A. Fauzan
JAKARTA, KabarKampus – Sepuluh tahun lalu, tepatnya 7 Sepetember 2004, Munir Said Thalib tewas diracun di dalam pesawat menuju Belanda. Namun sepuluh tahun selepas meninggalnya Munir, kasus pembunuhanya tak kunjung terungkap.
Untuk mengenang pembunuhan Munir, Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Canberra dan Indonesia Synergi menggelar diskusi Menolak Lupa, mengenang pembunuhan Munir sepuluh tahun silam dalam perjalanan menuju Belanda. Acara yang dihadiri oleh sekitar 80an orang ini adalah satu dari serangkaian acara bertajuk “Canberra Melawan Lupa.”
“Di Amerika, Munir adalah Martin Luther King,” kata Usman Hamid, Aktivis HAM dalam diskusi tersebut di Canbera (02/09/2014).
Bagi Usman yang juga mantan Sekertaris Tim Pencari Fakta Kasus Munir bentukan Presiden Susilo Bambang-Yudhoyono ini di balik kesederhanaan dan kebersahajaannya, Munir menyerap dan mewarisi kearifan tokoh-tokoh besar dunia lintas generasi.
“Dia adalah orang yang sangat sopan dan rendah hati, tapi pada saat yang sama juga seperti tak mengenal rasa takut,” kenang Usman.
Usman bercerita, suatu ketika Munir pernah berkata “yang perlu ditakuti adalah rasa takut itu sendiri.” Frase yang sama pernah dikatakan mantan Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Roosevelt, tahun 1933: “The only thing we have to fear is fear itself.”
Pada kesempatan itu, Usman juga menjelaskan sisi humanis seorang Munir. Menurutnya Munir melakukan pembelaan pada siapa saja, tak peduli apapun agamanya.
“Munir pernah berkata bahwa jika kamu menemukan korban di tempat kerja atau di jalanan, setiap orang memiliki kewajiban untuk memberi pertolongan tanpa menimbang apakah perbuatan itu sesuai dengan Qur’an atau Al-Kitab,” lanjut Usman.
Sementara itu, Shohib Essir, Ketua Umum PPICanberra, menyatakan, acara ini didasarkan pada tekad untuk menolak melupakan kekerasan yang terjadi di masa lalu. Ia mengajak para hadirin untuk menandatangi petisi kasus Munir yang dibuat Suciwati pada situs www.change.org/Munir sambil menegaskan bahwa organisasi pelajar seperti PPI tidak akan mendiamkan ketidak-adilan.
“Ilmu pengetahuan hadir bukan untuk dirinya sendiri, tapi ia hadir untuk perubahan sosial,” katanya.