BANDUNG, KabarKampus – Memasuki 56 tahun lahinya Undang-Undang Pokok Agraria pada 24 Septermber, Koalisi Untuk Revolusi Kebijakan Agraria (KuRKA) melihat implementasi UUPA masih jauh dari mensejahterakan nasib petani. Melalui UUPA seharusnya monopoli penguasaan tanah termasuk feodalisme di pedesaan tidak ada, namun kenyataanya penguasaan tanah dikuasai pemodal.
Sehingga berdampak menciptakan pengangguran, kemiskinan di wilayah pedesaaan. Belum lagi. Belum lagi terjadinya konflik-konflik agraria di wilayah pedesaaan. Sehingga terjadi pengurangan jumlah petani yang menguasai tanah dibawah 0,1 ha sebanyak 5,04 juta petani. Mereka berubah menjadi buruh dengan tingkat pendidikan dan kemampuan yang rendah di perkotaan, yang pada akhirnya menjadi kaum miskin perkotaan.
KuLKA menilai pelaksanaan reforma agrarian jalaneforma agraria yang selama ini ditempuh tidak berada pada jalur kesejatian tujuannya. Kesungguhan akan dapat teruji jika hanya ditempuh sembilan agenda strategis yang juga merupakan sembilan Maklumat Koalisi untuk Revolusi Kebijakan Agraria.
Berikut adalah Sembilan Maklumat Koalisi Untuk Revolusi Kebijakan Agraria (KuLKA) :
- Evaluasi, penertiban, pengaturan ulang dan kontrol dalam kerangka penataan ulang sumberdaya agrarian dalam kontek kepentingan peningkatkan kemanfaatannya bagi pencapaian kemakmuran bangsa serta keadilan antar generasi.
- Tinjau ulang semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya dan yang terbukti tidak sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945 dan UUPA No.5 Tahun 1960 harus segera dicabut, diubah, dan/atau diganti sesuai mandat TAP MPR No.IX Tahun 2001.
- Satu pintukan institusi pencatatan, perencanaan,dan pemberian izin penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah untuk mengatasi permasalahan tumpang tindih kebijakan dan kelembagaan.
- Tertibkan dan cabut izin penguasaan tanah yang luas dan tidak memberikan manfaat seperti hak guna usaha (HGU), hak pengelolaan hutan (HPH), hutan tanaman industri (HTI), dan kembalikan kepada negara untuk kemudian diredistribusikan untuk kemakmuran dan kesejahtraan rakyat.
- Lakukan pencatatan, berikan perlindungan dan pengukuhan hak pemilikan pada kolektif/kesatuan masyarakat yang telah menggarap dan mengusahakan tanah-tanah negara yang tidak mengganggu fungsi ekologis.
- Rubah posisi perusahaan badan usaha milik negara (bumn) dibidang perkebunan menjadi bergerak di sektor niaga, industri pengelolaan pasca panen serta pengembangan teknologi penunjang sektor pertanian dan perkebunan rakyat.
- Bentuk peradilan khusus tentang pelanggaran hak penguasaan atas tanah yang berlebihan dan penyelesaian konflik-konflik agraria.
- Hentikan setiap industri korporasi baik bumn maupun swasta yang merusak tatanan sosio-ekologi.
- Lakukan audit dan pengusutan terhadap praktek korupsi baik dalam bentuk suap, pemerasan atau bentuk-bentuk lainnya pada penguasaan, pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya agraria baik oleh BUMN maupun perusahaan swasta.
Koalisi untuk Revolusi Kebijakan Agraria terdiri dari KPRI, P3I, SPP, STKS, PPC, SEPETAK, BARAYA TANI, SPPU, FSPK-KSN Jawa Barat, SHI Jawa Barat, Walhi Jabar, LBH Bandung, INISIATIF, AJI, KMU, FARMACI, FPMR, FPMG, FK3I, PSDK, PMII Cabang Bandung, HMI Cabang Bandung, PARALEGAL Jawa Barat, P2B, Front Anti Fasis, Perpustakaan Jalanan, dan Front Api.[]