More

    Dosen Unpas Pertanyakan Lagu Indonesia Raya

    IMAN HERDIANA

    BANDUNG, KabarKampus-Lagu Indonesia Raya berkumandang diiringi petikan kecapi musikus Sisca Guzheng Harp. Pekan Literasi Kebangsaan pun dibuka di Gedung Indonesia Menggugat, Jalan Perintis Kemerdekaan No. 5 Bandung, Kamis (01/12/2016).

    Usai kumandang Indonesia Raya, budayawan Wawan “Hawe” Setiawan menyajikan orasi budaya bertema “Literasi, Kebudayaan dan Kebangsaan”. Dosen Universitas Pasundan ini mengapresiasi lagu Indonesia Raya yang diiringi kecapi khas Negeri Tiongkok.

    - Advertisement -

    Menurutnya, lagu Indonesia Raya menjadi contoh dari produk budaya literasi. Lagu ciptaan WR Supratman ini tercipta dari teks-teks bahasa Indonesia yang merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia.

    Ia mengungkapkan, dalam tubuh lagu Indonesia Raya terdapat lirik yang mengandung pertanyaan, yaitu terdapat pada kalimat “Di sanalah aku berdiri jadi pandu ibuku.”

    Lirik tersebut menjadi tanda tanya jika dikaitkan dengan Indonesia kini yang sudah 71 tahun merdeka. Pada konteks kekinian, Tanah Air Indonesia itu “di sini”, bukan “di sana”.

    Namun dalam konteks WR Supratman, rupanya lagu tersebut lahir jauh sebelum adanya negara Indonesia, sekitar 1920-an. Waktu itu yang namanya Indonesia baru berupa ide para pendahulu bangsa, termasuk WR Supratman.

    Saat menciptakan lagu, bisa dipastikan WR Supratman tidak tahu bagaimana bentuk Indonesia. Sehingga beberapa versi lagu Indonesia Raya yang dibuat WR Supratman tetap memakai lirik “Di sanalah…” bukan “Di sinilah…”.

    “Artinya waktu itu kita akan menuju ‘di sanalah aku berdiri jadi pandu ibuku’,” terang Hawe Setiawan.

    Kini, kata dia, Indonesia mewujud sebagai negara yang membentang dari Papua sampai Aceh, terdiri dari gugusan pulau besar dan kecil, terpisahkan lautan dalam dan luas, dihuni penduduk dengan ras, suku, etnis, agama, dan bahasa yang berbeda-beda.

    Jadi, kata dia, pada dasarnya Indonesia adalah majemuk, tidak tunggal, berbeda-beda dan tidak sama. Tetapi semua perbedaan dan kemajemukan itu diikat dalam kebersamaan bangsa Indonesia.

    “Dengan demikian kita jadi mengerti kenapa Indonesia ada. Kita bhinneka dulu, bukan ika dulu. Kita berbeda-beda dulu kemudian menjalin keikaan,” katanya.

    Pekan Literasi Kebangsaan merupakan rangkaian acara dari Festival Indonesia Menggugat tahun 2016 yang digagas oleh berbagai komunitas di Bandung. Acara meliputi bedah buku, lapak buku, musik, demo kopi, teater, pemutaran film dan diskusi soal kebangsaan. Sejumlah penulis yang hadir diantaranya Seno Gumira Ajidarma, Wawan Hawe Setiawan, Farid Gaban, Zaky Yamani, dan Peter Kasenda.

    Pekan Literasi Kebangsaan berlangsung sejak 1 Desember hingga 7 Desember 2016. []

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here