Alumni Universitas Indonesia (UI) mengembangkan sebuah startup sosial untuk menghubungkan panti asuhan dengan agen perubahan. Startup sosial berbasis aplikasi ini bertujuan untuk pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan panti asuhan di Indonesia.
Dialah Rizki Dwi Saputro, alumni Fakultas Teknik UI angkatan 2010. Rizki bersama teman-temannya membuat aplikasi yang dinamakan dengan Kapiler Indonesia.
Dirilis pada bulan April 2016 lalu, Kapiler Indonesia hadir dalam bentuk aplikasi berbasis Android yang bertujuan menghimpun data-data berupa lokasi, kondisi, dan kebutuhan panti asuhan. Data-data ini didapatkan dari pengurus panti setelah tim Kapiler melakukan survei, ditambah data dinas sosial, serta kontribusi dari masyarakat umum sebagai pengguna aplikasi.
Rizki yang pernah menjabat sebagai Kepala Departemen Sosial Masyarakat Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI tahun 2014 ini mengatakan, idenya mengenai Kapiler Indonesia muncul sejak dirinya masih menduduki bangku kuliah. Saat itu, Rizki selalu diminta memberikan rekomendasi panti asuhan di sekitar UI untuk kegiatan bakti sosial.
“Setiap tahun ada sekitar sepuluh sampai empat belas pihak yang bertanya. Sedangkan saya hanya tau dua panti. Kan sayang tuh, akhirnya itu-itu lagi. Terus saya lihat ada orang yang mau bantu panti asuhan dan ada panti asuhan yang sebenarnya butuh bantuan. Tapi nggak ada orang yang mempertemukan kedua belah pihak ini. Pun kalau googling juga nggak update,” katanya.
Selanjutnya, melalui pengalaman itu, Rizki dan tim Kapiler membagi program kerja utamanya menjadi dua, yaitu community development dan community service. Program community development dituangkan dalam program belajar mengajar di panti asuhan bernama “Teras Belajar”. Sementara program community service rencananya akan berbentuk kunjungan dan acara di panti-panti.
Kemudian kata Rizki, mereka juga telah bekerjasama dengan sejumlah lembaga. Di antaranya adalah pengadaan acara santunan anak yatim dengan Real Estate Indonesia, serta program donasi beras ke panti yang berkolaborasi dengan Dompet Dhuafa.
“Dompet Dhuafa punya petani binaan. Petani ini berharap berasnya bisa dihargai lebih baik daripada dijual ke tengkulak. Biaya operasional panti kan kebanyakan di konsumsi anak-anak, utamanya adalah beras. Kita menghubungkan antara orang-orang yang mau membantu petani dengan membeli beras, dan penyaluran sumbangan pangan ke panti,” tuturnya.
Pada awalnya untuk mendanai program-program tersebut, Rizki dan teman-teman mendapatkannya dari iuran tim Kapiler sendiri, hadiah dari keikutsertaan Kapiler dalam kompetisi, hingga hasil crowdfunding melalui Kitabisa.com.
“Waktu itu kita ngumpulin Rp 100 ribu per orang. Terus ikut PKM (Program Kreativitas Mahasiswa – red) dan juara dua. Kita dapat dana Rp 1,2 juta untuk pengembangan website. Terus kita crowdfunding ke kitabisa.com, dan terkumpulRp 30 juta. Dipakai untuk pengembangan aplikasi. Kemarin kita menang lomba Community Leaders. Dapat juara dua,” tutur Rizki.
Masalah di Panti Asuhan
Dari survei yang mereka lakukan di panti asuhan di wilayah Depok dan Jakarta, Rizki dan tim Kapiler yang terdiri dari mahasiswa UI menemukan sejumlah masalah yang dihadapi panti asuhan terkait fasilitas dan biaya operasional. Meski fasilitas di Panti Asuhan bagus, namun mereka masih membutuhkan biaya-biaya operasional yang sampai dengan Rp 30 juta.
“Mereka membina anak, minimal sepuluh dan umumnya 20-30 anak. Ada yang seperti pesantren sampai 90 anak. Dengan dua puluh anak aja bisa Rp 20-30 juta. Itu baru buat konsumsi,” jelas Rizki.
Menurut Rizki, saat ini bantuan dari pemerintah ke panti asuhan masih terbilang lambat dan tidak cukup jumlahnya. Selain itu, ketersediaan data dari Dinas Sosial mengenai panti asuhan juga masih minim.
“Di Depok ada Dinas sosial dan Ketenagakerjaan yang sayangnya kalau kita tanya soal panti asuhan mana yang membutuhkan dan kebutuhannya apa saja, mereka sulit tuh memberikan informasi. Sampai dengan saat ini mereka baru bisa mendata saja secara administratif. Jadi belum bisa melakukan pengukuran tingkat kesejahteraan,” ungkap Rizki.
Meski Panti Asuhan memiliki banya kekurangan, terdapat pengurus-pengurus panti yang menjadi ujung tombak dari keberlangsungan hidup panti asuhan di Indonesia. Ada orang-orang yang luar biasa yaitu pengurus-pengurus panti yang secara ikhlas membantu. Mereka harus mendapatkan uang untuk membina anak-anak.
Hal ini juga mendorong Kapiler Indonesia untuk melakukan pemberdayaan kepada pengurus-pengurus panti agar dapat melek teknologi menjadi tantangan tersendiri bagi tim Kapiler. Sebab, terdapat gap generasi dalam penggunaan teknologi aplikasi.
“Ada gap generasi karena pengurus panti kan biasanya generasi berumur. Mereka tau sih, punya Facebook tapi nggak ahli update profile. Juga untuk aplikasi ini, mereka bingung. Mereka butuh pendampingan. Kita buat pertemuan, ada forum, sosialisasi, edukasi. Sekarang sudah 70 panti yang teraktivasi. Kita sudah berhasil mendata,” jelas Rizki.
Saat ini, Kapiler Indonesia tidak hanya berfokus memetakan panti asuhan saja, melainkan mengaktivasi panti asuhan, agar orang tahu kondisi dan kebutuhan mereka saat ini. Karena yang paling tahu adalah pengurus panti asuhan.
“Mereka harus mereka yang menceritakan. Kalau user umum bisa menambah lokasi dan mencari panti kalau mau ada acara,” katanya.
Dengan membentuk Kapiler Indonesia, mimpi Rizki yang ingin memiliki satu panti asuhan bisa terwujud. Bahkan, ia memiliki tidak hanya satu panti asuhan.
“Saya juga bisa ajak orang lain yang punya mimpi sama atau mau membantu bareng-bareng,” tutur CEO Kapiler Indonesia ini.[]