More

    Gerakan Anti Korupsi untuk Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

    Ahmad Taufik, Calon Komisioner KPK

    “Mencegah  harus datang dari diri kita sendiri, lingkungan kita dan yang lebih luas lagi dengan cara mengorganisir dalam sebuah gerakan bersama. Menurut seorang bijak, kejahatan yang terorganisir bisa mengalahkan kebaikan yang tak tak teroganisir. Lalu apakah kita mau dikalahkan kejahatan yang terorganisir? Sekarang inilah yang terjadi di Indonesia. mafia dan kartel menguasai semua bidang, aparat pemerintahan dan juga penegak hukum diseret oleh kemauan mereka. Lalu kita (rakyat) dibuat tak berdaya hanya menerima keadaan.”

    Pendahuluan

    Ahmad Taufik
    Ahmad Taufik

    Sebuah banner berukuran 90 cm x 200 meter berdiri tegak di salah satu ruangan di kantor atau markas Polda Metro Jaya, Jakarta, saat saya mengurus Surat Keterangan Catatan Kepolisian. Di atas bahan spanduk plastik tersebut terpampang tulisan “Anti Korupsi Harga Mati.”

    - Advertisement -

    Apa benar “Anti Korupsi Harga Mati?” atau “Anti Korupsi Sudah Mati?”. Soal “harga mati” pada suatu kesempatan diskusi saya sempat berseloroh, yang terjadi sekarang adalah “harga nego”. Lihat saja, sebuah acara di sebuah televisi swasta tentang polisi bertajuk “86”. Selama ini istilah “86” popular di masyarakat berarti “damai” dalam bahasa Cina Hokkian dikenal sebagai cincai (sama-sama maklum/terserah). Maksudnya, ketika seseorang berhadapan dengan urusan hukum atau sanksi, diselesaikan saja di tempat, tidak usah mengikuti prosedur yang sudah ada. Contoh yang paling sering adalah kasus pelanggaran lalu lintas.

    Mengikuti prosedur, berarti menjalani serangkaian birokrasi, ribet dan juga “memakan” waktu. Belum lagi, pelayanan yang sering tidak menyenangkan (baca ramah). Nah, “86” atau “damai”, bisa selesai di tempat segera. Tentu saja di dalam “damai” ada timbal balik kedua belah pihak, yang berurusan langsung beres, si petugas atau aparat penegak hukum juga mendapat sejumlah imbalan. Tak heran juga, jika banyak orang mengolok-olok spanduk yang dipasang TNI dibanyak tempat, terutama di markasnya masing-masing, “Damai Itu Indah.” Karena “damai” sering diartikan lain, maka damai dalam “Damai Itu Indah” tak diartikan rukun. Okelah itu hanyalah perdebatan semantik.

    Namun, yang jelas, banner atau poster serupa yang isinya tentang gerakan anti korupsi, bertebaran di institusi-institusi pemerintah. Apakah benar-benar menjadi gerakan anti korupsi atau hanya sekadar hiasan dinding/ruangan atau cuma lips service? Nyatanya, praktek korupsi masih jalan terus. Saya tak tahu jelas, apakah ada penelitian seberapa efektifkah banner atau poster anti korupsi di lingkungan instansi pemerintah seperti itu?

    Tapi, kita tak boleh menyerah. Anti korupsi tidak hanya kata-kata, walaupun boleh jadi  kata korupsi, saat ini termasuk kata yang paling popular di Indonesia. Ada dua hal yang penting jika mendengar kata korupsi, Mencegah dan Memberantas atau Menindak. Bagaimana caranya? Mungkin makalah saya di bawah ini, menawarkan salah satu solusi atau jalan ke arah itu.

    Tujuan Pemberantasan Korupsi        

    Sebagai suatu peta jalan Anti Korupsi harus jelas tujuannya. Buat apa kita mencegah dan memberantas korupsi? Jika hanya untuk sampai pemerintahan dan aparat yang bersih, belum cukup mendasar. Tujuan mencegah dan memberantas korupsi, harus sampai kepada nafas yang terkandung dalam dasar negara kita sila ke lima dari Pancasila, untuk Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

    Pencegahan dan pemberantasan (korupsi) selama ini, seolah tak menuai hasil yang berarti. Beberapa menteri dalam kabinet pemerintahan yang lalu, yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terseret arus dan kasus korupsi. Begitu juga pimpinan partai politik, anggota wakil rakyat, kepala daerah, kepala dinas, hakim, polisi, jaksa maupun pihak swasta terjerat dalam lingkaran korupsi. Triliunan rupiah dana dari dalam dan luar negeri digunakan untuk tujuan pencegahan dan pemberantasan itu.  Dana sebanyak itu seperti tersedot dalam financial black hole (lubang hitam anggaran), banyak keluar tapi tak ada hasilnya. Semua pihak seperti tak berdaya untuk mengatasi korupsi.

