More

    Indonesia Hadapi MEA Dengan Dana Riset dan Publikasi Ilmiah yang Rendah

    Prof Intan Ahmad, Ph.D., Direktur Jenderal Pembelajaran & Kemahasiswaan Dikti. Foto : Ahmad Fauzan Sazli
    Prof Intan Ahmad, Ph.D., Direktur Jenderal Pembelajaran & Kemahasiswaan Dikti. Foto : Ahmad Fauzan Sazli

    BANDUNG, KabarKampus – Abad 21 banyak dikatakan para ahli sebagai abadnya Asia. Hal itu karena banyak sekali investasi yang telah ditanamkan untuk pengembangan pendidikan tinggi di Asia. Buktinya dari jumlah universitas dan jumlah lulusan yang dihasilkan oleh berbagai universitas di Asia, lebih banyak dari Amerika dan Eropa.

    Banyak dari negara-negara di Asia juga mengalokasikan dana riset untuk memperkuat ekonomi mereka. Karena mereka telah menyadari pemanfaatan ilmu pengetahuan dan sains secara kreatif dan inovatif menjadi dasar terbentuknya paradigma ekonomi baru yang disebut knowledge based economy.

    “Karena itu, komitmen untuk membangun knowledge based economy ditunjukkan dengan seberapa jauh setiap negara mengalokasikan dana untuk kebutuhan riset di nengaranya,” kata kata Prof Intan Ahmad, Ph.D., Direktur Jenderal Pembelajaran & Kemahasiswaan Dikti dalam orasinya di acara Dies Natalis Unpar di Kampus Unpar, Jalan Merdeka, Bandung, Senin, (18/01/2016).

    - Advertisement -

    Menurutnya, seperti Malaysia, India dan Singapura yang masing-masing mengalokasikan angarannya untuk riset. Sebagai ilustrasi Malaysia : 0,25 persen, India : 0,63 persen, dan Singapura 2,2 persen dari total LGDP.

    “Sementara Indonesia baru sekitar 0,09 persen. Jadi kita masih pada posisi yang hampir sama dengan Philipina, bahkan alokasi ini jauh lebih rendah dari Ethiopia yang 0,17 persen, dan Uganda 0,39 persen,” ungkap Intan Ahmad yang juga saat ini menjabat sebagai ketua senat akademik ITB.

    Hal ini, kata Intan Ahmad menyebabkan rendahnya kegiatan dan produktivitas riset di Indonesia. Dampak ini juga, tercermin dari performa riset dan publikasi ilmiah di Indonesia dibandingkan negara lain di dunia.

    “Sebagai ilustrasi data dari Scimago menyebutkan data dari jumlah publikasi ilmiah yang dihasilkan peneliti Indonesia di jurnal ilmiah intenasional pada tahun 2014 atau 2015 baru sekitar 5600 publikasi. Masih jauh lebih rendah dari Malaysia dan Singapura.

    Menurutnya, Singapura yang bependuduk lima juta orang bisa menghasilkan publikasi yang jumlahnya tiga sampai empat kali di atas Indonesia. Sementara Malaysia sudah luar biasa

    “Ini jadi tantangan yang luar biasa bagi kita,” ungkapnya.

    Bahkan pada saat, kata Intan Ahmad, World Intelektual Property Organitation mencantat Indonesia hanya menghasilkan 771 paten. Sementara Malaysia 2600 paten, Thailand 1400 paten.

    “Hal ini penting untuk disikapi kalau kita melihatnya dari konteks Asia dan ASEAN. Apalagi kita kita sudah masuk era Masyarakat Ekonomi ASEAN,” terang Intan Ahmad.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here