ENCEP SUKONTRA
Nenek moyang kita menghadapi bencana alam dengan kearifan lokal. Mereka mempelajari gunung api, cara mengungsi, jauh sebelum lahirnya ilmu pengetahuan.
Bukti peran kearifan lokal dalam menghadapi bencana gunung api ditemukan Tim Peneliti dari Balai Arkeologi Yogyakarta di situs purbakala Liyangan di Desa Purbasari, Ngadireja, Temanggung, Jawa Tengah.
Bukti tersebut berasal dari peradaban abad ke-6 sampai ke-10 masehi berupa candi empat halaman. Sebelumnya candi tersebut tertutup material vulkanik Gunung Sindoro. Posisi candi berada di kaki Gunung Sindoro, delapan kilometer dari pusat letusan.
Tingginya material vulkanik yang menutupi permukaan candi menunjukkan betapa dahsyatnya letusan Gunung Sindoro. Namun meski diterpa letusan dahsyat, tim peneliti sejauh ini tidak menemukan sisa-sisa tengkorak manusia akibat korban letusan, begitu juga perhiasan atau harta benda yang gosong oleh gunung api.
Yang terpapar letusan adalah bangunan candi dan rumah-rumah penduduk. Setelah dieskavasi, bangunan candi tersebut masih utuh, kalaupun ada yang rusak akibat letusan, tim peneliti menemukan ada jejak-jejak perbaikan yang dilakukan warga.
Contohnya, ada beberapa bangunan candi yang semestinya di atas menjadi di bawah. Beberpa elemen bangunan candi juga ada yang diganti dengan batu kali.
Sugeng Riyanto, Ketua Tim Penelitian Situs Liyangan Balai Arkeologi Yogyakarta, mengatakan tidak ditemukannya korban manusia maupun harta benda menunjukkan penghuni peradaban Liyangan mampu mempelajari gunung api.
Mereka, kata Sugeng, bisa membaca aktivitas gunung api secara jitu sehingga tahu kapan harus menyingkir dan kapan harus bertahan. “Orang tua kita dulu sangat arif dalam melihat Gunung Sindoro,” katanya, di Bandung, baru-baru ini.
Ia menyebutkan, orang-orang Liyangan bisa bertahan antara abad ke-6 sampai ke-10 di bawah bayang-bayang letusan Gunung Sindoro. Selama itu mereka mempelajari gunung api berdasarkan pengalaman atau empirik.
Mereka mempelajari kapan gunung akan meletus, seberapa besar letusannya. Itu semua dipelajari dari gempa-gempa vulkanik, gempa minor, longsoran dan faktor-faktor lain yang dipelajari vulkanologi kini.
“Saat letusan kecil tak pergi, kalau letusan besar mereka menyingkir,” kata Sugeng yang juga sarjana arkeologi Universitas Gajah Mada.
Baru pada abad ke-10 mereka mengungsi. Pengungsian tersebut terjadi karena letusan Gunung Sindoro yang sangat dahsyat yang akhirnya menutupi semua permukaan situs hingga akhirnya Balai Arkeologi Yogyakarta melakukan eskavasi pada 2009.
Sugeng mengungkapkan, sejak 2009 sampai kini penelitian terus dilakukan. Sejauh ini pihaknya tidak menemukan korban akibat letusan Gunung Sindoro di situs peradaban Liyangan.
“Bukan hanya korban jiwa tetapi juga harta berupa perhiasan tampaknya mereka berhasil selamatkan. Artinya mereka berhasil menyingkir duluan sebelum letusan,” terangnya.
Temuan lain dari situs peradaban Liangan adalah sejumlah bukti yang menunjukkan di masa tersebut teknologi pertukangan dan pertanian sudah sangat maju. Selain bangunan candi, peneliti menemukan bangunan-bangunan rumah dari kayu yang sudah menjadi arang.
Sementara makanan pokok mereka adalah nasi yang didapat dari sistem pertanian menanam padi. Bukti ini diperkuat dengan temuan sebakul beras yang sudah menjadi arang akibat letusan gunung api.
“Temuan arang beras ini menjadi salah satu temuan menarik. Arangnya berbentuk bakul akibat letusan vulkanik. Beras tertutup abu vulkanik, tidak dapat oksigen sehingga jadi arang beras,” terang ayah dua anak itu.
Penemuan situs peradaban Liyangan berawal dari laporan warga Liyangan ke Balai Arkeologi Yogyakarta pada 2009. Balai kemudian melakukan peninjauan untuk melakukan pengecekan. Laporan warga ternyata benar. Tim menemukan arca.
Lokasi situs peradaban Liyangan berada di tambang Liyangan. Hasil eskavasi dari temuan pertama hingga kini ditemukan candi empat halaman di lahan seluas 10 – 11 hektar dengan ketinggian 1.200 mdpl.
Candi terbagi ke dalam tiga area, yakni area peribadatan, hunian dan lahan pertanian. “Itu menjadi satu kesatuan dalam sistem masyarakat waktu itu,” katanya.
Candi tersebut bukan berasal dari kerajaan, tetapi dari jaman megalitik klasik prahindu. Hal ini dibuktikan dengan stuktur bangunan yang memakai batu border. “Corak bangunan yang memakai batu border itu jelas prahindu,” tandasnya. []