
BANDUNG, KabarKampus – Puluhan mahasiswa, seniman, aktivis budaya, pegiat literasi, dan pelaku komunitas kreatif kota Bandung memberikan pernyataan terkait pemberangusan terhadap dunia literasi dan kebebasan berekspresi di kota Bandung. Mereka menyampaikannya dalam sebuah pernyataan bersama yang disebut “Pernyataan Bandung” yang digelar di Gedung Indonesia Menggugat (GIM), Bandung, Selasa, (17/05/2016).
Pembacaan pernyataan bersama ini dibacakan oleh Ahda Imran, Seniman Kota Bandung. Didampingi oleh Deni Rahman dari Lawang Buku dan Semi Ikra Anggara Alumni STSI.
Ahda Imran mengatakan, pada mulai Mei ini terjadi berbagai peristiwa pemberangusan terhadap dunia literasi dan kebebebasan bereksprekspresi. Alasannya adalah bangkitnya kembali paham Partai Komunis Indonesia (PKI). Sehingga aparat kepolisian, militer, dan organisasi massa secara sewenang-wenang melakukan razia dan memberangus buku-buku yang mereka sebut sebagai buku “kiri”.
“Kegiatan anti kebudayaan ini senyata-nyata telah melanggar keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VII/2010. Keputusan tersebut telah membatalkan UU. No.4/PNPS/1963 yang selalu dijadikan dasar bagi kejaksaan dalam pemberedelan buku yang dianggap mengganggu ketertiban umum ,” kata Ahda Imran membacakan Pernyataan Bandung.
Menurutnya, kejaksaan hanya bisa menyita buku dan barang cetakan lain jika telah mendapat izin pengadilan. Maka dari itu, aparat kepolisan, militer, terlebih organisasi massa tidak berhak melakukan razia dan memberangus buku.
Selain itu mereka menilai, sejak beberapa bulan terakhir terjadi pula berbagai pemberangusan terhadap kebebasan berekspresi dengan alasan mencegah kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI). Di kota Bandung terjadi pada pementasan Monolog Tan Malaka, penanggkapan seniman pantonim, dan penyerbuan organisasi massa ke dalam kampus Institu Seni dan Budaya Indonesia.
“Intimidasi dan pemberangusan kebebasan berekspresi ini tak hanya terjadi di bandung, namun juga Jakarta dan Yogyakarta. Selain itu terjadi pembiaran aparat kepolisian atas kesewenang-wenangan organisasi massa yang bertindak anarkis tersebut,” jelas Ahda.
Dalam kesempatan tersebut Ahda mengatasnamakan hak warga negara yang dilindungi konstitusi menyerukan kepada aparat kepolisian dan militer menghentikan intimidasi dan pemberangusan terhadap buku, diskusi buku dan aktivitas literasi lainnya. Kepada aparat kepolisian dan militer juga mereka menuntut agar menghentikan pembiaran atas perbuatan organsiasi massa anarkis yang mengancam kebebasan berekspresi.
Selanjutnya, kepada pemerintah, mereka mendesak kesungguhan pemerintah dalam menjalankan kewajibannya melakasnakan UUD demi mencerdasakan kehidupan bangsa dan budaya demokrasi melalui kehidupan dunia literasi yang sehat. Sementara untuk para pembesar di jajaran pemerintahan untuk berhenti mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang kontra produktif bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara, termasuk bagi berlangsungnya demokrasi yang sehat.
“Menyerukan kepada pemangku kepentingan dalam perbukuan nasional dan masyarakat luas agar bersatu menolak pemberangusan buku dan kebebasan berekspresi,” seru Ahda.[]