ENCEP SUKONTRA
Puluhan ribu petani tembakau di Indonesia sudah lama menggantungkan hidup dari hasil panen tembakau. Kenyamanan mereka terusik di setiap pergantian rezim. Mereka melawan dengan puisi dan tradisi.
Potret perlawanan petani tembakau disajikan Mohamad Sobary lewat buku buku “Perlawanan Politik & Puitik Petani Tembakau Temanggung” yang dibedah di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Selasa (20/09/2016).
Bedah buku ini antitesis dari wacana bahaya rokok yang selama ini mendominasi ruang-ruang publik.
Mohamad Sobary, budayawan yang memilih merokok setelah meneliti kehidupan sosial dan kultural petani tembakau Temanggung, meyakini bahwa merokok sebagai satu-satunya pilihan untuk memihak kepada petani tembakau.
Bagi pensiunan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu, memilih merokok adalah keputusan politis dan ideologis. “Merokok adalah pilihan politik satu-satunya, merokok adalah bahasa perlawanan dan ideologis,” katanya, dalam diskusi yang cair dan penuh asap rokok.
Dengan gayanya yang khas, budayawan yang mengagumi tokoh wayang Semar itu mengaku mulai belajar merokok pada usia senja, yakni 58 tahun, ketika sedang meneliti petani tembakau Temanggung sebagai bahan desertasinya dalam kuliah doktoral di Universitas Indonesia (UI).
Penelitian desertasi berlangsung setahun, antara 2010-2011. Desertasi tersebut kemudian dicetak menjadi buku “Perlawanan Politik & Puitik Petani Tembakau Temanggung”.
Dosen UI ini menuturkan, pertama kali merokok mendapat penentangan dari keluarga, dua anak perempuan dan istrinya. Mereka menyebut rokok merusak tatanan rumah tangga. Tetapi setelah ia menulis desertasi dan mengetahui buah pikirannya tentang rokok, keluarganya justru kagum.
“Merokok sebagai perlawanan membuat istri saya kagum,” tuturnya. “Saya boleh merokok di mana saja.”
Buku “Perlawanan Politik & Puitik Petani Tembakau Temanggung” ditulis dengan pendekatan grounded theory. Dengan teori ini, ia harus memulai penelitian dari nol. Grounded theory menuntut peneliti tidak tahu apa-apa. Peneliti harus membawa teori baru dari hasil penelitiannya. Pendekatan tersebut berbeda dengan pendekatan penelitian umumnya, yang lebih dulu membekali diri dengan teori tertentu sebagai pisau analisis.
Mohamad Sobary mengatakan, penelitian lebih dulu mengusung suatu teori memiliki kelemahan fatal, bahkan bahaya, sebab peneliti dituntut menjadi pengikut teori yang dipakainya.
“Grounded theory mengasumsikan peneliti belum tahu apa-apa. Jadi semua teori yang saya punya harus saya buang. Buku ini hasil riset lapangan yang ditentukan fenomena, bukan riset pustaka,” tandasnya.
Pada 2010, berangkatlah ia ke Temanggung, salah satu sentral tembakau nusantara yang memiliki lebih dari 10 ribu buruh tani dan petani tembakau. Dengan hanya berbekal buku catatan, ia langsung menemui petani, berkunjung ke rumah-rumah mereka.
Fenomena yang ia temui pada masyarakat petani tembakau Temanggung adalah perlawanan mereka terhadap peraturan yang dibuat rezim pemerintah. Peraturan itu membahayakan masa depan petani Tembakau.
Para petani melek terhadap peraturan-peraturan yang dibuat setiap rezim pemerintah. Dimulai dari rezim BJ Habibie yang membuat Keputusan Presiden (Keppres) tentang tembakau dan rokok. Ia menuding Keppres tersebut muncul setelah ada lobi-lobi asing.
