IMAN HERDIANA

BANDUNG, KabarKampus – Kurangnya pemberitaan terhadap hak-hak minoritas dan disabilitas menjadi ganjalan Indeks Kebebasan Pers (IKP) di Indonesia. Menurut survei Dewan Pers, IKP 2016 sebesar 62, 81 poin.
Adi Marsiela, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, mengatakan IKP 2016 tersebut menunjukkan pers di Indonesia belum bebas. Dua indikator yang membuat nilai IKP minim adalah kurangnya ruang pemberitaan pada kaum minoritas dan disabilitas.
Menurutnya, peran pers adalah menyuarakan pihak-pihak yang tidak bisa bersuara, masalah yang kerap dialami kaum minoritas dan disabilitas.
Ia menyoroti sejumlah peristiwa intoleran yang terjadi di Bandung, mulai pelarangan Teater Monolog Tan Malaka di IFI Bandung, pelarangan Kelas Marx di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, hingga penghentian KKR Natal Stephen Tong di Sabuga Bandung, 6 Desember 2016 lalu.
Pelarangan kegiatan-kegiatan itu dilakukan oleh pihak yang sama yang mengatasnamakan mayoritas. Khusus pada kasus pelarangan KKR Natal, saat pertama kejadian awalnya tidak banyak media yang memberitakan.
“Ketika media massa gagal menyuarakan mereka yang tak bersuara, kaum minoritas semakin enggan berbicara. Mereka akan memilih diam menghadapi aksi-aksi intoleransi. Dengan kata lain, aksi intoleransi akan terus berlanjut,” ungkapnya.
Hal serupa juga terjadi pada kasus-kasus penghalangan ibadah lainnya, termasuk pembakaran rumah ibadah, di mana media cenderung menghindar dengan alasannya menghindari SARA atau konflik horizontal.
Tetapi media adalah entitas bisnis. Saat kasus pembubaran KKR Natal menjadi viral di media sosial, sebagai entitas bisnis, media massa mau tidak mau harus membuat berita tentang pembubaran KKR Natal. Sehingga pembaca tak lari ke media lain sekaligus menarik perhatian masyarakat pengguna media sosial.
Adi Marsiela juga menyoroti Undang-undang Informasi Transasksi Elektronik (ITE) yang menjadi ancaman kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Data Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) menyebutkan, selama 2016 lebih dari 160 orang Indonesia terjerat UU ITE.
“UU ITE berpotensi menutup situs-situs berita daerah yang kurang mendapat liputan media massa, misalnya Papua,” kata Adi Marsiela saat orasi dalam acara peringatan hari HAM “Kilometer Perjuangan” di Kafe KaKa, Jalan Tirtayasa 49, Bandung, Sabtu (10/12/2016).
Isu Papua sendiri turut melemahkan kebebasan pers di Indonesia. Papua merupakan daerah konflik yang rentan mengalami pelanggaran kemanusiaan. Sehingga saat melakukan liputan, seorang jurnalis harus mengedepankan kemanusiaan.
Kasus Papua membuat Reporters Without Borders (RWB), organisasi pers bermarkas di Paris, Prancis, menempatkan kebebasan pers di Indonesia berada pada posisi 130 dari 180 negara. Kebebasan pers di Indonesia jauh di bawah Tailan dan Taiwan.
RWB menyebut Papua sebagai “lubang hitam informasi”. “Sampai saat ini negara tidak mengizinkan jurnalis asing masuk Papua,” kata Adi Marsiela. []