    Mencegah Korupsi

    Semua pihak seperti tak berdaya untuk mengatasi korupsi? Apa akan berhasil menangani korupsi? Saya masih yakin bisa meminimalisir korupsi asalkan kita bisa bekerja bersama-sama.  Mencegah  harus datang dari diri kita sendiri, lingkungan kita dan yang lebih luas lagi dengan cara mengorganisir dalam sebuah gerakan bersama. Menurut seorang bijak, kejahatan yang terorganisir bisa mengalahkan kebaikan yang tak tak teroganisir. Lalu apakah kita mau dikalahkan kejahatan yang terorganisir? Sekarang inilah yang terjadi di Indonesia. mafia dan kartel menguasai semua bidang, aparat pemerintahan dan juga penegak hukum diseret oleh kemauan mereka. Lalu kita (rakyat) dibuat tak berdaya hanya menerima keadaan.  Tentu kita tidak mau, kan?

    Nah, yang pertama dan punya daya tahan ke masa depan adalah mencegah. Bagaimana cara mencegahnya? Seperti halnya perbuatan korupsi yang sistematis, testruktur dan massive, pencegahan korupsi harus juga diperlakukan hal yang sama,

    Massive versus Gerakan Rakyat

    Sudah sering kita dengar tentang korupsi berjamaah. Selain beberapa parlemen di daerah (DPRD) yang ditangkap ramai-ramai karena korupsi, yang sempat terkuak secara nasional adalah kasus travelcheck atau cek pelawat yang melibatkan belasan anggota DPR. Korupsi menjadi massive, selain sifatnya yang massal (banyak orang), terjadi juga dimana-mana, di semua institusi pemerintah.

    Melawan yang massive itu tak sekadar perasaan anti atau bergerak sendiri-sendiri atau sekadar pengetahuan. Tapi, anti korupsi menjadi sebuah gerakan. Mulai dari pelajar, mahasiswa, pemuda, perempuan dan rakyat umum. Pelaksanaannya melalui organisasi dan komunitas-komunitas yang ada. Para stake holder tak hanya memperoleh pengetahuan, tapi juga bergerak menolak segala bentuk korupsi yang biasa dilakukan,seperti suap dan gratifikasi, melawan jika ada pemerasan. Bahkan lebih jauh dari itu, semua stake holder diajarkan fact finding dan investigasi. Dibentuk satuan tugas anti korupsi rakyat yang hasilnya nanti diserahkan ke aparat penegak hukum yang berwenang menangani masalah/perkara korupsi. Bukan, hanya berhenti disitu, rakyat mengawal kasus yang sudah dilaporkan itu secara kontinuitas (terus menerus).

    Mengajarkan Investigasi

    Korupsi dan investigasi, seolah bersaudara kembar. Kebanyakan korupsi bisa terbongkar karena investigasi. Karena itu diperlukan sumber daya manusia yang tangguh dan punya integrasi. Kampus atau aktivis mahasiswa, bisa menjadi lirikan sebagai “sarang”-nya manusia tangguh yang diperlukan itu.  Saat orang “putus asa”, karena tak tahu dari mana bisa memberantas korupsi, berpaling ke kampus merupakan salah satunya. Orang putus asa, karena korupsi dianggap kejahatan sistemik yang sudah menjadi  sebuah sistem yang berkelindan.