Namun Keppres tersebut ditunda pemberlakuannya di jaman Gusdur. Pada jaman Megawati sebagai pengusung selogan Wong Cilik, tentu tidak mau kehilangan kepercayaan dari petani, maka mencabut Keppres tersebut dan menggantinya dengan peraturan yang lebih memihak petani dan industri rokok.
Sayangnya pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, semangat Keppres yang mengandung kepentingan asing itu dihidupkan kembali melalui Undang-undang No 36/2012 tentang Kesehatan yang isinya mengancam kehidupan petani tembakau. Sebagai turunan Undang-undang ini, pemerintah kemudian membuat Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP).
Petani tembakau tak tinggal diam. Mereka melancarkan gelombang protes agar RPP tersebut tidak disahkan sebagai Peraturan Pemerintah (PP).
Tetapi, kata Mohamad Sobary, nyatanya pada jaman Presiden SBY terjadi perubahan dahsyat, RPP disahkan menjadi PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
“Keputusan ini membuat petani stres semua,” ujarnya.
Petani tembakau yang sebelumnya hidup tentram dari hasil panen pertanian tembakaunya, kini menghadapi ancaman serius dari PP. PP tersebut banyak mengatur dan melarang tentang tata niaga tembakau yang ujungnya akan sangat merugikan petani tembakau.
“PP ini membuat petani tembakau lebih stress dari industri,” katanya.
Meski stres menghadapi peraturan pemerintah yang tidak memihak, petani tembakau konsisten melakukan perlawanan damai tanpa kekerasan. Mereka menggalang kekuatan untuk melawan dengan membentuk Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI).
APTI inilah yang melakukan perlawanan politik yang puitik atau istilah antropologinya the poetics and politics ethnography.
“Perlawanan mereka dahsyat, indah, lembut dan estetik,” katanya.
Perlawanan itu tertuang lewat nasi tumpeng, golok, kembang setaman, tarian tradisional, drama atau teater, kue-kue tradisional, dupa yang menyala, ritual-ritual, mitologi, dongeng dan lain-lain.
Ia menemukan teks puitis pada benda-benda yang dipakai dalam ritual tersebut, misalnya pada puisi Sia-sia karya Chairil Anwar dalam buku Kerikil Tajam dan Yang Terempas dan yang Putus yang penggalannya berbunyi: Penghabisan kali itu kau datang/ Membawa kembang berkarang/ Mawar merah dan melati putih/ Darah dan suci….
Sedangkan “dupa yang menyala” ia temukan pada teks sastra lisan yang biasa disampaikan para dalang.
Para petani tembakau Temanggung yang tergabung dalam APTI juga menegaskan sikap mereka lewat manifesto: kami bukan pembangkang, kami siap diatur dengan aturan yang melibatkan kami.
Salah satu gerakan politik puitis APTI yang dilukiskan Mohamad Sobary antara lain berkumpulnya 10 ribu petani di Desa Siderejo, Temanggung, tidak jauh dari Gunung Sumbing. Sekitar pukul 09.00 WIB, kabut belum juga turun dari Gunung Sumbing, 10 ribu petani itu berkumpul untuk melakukan aksi spektakuler merokok bersama.
“Mereka merokok bersama untuk membikin asap yang bisa bertarung dengan kabut Gunung Sumbing. Ini peristiwa sastra. Ini bukan peristiwa sosial biasa,” katanya.
Dalam pertemuan massal itu dideklarasikan Laskar Kretek yang berfungsi membentengi petani tembakau. Kretek merupakan jenis rokok khas Indonesia yang memadukan tembakau dengan cengkih. Kretek sebagai produk khasanah budaya lokal jelas berbeda dengan rokok asing, yakni rokok putih.
Deklarasi Laskar Kretek memiliki dasar sejarah yang kuat. Di masa lalu, di daerah tersebut ada Laskar Bambu Runcing. Laskar ini berjuang melawan pendudukan Jepang. Kali ini Laskar Kretek menjadi tameng untuk melindungi petani tembakau dari gangguan rezim yang cenderung mengekor pada kepentingan asing khususnya mengenai tembakau dan rokok. Mereka membuat drama Tundung Kolo Bendu.
