Mahasiswa Indonesia yang berkuliah di Eropa pada tahun akhir 60-an punya cerita tersendiri. Salah satunya yang dialami oleh mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang berkuliah di Praha, Republik Ceko.
Sebanyak 100 mahasiswa Indonesia harus kehilangan kewarganegaraan karena menentang rezim Orde Baru dibawah kekuasaan Suharto. Tidak hanya status kewarganegaraan, mereka juga kehilangan keluarga dan orang-orang terkasih.
Mereka menunjukkan keberanian dengan melepas semua yang berharga termasuk cinta.
Cerita keberanian Mahasiswa Ikatan Dinas (Mahid) di Kota Praha ini hadir lewat sebuah film berjudul “Surat Dari Praha”. Sebuah film romantis yang ditulis oleh M Irfan Ramli dan disutradari oleh Angga Dwimas Sasongko.
Cerita film “Surat Dari Praha” diangkat melalui cerita hubungan percintaan antara Jaya (Tyo Pakusadewo) dengan Sulastri (Widyawati) yang harus kandas karena persoalan politik. Jaya yang sedang kuliah di Kota Praha harus kehilangan hak kewarganegaraanya karena menolak mendukung Suharto. Akibatnya ia tidak bisa bertemu Sulastri hingga kekasihnya itu meninggal dunia.
Namun sebelum meninggal, Sulastri telah memberi wasiat kepada Larasati (Julie Estelle) untuk mengantarkan sebuah kotak dan sepucuk surat milik ibunya kepada Jaya di Praha.
Cerita ini kemudian berfokus antara Laras dan Jaya dalam dialog-dialog dengan latar belakang Kota Praha. Hingga banyak cerita yang terkuak dari masa lalu Jaya yang merupakan Sarjana Nuklir namun sepanjang hidupnya bekerja sebagai janitor atau pembersih sebuah tempat pertunjukkan.
( Baca juga : Sabda Rindu, Dalam 2 Versi yang Menikam Kalbu )
Dari sana juga terkuak alasan Jaya memilih untuk tidak mendukung Suharto dan lebih memilih sebagai eksil di kota orang lain. Keputusan itu pada awalnya diakuinya sebagai keputusan emosional karena masih berusia 21 tahun, namun ia tidak pernah menyesal memilih tidak memiliki kewarganegaraan.
“Saya tidak pernah menyesal. Saya menolak dengan sadar. Kalau ada yang disesali adalah karena saya sudah mengecewakan ibumu,” kata Jaya kepada Laras.
Cerita yang diangkat sebagai retropektif terhadap 20 tahun Glenn Fredly di dunia musik ini memiliki dialog yang sangat ketat dan menguras energi. Namun dialog antara Laras dan Jaya cukup mampu menghadirkan emosi peristiwa tahun 1965.
Namun film ini tidak berfungsi untuk menyelesaikan masalah. “Tujuan film ini hanya bercerita,” kata Angga.
Bercerita tentang keberanian anak muda yang memiliki orang tua dan pacar, ketika dikasih surat dukungan kepada Orde Baru, mereka menolak mendukung.
“Ini soal keberanian. Mereka berani kehilangan banyak hal. Bahkan ada diantara mereka yang baru bertemu sodara kandungnya 50 tahun kemudian. Belum tentu kita berani,” terang Angga.[]