BANDUNG, KabarKampus – Sepanjang tahun 2016, Lembaga Bantuan Hukum (Bandung) mencatat sebanyak delapan pelanggaran hak sipil politik yang terjadi di Kota Bandung dan Jawa Barat. Sejumlah peritiwa tersebut diantaranya adalah pembubaran Pantomim Wanggi Hoed, pembubaran Teater Monolog Tan Malaka, serta pembubaran aksi Mahasiswa Papua di Gedung Merdeka Bandung.
Arif Yogiawan, Direktur LBH Bandung mengatakan, dari peritiwa pelanggaran hak sipil dan politik tersebut mengingatkannya pada kondisi negara jaman Orde Baru. Ketika itu negara membuat UU Subversif untuk mengontrol aktivitas warga negara. Sedikit-sedikit dinyatakan subversif dan dianggap sebagai sebuah tindak pindana.
“Namun hari ini, meski tidak ada UU Subversif, namun situasinya seperti orde baru. Untuk pantomim saja seperti yang dilakukan Wanggi Hoed, dibubarkan dan ditangkap,” kata pria yan akrab disapa Yogi dalam Orasi Ilmiah bertajuk “Kilometer Perjuangan” di Kafe KaKa, Bandung, Sabtu, (10 /12/2016) lalu.
Bagi Yogi, ketika untuk menyatakan pendapat saja orang tidak bebas lagi, artinya demokrasi di Indonesia berada di ujung tanduk. Begitu juga dengan Hak Asasi Manusia.
“Hari ini kita betul-betul mundur 10 langkah, padahal reformasi sudah kita lalui sejak tahun 1998. Sekian lama reformasi berhembus di Indonesia. Entah dari mana datangnya, kita seolah kembali ke era Orde Baru,” ungkap Yogi.
Yogi mengungkapkan, tidak ada kemerdekaan tanpa kebebasan. Karena tanpa kemerdekaan kebebasan orang akan hilang. Begitu juga dengan demokrasi, tidak ada demokasi tanpa kebebasan.
“Kebebasan yang dimaksud adalah normanya diatur, baik kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum, berekpresi dan kebebasan untuk beragama berpiikir dan sebagainya,” jelas Yogi.[]