“Tundung” artinya mengusir, dan “kolo bendu” artinya kegelapan.
Drama ini sebagai satir terhadap rezim yang membuat RPP menjadi PP. “SBY dianggap bagian dari kegelapan, dia yang bikin peraturan,” katanya.
Suatu waktu, para petani Tembakau menggelar ritual di sumber air Mbah Brojo, mbah yang diyakini hidup di jaman Kerajaan Majapahit. Para petani datang untuk protes ke si mbah. Ritual ini sindiran keras terhadap para pemimpin di Jakarta. Selama ini mereka melakukan protes ke Jakarta, tapi tak digubris. Maka mereka datang ke makam orang mati dengan harapan yang mati bisa memberikan jawaban setelah yang hidup malah membisu.
Mereka membawa berbagai jenis sesaji. Perlawanan tersebut didorong ketulusan untuk berjuang. Mereka membawa makanan dan sesaji sebagai simbol dari perlawanan yang tulus, bukan didorong kemarahan.
“Bagi mereka kalah tidaklah masalah. Mereka bingung ketika PP diundangkan, tapi kemudian tahu jawabannya,” katanya. Jawaban tersebut, lanjut Mohamad Sobary, bahwa mereka akan terus melawan. Mereka kalah dalam upaya menggagalkan RPP yang sudah menjadi PP.
Tetapi mereka siap melawan manakala PP tersebut diimplementasikan di lapangan. “Meski PP sudah resmi, tapi perang belum selesai. Masih ada ruang untuk melakukan manuver,” ujarnya.
Mohamad Sobary berusaha mencari teks-teks puisi yang membahas tentang kekalahan.
Bahwa “Hidup hanya menunda kekalahan,” tulis Chairil Anwar, penyair yang juga terkenal dengan pose merokoknya. Namun tema-tema tentang kekalahan rupanya banyak dibahas para sastrawan, mulai mulai Sutan Takdir Ali Sjahbana, Romo Mangun, Pramudya Ananta Toer, Toha Mochtar hingga Socrates.
Soal kekalahan ini, Mohamad Sobary lebih sepakat pada pandangan pengusaha Fachmi Idris,“Kalah menang urusan tiap hari. Kita kalah di satu titik dan menang di titik lain. Kalah menang sama indahnya. Bahwa petani jangan jatuh, harus bangkit dan melawan. ”
Peneliti yang Membela Petani
Mohamad Sobary punya alasan khusus kenapa penelitiannya harus membela petani tembakau. Alasan ini sekaligus sebagai kritik terhadap ilmu antropologi yang melakukan penelitian hanya untuk kepentingan akademik tanpa mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan.
Bagi antropolog, penelitian adalah penelitian, buku adalah buku, tidak bisa dikaitkan dengan masalah kemanusiaan.
Mohamad Sobary menepis sikap yang menyebut penelitian sebagai ritus akademik itu. Baginya posisi peneliti harus memihak kepada kemanusiaan.
“Bagi saya penelitian harus menimbang kemanusiaan. Kalau menutup rasa dan hati, jangan jadi antropolog,” tandasnya.
Karena itu ia bisa memahami perlawanan para petani tembakau. Dari dulu mereka hidup nyaman dengan pertanian tembakaunya, sehingga jika ada peraturan yang mengusik, mereka harus melawan untuk mempertahankan diri.
Ia menegaskan, penelitiannya tidak membicarakan kepentingan korporasi atau perusahaan rokok kretek di Indonesia yang juga sama-sama menjerit menghadapi PP tersebut. Tetapi korporasi punya jalan dan politiknya sendiri. Para pengusaha bisa mendekati Presiden dengan jalan lain.
“Sedangkan petani dan kita-kita ini berjuang di jalan dan lewat demo-demo. Itu sebabnya para petani Temanggung mendeklarasikan Laskar Kretek,” katanya. []