BANDUNG, KabarKampus – Sejumlah organisasi tani dan pemuda Jawa Barat yang menamakan Koalisi Untuk Revolusi Kebijakan Agraria (KuRKA) menilai sejak diberlakukannya Undang-undang Pokok Agraria 56 tahun yang lalu, nasib petani Indonesia masih jauh dari harapan. Hal ini disebabkan oleh tidak diimplementasikannya UUPA dan banyak perundang-undangan yang kini berlaku bertentangan dengan UUPA.
Hal ini ini disampaikan KuRKA mejelang peringatan Hari Tani Nasioal atau hari lahirnya UUPA pada 24 Septermber 1960. UUPA ini menjadi tonggak revolusioner hukum agraria yang mengubah gaya lama penguasaan tanah bercorak kolonial dan melarang monopoli penguasaan tanah termasuk feodalisme di pedesaan.
“Dampak tidak diimplementasikan UUPA adalah melahirkan ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah di Indonesia sebagaimana halnya ketimpangan ekonomi atau tingkat pendapatan penduduknya yang semakin tajam,” kata Sapei Rusin juru bicara KuRKA menjelang aksi peringatan Hari Tani Nasional, Rabu, (21/09/2016).
Sapei juga melihat banyak orang kaya yang memiliki tanah secara absentee dan menjadikan sebagai asset atau investasi. Tetapi di sisi lain lebih banyak petani banyak petani yang hanya mempunyai sebidang tanah yang tidak cukup menghidupi keluarganya atau bahkan tidak mempunyai sejengkal tanah pun untuk digarapnya.
“Seperti disampaikan komisioner Komnas HAM pada CNN dengan merujuk laporan Bank Dunia pada 15 Desember 2015 yang memperlihatkan bahwa 74 persen tanah di Indonesia dikuasai oleh 0,2 persen penduduk,” katanya.
Menurut Sapei, penguasaan tanah yang besar oleh konglomerasi tersebut dianggap bisa menggenjot pertumbuhan ekonomi. Padahal pertumbuhan ekonomi yang diagung-agungkan tersebut sesungguhnya mengidap fenomena jobless growth, yakni pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan pengurangan tingkat pengangguran secara berarti.
Dampak lebih lanjut, tambah Sapei juga nampak pada potret kemiskinan di wilayah pedesaan yang mencapai 17,67 juta jiwa atau sekitar 62,84% dari total jumlah penduduk miskin. Kemudian yang lebih memprihatinkan mayoritas dari petani Indonesia berlatar pendidikan tamat SD. Belum lagi terjadinya konflik-konflik agraria di wilayah pedesaaan.
“Sehingga tidak mengherankan jika dalam kurun waktu 2003-2013 terjadi pengurangan jumlah petani yang menguasai tanah dibawah 0,1 ha sebanyak 5,04 juta petani. Mereka berubah menjadi buruh dengan tingkat pendidikan dan kemampuan yang rendah di perkotaan, yang pada akhirnya menjadi kaum miskin perkotaan.
Melihat permasalahan kesenjangan, pengangguran dan kemiskinan di Indonesia tersebut, Sapei menegaskan KuLKA mendesak untuk menempuh jalan reforma agrarian. Mereka meminta struktur pemilikan dan penguasaan sumber daya agrarian dirombak.
“Sehingga terwujudnya keadilan dalam penguasaan tanah serta penggunaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam,” kata Sapei.
Adapun sejumlah organisasi yang tergabung dalam Koalisi untuk Revolusi Kebijakan Agraria (KuRKA) ini terdiri dari KPRI, P3I, SPP, STKS, PPC, SEPETAK, BARAYA TANI, SPPU, FSPK-KSN Jawa Barat, SHI Jawa Barat, Walhi Jabar, LBH Bandung, INISIATIF, AJI, KMU, FARMACI, FPMR, FPMG, FK3I, PSDK, PMII Cabang Bandung, HMI Cabang Bandung, PARALEGAL Jawa Barat, P2B, Front Anti Fasis, Perpustakaan Jalanan, Front Api. Mereka menggelar peringatan Hari Tani Nasional di depan Gedung Sate, Bandung, Rabu, (21/09/2016).[]