
BANDUNG, KabarKampus – Puluhan komunitas dan pemuda yang mengatasnamakan Forum Demokrasi Bandung mengutuk keras tindakan menghalang-halangi kegiatan (Kebaktian Kebangunan Rohani) di Gedung Sabuga, Bandung, Selasa kemarin, (06/12/2016). Mereka menganggap tindakan menghalang-halangi kegiatan beribadah tersebut melanggar hukum dan Hak Asasi Manusia.
“Kegiatan ibadah KKR yang telah dilakukan setiap tahun tersebut dilaksanakan di Gedung Sabuga ITB yang merupakan sarana umum yang berhak disewa, dimanfaatkan semua orang dan kelompok. Namun tanpa alasan dan dasar hukum yang jelas, secara sewenang-wenang sekelompok massa kegiatan tersebut melanggar prosedur kegiatan ibadah,” kata Harold Aron, perwakilan Forum Demokrasi Bandung di Gedung Indonesia menggugat, Rabu, (07/12/2016)
Dan lebih parahnya lagi, kata Aron aparat kepolisian dan pemerintah kota Bandung seolah tunduk dan tidak berdaya terhadap tindakan ormas yang mengatasnamakan PAS (Pembela Ahlu Sunnah) dan DDII (Dewan Dakwah Islamiah Indonesia) Jawa Barat tersebut. Sehingga pada akhirnya kegiatan ibadah itu harus diakhiri lebih cepat.
“Mereka bahkan sampai masuk ke ruangan acara dan meminta tim paduan suara turun dari panggung. Aparat Kepolisian yang jumlahnya lebih dari seratus orang tampak tidak berdaya di hadapan Ormas yang jumlahnya kurang dari lima puluh orang,” ungkap Harold yang akrab disapa Ayong ini.
Ia juga melihat, Kepolisian dan Pemerintah Kota seakan-akan melakukan pembiaran terhadap tindakan melanggar hukum dan hak asasi warga untuk melakukan ibadah keagamaan. Padahal dalam pasal 29 ayat 2 Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
“Namun kenyataannya jauh panggang daripada api. Aparat serta pemerintah negara ini tidak dapat menginternalisasi nilai-nilai tersebut dengan baik. Sehingga masih saja terjadi pelanggaran-pelanggaran dan pembiaran terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Hak Konstitusi warga,” ungkap pengacara LBH Bandung ini.
Oleh karena itu Ayong dan kawan-kawan mempertanyakan kapabilitas dari seluruh elemen Negara serta aparat penegak hukum dalam melindungi warga negaranya tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, dan antargolongan. Dalam kesempatan itu, ia mendesak kehadiran Negara dalam menjamin kebebasan warganya menjalankan agama dan kepercayaannya.
“Kami meminta aparat penegak hukum menindak tegas pelaku intoleransi sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Pembiaran sikap intoleransi mengancam demokrasi kita. Pihak legislatif harus memanggil dan meminta pertanggungjawaban dari pihak eksekutif dan penegak hukum atas pengabaian hak konstitusional dan hak asasi manusia warga Kota Bandung,” tegasnya.[]