JAKARTA, KabarKampus – Hasil nyata dari reformasi adalah Indonesia menjadi sebuah negara yang demokrasi. Namun saat ini demokrasi itu dikebiri dengan dihapuskannnya pemilihan langsung gubernur dan bupati oleh rakyat.
Hal ini disampaikan, Prof. Dr. Franz Magnis Suseno, SJ. Guru besar dan Pakar etika politik dari Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Dalam konfrensi pers Seruan Moral Ilmuwan Indonesia di UI Salemba Jakarta pusat, Kamis, (09/10/2014).
Ia menjelaskan tahun 1955 serta tahun 1999 dan seterusnya rakyat menunjukan diri sangat mampu memilih pimpinan negara maupun daerah dengan dewasa serta sesuai keinginan masing-masing.
“Yang menyedihkan bagi saya, UU pilkada mendadak disahkan dan meremehkan reaksi rakyat, dengan memperlihatkan bahwa Koalisi Merah Putih (KMP) sudah mempunyai kekuasaan di legislatif,” ujarnya.
Prof Magnis menilai, sikap politik tersebut adalah bentuk penghinaan terhadap rakyat Indonesia. Karena seharusnya dalam perumusan Undang-undang DPR harus didiskusikan panjang lebar.
“Perlu disadari bahwa demokrasi sebenarnya merupakan cita-cita para pendiri bangsa ini,” ungkapnya.
Namun ia menjelaskan, saat ini ada usaha untuk memperlemah demokrasi, seperti prinsip satu orang satu suara bertentangan dengan perwakilan permusyawaratan. “Dan perwakilan itu bisa diwujudkan dalam momen pemilihan langsung,” tegasnya.
Ia memaparkan, Indonesia punya pengalaman, selama 33 tahun, yang pemerintahannya mengedepankan otot sebagai kekuasaan.demokrasi adalah rakyat harus memilih pemimpinnya secara langsung. “Saya rasa penting jika kita memprotes syarat-syarat meremehkan rakyat atas nama otot dan kekuasaan,” katanya.[]