu lingkungan hidup dan global warming mulai menjadi perhatian masyarakat internasional sejak diselenggarakannya Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Stockholm, Swedia, pada tahun 1972. Isu lingkungan pada awalnya hanya dianggap sebagai isu low politics. Kemudian isu ini berubah menjadi salah satu isu global utama karena dianggap memiliki pengaruh besar terhadap keberlangsungan hidup manusia. Hal ini disebabkan program pembangunan dan industrialisasi yang dicanangkan oleh negara-negara berjalan dengan mengabaikan polusi dan limbah yang dihasilkan. Peningkatan kadar karbon secara berlebihan pun tidak bisa dihindari.
Peningkatan kadar karbon di udara menyebabkan menipisnya lapisan ozon yang menyebabkan panas matahari terperangkap di dalam gas rumah kaca. Fenomena ini menyebabkan panas bumi meningkat atau biasa kita sebut sebagai global warming. Selain itu, pola hidup masyarakat dunia yang tidak ramah lingkungan akibat masih rendahnya kesadaran terhadap lingkungan semakin menambah parah kerusakan yang telah terjadi.
Keadaan ini menuntut negara-negara dunia untuk segera menemukan solusi terhadap permasalahan ini. Sejauh ini kita bisa melihat beberapa kebijakan lingkungan, seperti green technology, pajak pada karbon (carbon tax), sistem perdagangan karbon, dan kebijakan-kebijakan lainnya. Sayangnya, kebijakan-kebijakan tersebut hanya berfokus pada level negara dan policy maker. Sedangkan, perlu disadari bahwa penyumbang emisi terbesar datang dari kegiatan insustri sebagai akibat dari permintaan konsumen yang tinggi. Sehingga dibutuhkan sebuah mekanisme yang dapat mengubah cara hidup masyarakat yang konsumtif menjadi gaya hidup hijau (green-life-style).
Menangani masalah lingkungan tidaklah harus dengan melakukan hal-hal yang besar, namun bisa dilakukan dengan hal-hal sederhana seperti berhemat. Masalah lingkungan saat ini merupakan akibat dari perilaku manusia yang semakin serakah dan konsumtif. Penghematan sekiranya dapat mengurangi peliknya masalah lingkungan saat ini, seperti menghemat air, kertas, bahan bakar, dan sebagainya.
Dari sini terlihat jelas bahwa cara paling sederhana dan mendasar untuk menghadapi global warming adalah dengan meningkatkan pengetahuan serta kesadaran masyarakat untuk hidup dengan gaya hidup yang ramah lingkungan. Sehingga, penerapan green education di dalam sektor pendidikan formal dan non-formal merupakan bentuk konkrit yang bisa dilakukan oleh para pemimpin negara untuk mengatasi permasalahan global warming mulai dari level grass-roots.
Pendidikan merupakan basis paling dasar untuk mengubah cara pandang dan cara hidup seseorang. Dengan diterapkannya green education di seluruh lapisan masyarakat sejak dini, generasi bumi selanjutnya akan menjadi generasi yang berwawasan lingkungan. Efek jangka panjangnya adalah para pengambil kebijakan dan elemen lainnya, nantinya akan selalu menempatkan aspek lingkungan hidup sebagai salah satu prioritas utama dalam setiap kebijakan yang akan diambil.
Green education diharapkan akan diterapkan secara global di seluruh dunia dan akan meliputi pendidikan formal dan non-formal untuk menciptakan sebuah Green Governance. Di dalam sektor formal, green education nantinya diharapkan akan masuk ke dalam kurikulum sekolah. Sedangkan di dalam sektor non-formal pemerintah nantinya diharapkan dapat mengadakan berbagai kampanye dan penyuluhan tentang lingkungan dan gaya hidup hijau kepada masyarakat luas bekerjasama dengan Organisasi Internasional seperti United Nations Environment Programme (UNEP) ataupun NGO, seperti Greenpeace. []