    Nah, apa yang bisa kita lakukan? Jadilah investigator. Siapapun bisa melakukannya, jika dalam proses penegakan keadilan dalam sebuah masyarakat yang rusak pengadilannya (termasuk penegak hukumnya : polisi, jaksa dan hakim), timbul yang dinamakan street justice. Maka, dalam dunia investigasi juga bisa terjadi street investigator. Aditjondro (2002) menyebut 10 langkah yang bisa diambil oleh investigator :

    1. Menggali selengkap mungkin silsilah keluarga para pemangku jabatan publik serta sahabat-sahabat lama semenjak masa muda mereka ;
    2. Menggali sebanyak mungkin nama perusahaan dan yayasan yang berkaitan dengan pejabat-pejabat publik melalui iklan duka cita/sukacita yang dipasang di berbagai media massa (terutama) cetak.
    3. Memanfaatkan buku telepon (yellow/white pages) dari berbagai kota di dalam negeri untuk mengidentifikasi jaringan serta pasang surutnya perusahaan-perusahaan dan konglomerat yang sedang diteliti.
    4. Memanfaatkan internet, dimana berbagai buku telepon, kantor registrasi perusahaan dan kamar dagang dan industri di luar negeri dapat diakses untuk mendapatkan alamat, nama, serta profil perusahaan yang sedang diteliti.
    5. Mengidentifikasi para broker, proxy dan “kasir” yang digunakan oleh para kapitalis birokrat itu untuk mengakumulasi kapital serta mengelola bisnis mereka, sambil melindungi para kapitalis birokrat dari sorotan public dan hukum ;
    6. Mengumpulkan nama para pemain maupun pengurus cabang olahraga, yang sering dijadikan tameng dari berbagai sindikat bisnis maupun sindikat preman politik ;
    7. Mengusahakan dan mempelajari akte notaris dan tambahan berita negara dari berbagai yayasan dan perusahaan yang diasosiasikan dengan sang pejabat, untuk dapat memetakan cabang-cabang gurita atau oligarkinya.
    8. “Menyuntikkan” nama-nama anggota keluarga besar  para kapitalis birokrat serta nama para broker, proxy dan “kasir” mereka, berikut nama perusahaan yayasan serta lembaga-lembaga penelitian atau think-tank mereka ke data base perusahaan-perusahaan konsultan bisnis.
    9. Dengan menggunakan hasil (a s/d h) sebagai base line memperluas penyelidikan ke mancanegara terhadap asset para pemangku jabatan publik, berikut keluarga serta sahabat mereka.
    10. Memanfaatkan whistleblower dan justice collaburator dengan berbagai jalan, juga dengan mempublikasikan hasil-hasil awal investigasi yang telah dilakukan untuk “memancing” orang dalam  yang lebih tahu jaringan korupsi itu dengan menulis di sosial media (twitter, facebook, blog dll), surat pembaca di media cetak, komentar di radio, televisi dan multi media lainnya atau menghubungi para jurnalis, pegiat anti korupsi atau aktivis gerakan mahasiswa, jurnalis warga dan lain sebagainya.

    Pendidikan menjadi investigator anti korupsi juga bisa dilakukan pada komunitas-komunitas masyarakat lainnya, selain kampus. Tentu saja dengan tim yang solid, terukur dan disiplin tinggi. Di dalam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), nantinya berhubungan dengan Direktur Pencegahan KPK atau tim khusus yang dibuat untuk itu, seperti Tim Reaksi Cepat. Tim ini. Selain itu di instansi pemerintah juga dibentuk tim serupa dengan kontrol di bawah inspektorat. Dengan gerakan anti korupsi yang masssive seperti itu, nantinya pencegahan anti korupsi diharapkan juga terstruktur dan sistematis sampai ke akar rumput (rakyat bawah).

    Memberantas Korupsi

    Karena kejahatan korupsi terjadi secara sistemik, sehingga beban yang seharusnya ditanggung oleh negara (berdasarkan konstitusi/UUD) dibebankan kepada rakyat. Misalnya, akibat tidak becusnya negara mengurus sumber daya alam terutama minyak dan gas, yang  berkaitan dengan mafia atau kartel-kartel busuk, rakyat dibebankan dengan harga bahan bakar minyak (BBM) yang mahal. Rakyat “difitnah” dengan alasan subsidi, padahal dalam perhitungan seorang ahli minyak, saat ini justru rakyatlah yang telah mensubsidi pemerintah. Sementara pemerintah baik yang sudah pergi, maupun yang baru berkuasa, menari-nari di atas harga-harga dan ongkos yang mencekik leher rakyat.

