More

    Dilema Menegakkan Etika Publik

    ilustration / aeon.co
    ilustration / aeon.co

    Media televisi setiap hari menyajikan iklan komersial. Kita digoda menghasrati produk industri yang belum pasti kebutuhan penting. Iklan senjata ampuh yang menawarkan kesempurnaan hidup sebagai pembeda dari orang lain.

    Orang Pintar Minum Tolak Angin”, contoh tagline iklan obat herbal. Terselip keinginan si pembuat iklan menegaskan perbedaan dengan orang bodoh yang masih menggunakan kerokan koin ketika masuk angin. Begitu pula jingle iklan sebuah produk makanan, “…sosis enak sehat bergizi dibuka bungkusnya dimakan sosisnya”.

    Iklan produk makanan ini menjual kepraktisan membedakannya dengan makanan lain yang harus dimasak bertele-tele terlebih dahulu.

    - Advertisement -

    Fenomena iklan menggambarkan kapitalisme bertransformasi mengikuti perkembangan mutakhir. Jika kapitalisme tahap awal digugat karena mencuri nilai lebih yang semestinya dimiliki kaum buruh. Kini kapitalisme menawarkan nikmat lebih yang harus direguk para konsumen.

    Tentu, sulit menolak kenyataan hadirnya iklan dalam kehidupan kita. Kecuali cukup nyali mematikan televisi atau hidup di hutan jauh dari jangkauan teknologi. Bagi penulis yang menggelikan dan perlu mendapat perhatian serius adalah banyak pejabat negara atau elite politik tergelincir jadi bintang iklan.

    Politik sekarang terlanjur dipahami kontestasi kekuasaan yang mensyaratkan popularitas. Tidak aneh kemudian partai politik berlomba menggaet artis, dan menjadi alasan elite politik mencoba mengartiskan diri agar lebih terkenal. Meminjam terminologi Hannah Arendt (pakar ilmu politik asal Jerman), inilah kondisi banalitas.

    Masyarakat dikontruksi secara massif oleh pandangan politik yang mentolerir dominasi kepentingan privat ke dalam ruang publik. Pejabat negara korupsi, kekerasan atas nama keyakinan agama, dan sentimen primordial-kedaerahan tidak henti kita kunyah melalui pemberitaan media massa. Kondisi banalitas membuat publik bersikap permisif seakan-akan semua kejahatan itu sesuatu yang wajar.

    Menurut Hannah Arendt dalam menjawab kondisi banalitas menuntut rehabilitasi politik, yakni kembali kepada politik otentik. Politik yang mengedepankan akal sehat untuk merawat keadaban bersama. Karenanya, politik otentik menumbuhkan kesetaraan warga negara, bersifat partisipatoris, dan mendorong individu menanggalkan domain privat, serta berempati terhadap posisi orang lain. Keutamaan tindakan politik ini yang dimaksud etika publik. Pejabat negara di semua tingkatan (pusat dan daerah) layak bersandar kepada etika publik berkomitmen menjaga demarkasi antara domain privat dan publik.

    Di titik ini, pejabat negara jadi bintang iklan komersial bukan tindakan politik otentik. Mereka sejatinya melanggar etika publik dengan mencampuradukan kepentingan privat industri dan posisinya sebagai pejabat negara yang harus selalu berpikir dan bertindak demi kemaslahatan orang banyak.

    Dalam hubungan negara dengan warga, politik otentik dimaknai tindakan antar warga negara yang majemuk di ruang publik. Pluralitas merupakan conditio per quam dari seluruh kehidupan politik. Ruang publik arena perjumpaan rasional setiap individu tanpa dominasi apalagi paksaan. Etika publik juga mengafirmasi bahwa pada diri setiap pejabat negara ada dua hal yang melekat. Mereka mendapatkan keistimewaan (privileged) sekaligus mempunyai kewajiban (obligated) yang berbeda dengan orang biasa.

    Pejabat negara memiliki rumah dinas atau gaji bulanan sangat besar merupakan keistimewaan yang memang haknya atas dedikasi mengurusi kepentingan publik. Namun, pada sisi lain melekat pula kewajiban menanggalkan domain privat. Ada aturan tertentu membatasi pejabat negara tidak bisa melakukan tindakan seenaknya seperti orang lain yang bukan pejabat negara.

    Deddy Mizwar sampai saat ini tetap bermain iklan, misalnya, menjelaskan konteks pelanggaran etika publik. Sudut pandang hukum tidak ada larangan tampil di televesi. Tetapi kewajiban melekat seorang wakil gubernur, maka ia dinilai menabrak etika seorang pejabat negara. Begitu pula sederet selebritis yang beruntung menjadi anggota legislatif, kendati meraih posisi terhormat ada yang masih nyambi pekerjaan lain.

    Padahal anggota legislatif mempunyai dua posisi politik prinsipil, yakni “representative of trust” dan “representative of delegation”. Contohnya, seorang anggota legislatif dari Kabupaten Majalengka Provinsi Jawa Barat. Ketika mengambil keputusan strategis di DPR, ia tidak perlu berkonsultasi kepada seluruh konstituen di Majalengka. Karena ia dipercaya memiliki kredibilitas dan integritas. Di ranah ini anggota legislatif sedang menjalankan posisi representative of trust.

    Seiring posisi politik itu, seorang anggota legislatif suatu waktu harus turun langsung ke Kabupaten Majalengka. Posisi politik representative of delegation mewajibkannya merespon aspirasi warga yang berkembang. Ia delegasi yang mewakili sekian ratus ribu warga di daerah pemilihannya, hingga dapat duduk di kursi DPR.

    Pemahaman fundamental politik dilihat sekadar rebutan kuasa dan problem institusional yang melahirkan politik biaya tinggi tersebut, lalu kerapkali menimbulkan dilema. Apakah kita konsisten menegakkan etika publik atau larut dengan pilihan jalan politik populisme? Di tengah centang-perenang kehidupan politik pasca 18 tahun reformasi dan nikmat lebih kapitalisme yang kian menggoda, keberanian kembali kepada politik otentik adalah tindakan revolusioner.[]

    Penulis: Budiana, Kolumnis kabarkampus.com

         

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here