    Para penguasa yang baru mendapat dana segar, seperti membayar ongkos atau apa yang dikeluarkan saat  bertanding. Selain itu, mafia atau kartel-kartel minyak terus diuntungkan, baik mafia dalam negeri maupun perusahaan-perusahaan asing yang menikmati keuntungan, akibat harga yang ditetapkan pemerintah mendekati harga minyak yang sudah distok, melimpah. Bahkan 800 ribu SPBU asing yang sudah memperoleh izin, tinggal dibuka di seluruh nusantara, saat harga yang mereka (kapitalis asing) sebut “harga keekonomian” sudah tercapai.

    Pelaku dalam kejahatan korupsi, bukan saja ingin hidup enak, memperkaya diri atau serakah, tapi ikut menciptakan sistem. Sehingga kejahatan yang dilakukan dalam sistem itu selalu memberi keuntungan bagi diri, keluarga, kelompok, partai politik dan di dalam birokrasinya. Sementara rakyat ditelantarkan dalam kemelaratan, dan publik tidak terlayani dengan baik, seperti amanat saat ingin duduk pada kekuasaan dan sumpah jabatannya.

    Korupsi, tak bisa dipisahkan dari kejahatan terhadap kemanusiaan. Karena akibat korupsi, rakyat dimiskinkan, dan segala hak asasi manusianya terabaikan oleh negara. Negara dan birokrasinya menjadi teror bagi warga yang sudah mendaulatnya.

    Dalam peraturan perundang-undang di Indonesia, korupsi digolongkan sebagai extra ordinary crimes (kejahatan yang luar biasa). Masuk bersamanya: kejahatan terorisme, narkotik dan obat-obatan (narkoba), pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat, perdagangan anak dan perempuan (trafficking) dan lain sebagainya. Semua kejahatan yang disebut itu termasuk dalam kejahatan lintas negara (transnational cimes). Korupsi tak bakal terjadi tanpa campur tangan, negara lain atau aktor lain bukan negara (non state actors).

    Karena korupsi adalah kejahatan sistemik dan transnasional, seperti disebut di atas, maka kita sebaiknya mengetahui juga berdasarkan teori yang sudah ada. Secara sosiologis pakar anti korupsi melayu.   Syed Hussein Alatas (1999), mencirikan korupsi di Indonesia sebagai berikut :

    –Unsur-unsur pokok dalam tindakan korupsi : a) subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan atau keuntungan pribadi   b) unsur kerahasiaan   c) pelanggaran terhadap norma-norma umum.

    –Tipologi korupsi ; a) suap (bribery)      b) pemerasan (exortion)     c) nepotisme.

    –Korupsi dalam suatu masyarakat/bangsa/negara bisa berkembang dari stadium pertama ke stadium kedua ke stadium ketiga.

    –Suatu masyarakat/bangsa/negara (yang sudah memasuki korupsi stadium ketiga) masih dapat diselamatkan (dari kanker korupsi) apabila masih ada segelintir  orang yang punya integritas tiggi yang dapat memimpin kampanye anti korupsi di masyarakat/bangsa/negara itu.

    Berdasarkan teori Alatas tadi, menurut Georde Junus Aditjondro (2002),  ada empat perangkat kebijaksanaan (politis) yang harus diambil :

    1. Pembatasan sumbangan untuk partai-partai politik.
    2. Pencegahan pembelian suara (vote buying) dalam pemilihan umum yang diikuti oleh partai-partai politik itu.
    3. Transparansi kekayaan semua pejabat publik (eksekutif, legislative, maupun yudikatif).

    Pelepasan semua jabatan yang berkaitan dengan dunia usaha, dibarengi dengan pembekuan saham-saham yang dimiliki oleh semua pejabat publik.

    Prioritas : Peradilan (Kehakiman), Kejaksaan dan Kepolisian

    Bagaimanapun, tindakan pemberantasan korupsi harus mempunyai prioritas penangannnya. Dengan bekerjasama dengan institutsi penegakan hukum lainnya secara harmonis, bisa membagi “bola” penindakan korupsi, tanpa harus saling merasa dipotong, “makan tulang kawan” atau terjadi gesekan yang tidak perlu. Karena pada dasarnya semua institusi penegak hukum bekerja untuk negara dan bangsa.

    Banyak orang-orang baik, jujur, professional dan bekerja dengan dispilin tinggi, terganggu dengan oknum-oknum yang merusak institusinya. Karena itu kita harus menghimpun semua kekuatan yang baik-baik.

    Jika dalam dalam proses hukum, kepolisian atau kejaksaan sebagai garda terdepan, maka dalam prioritas pemberantasan korupsi dimulai dari peradilan atau korps kehakiman. Semua proses hukum berujung pada keputusan hakim untuk menindak pelaku korupsi (koruptor). Sekarang masih ada, Artidjo Al-Kostar, yang menjaga di ujung perbatasan proses peradilan di Mahkamah Agung. Jika dia sudah tidak ada, bagaimana nasib kasus atau proses hukum? Kita harus menciptakan Artidjo-Artidjo lain, kita harus membuat sistem peradilan yang bersih, dari hakim sampai panitera-nya.

    Kasus-kasus koruptor yang bebas dalam proses hukum di tingkat awal (Pengadilan Negeri) atau proses di tingkat banding (Pengadilan Tinggi) menunjukkan masih ada masalah dalam tingkat peradilan. Belum lagi masalah koruptor yang dibebaskan oleh hakim-hakim tunggal praperadilan. Nah, artinya jika proses yang mentah di tingkat penyidikan (polisi atau jaksa) atau dakwaan dan tuntutan yang obscuur (tidak jelas), oleh penuntut umum (jaksa), maka hakim dengan kewenangannya menggali hukum bisa memutuskan hukuman yang maksimal bagi koruptor.

    Tim khusus harus memantau peradilan dan menempel hakim-hakim yang “nakal”, korups dan pemeras. Sesungguhnya tidak sulit, karena di tiap peradilan, terutama di Pengadilan Negeri, sangat mudah mencari (oknum) hakim-hakim “tamak”. Baik melalu staf pengadilan, maupun para pencari keadilan, juga advokat. Nah, nanti disinilah pentingnya bekerjasama dengan institusi lain seperti Lembaga Perlindungan Sakisi dan Korban (LPSK). Melindungi  whistleblower dan justice collaborator.

    Setelah peradilan, turun ke institusi Kejaksaan dan Kepolisian. Pengalaman KPK yang kemarin, kekurangan penyidik dan dimentahkannya proses hukum oleh hakim pro koruptor dalam soal penyidik. Tentu bisa dicari jakan keluar, adalah dengan merekrut penyidik dari PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) yang banyak tersebar di inspektorat-inspekturan tiap-tiap institusi. Mereka ini ahli-ahli akuntansi, pajak, penyelundupan, illegal logging dan lain sebagainya.

    Kesimpulan

    Sebenarnya kita bisa mencegah dan memberantas korupsi. Jika kita bisa bersatu, berpikir untuk negara dan bangsa. Bukan berpikir untuk individu, golongan atau kelompok saja. Kekuatan yang baik yang sudah ada harus dihimpun. Menjadikan anti korupsi sebagai sebuah gerakan rakyat, akan mencapai tujuan yang diharapkan, yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

    Tidak empati terhadap laporan terjadinya dugaan tindak pidana korupsi, dan pengabaian hak-hak rakyat, lalu berpolitik individual atau kelompok, telah melemahkan pemberantasan korupsi. Malah yang terjadi kini adalah pemberantasan anti korupsi. Dengarkan suara rakyat, dengarkan suara hati nurani, kembali kepada tujuan diadakannya Pemberantssan Korupsi di negeri ini. Sehingga tak mudah ditunggangi kepentingan individu, kelompok, ataupun golongan tertentu.

    Demikian harapan saya. Terima kasih.

    Jakarta, 18 Juni 2015

    *Makalah ini ditulis sebagai syarat calon Komisioner KPK

    Bahan Bacaan

     Aditjondro, George Junus. 2002. Kembar Siam Penguasa Politik dan Ekonomi Indonesia.  Jakarta : LSPP

    Alattas, Syed Hussein. 1999.  The Sociology of Corruption. Kuala Lumpur : Prentice Hall.

    Hamzah, Andi. 2014. Pemberantasan Korupsi : Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional.  Jakarta : Rajawali Pers.

    Komisi Pemberantasan Korupsi. Memahami untuk Membasmi. 2006. Jakarta : KPK

    Taufik, Ahmad. 2014. Hiper Klepto Mania. Artikel, Sindo Weekly

    ——————-. 2014. Korupsi dan Politik.Artikel. Koran Tempo

    ——————–. 2014. Munir, Korupsi dan Hak Asasi Manusia. Makalah

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here