More

    Mengenalkan Kembali “Minke” Tokoh Literasi yang Menjadi Radikal di Bandung

    Muhidin M. Dahlan membacakan orasi literasi kebangsaan di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Rabu malam, (07/12/2016). Foto : Ahmad Fauzan
    Muhidin M. Dahlan membacakan orasi literasi kebangsaan di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Rabu malam, (07/12/2016). Foto : Ahmad Fauzan

    Siapa yang pernah membaca tetralogi Pulau Buru atau Tetralogi Bumi manusia pasti tahu sosok Minke atau Raden Mas Minke. Sosok Minke adalah nama samaran dari seorang tokoh pers atau literasi pada generasi awal Indonesia yaitu, Raden Tirto Adhi Soerjo.

    Tokoh pergerakan Indonesia ini kembali dikisahkan oleh Muhidin M. Dahlan, seorang penulis asal Yogyakarta dalam orasi literasi kebangsaan di Gedung Indonesia Menggugat, (07/12/2016). Pembacaan orasi ini tepat pada hari, Tirto Adhi Soerjo meninggal dunia yaitu pada tanggal  7 Desember, 98 tahun yang lalu.

    Menurut Muhidin, Raden Tirto Ardhi Soejo adalah tokoh yang lahir di Bojonegoro, tumbuh di Surabaya, mekar di Jakarta, dan radikal di Bandung. Tokoh yang mempersembahkan potensi mudanya dengan sepenuh jiwanya ini untuk selama-lamanya tumbang dalam kesepian nir-harta di Jakarta sepulang menjalani hukuman buang Maluku.

    - Advertisement -

    “Hari ini, 7 Desember, 98 tahun yang lalu, seorang pemuda dekil 37 tahun mati dalam kesunyian pergerakan yang ia ikut serta merintisnya. Ia tumbang dan mayatnya diantarkan gembel jalanan ke kuburan daruratnya di Mangga Dua, Jakarta Pusat,” kata Muhidin membacakan orasinya yang berjudul “Dua Warisan Literasi Tujuh Desember”.

    Sosok yang merupakan startup pergerakan ini diperkenalkan oleh Pramoedya Ananta Toer, dengan nama Minke alias monyet. Namun kata Muhidin, nama itu adalah nama internasional. Nama yang jauh dari heroisme tersebut telah menjelajahi sanubari pembaca-pembaca roman Buru di seantero jagad.

    “Jika Karl Marx mati dan dikuburkan dengan disaksikan tujuh orang dengan meninggalkan “Buku Agung” Das Kapital dan sekuplet ajaran yang lebih banyak dibenci ketimbang dibaca dan dipahami, maka Tokoh Kita yang jasadnya diantarkan beberapa lumpen Jakarta paling tidak meninggalkan dua warisan atas rintisan dari amalan yang ringkas dan penuh risiko,” katanya.

    Warisan pertama adalah membelokkan kemudi pers dari sekadar soal hiburan dan perniagaan menjadi koran opini yang melakukan mobilisasi pendapat orang-orang terprentah. Ia menjadikan pers yang berpolitik dan sekaligus mengadvokasi masyarakat.

    Bagi Minke, kata Muhidin, pers adalah jalan dakwah. Pers bukan tempat mencari uang. Ia bukan tidak mengupayakan pembibitan semangat rintisan usaha menuju pers yang mandiri dalam hal modal. Ia pelaku startup awal abad atom yang merintis sistem bagi saham dalam pengelolaan perusahaan pers yang puluhan tahun kemudian kita kenal dengan “pers profesional”.

    Minke juga memadukan kerja pers yang permodalannya diusahakan sendiri, mendidik sendiri para penulis secara independen, mendesain tatak letak, dan bahkan mengisi sendiri konten koran dengan jalan peliputan dan penerjemahan. Sekaligus, ia juga mesti menanggung dengan perih tagihan utang-utang percetakan.

    “Atas “penemuan” bahwa pers mesti berpolitik inilah maka nyaris semua aktor penting pergerakan di kemudian hari adalah para pemimpin redaksi. Boedi Oetomo bahkan berhasil dipengaruhinya untuk mengusahakan sendiri orgaan dakwah-nya,” jelas menulis yang lahir di Donggala, Sulawesi Tengah pada tahun 1978 ini.

    Sebut saja kata Muhidin, nama-nama kunci ini: Soetomo, Samanhudi, Wahidin, Tjokro, Agus Salim, Soewardi, Tjipto, Dekker, Semaoen, Kartosoewirjo, Dahlan, Marco, Misbach, Sukarno, Hatta, Sjahrir, Iwa, Baswedan, hingga Inggit, Baswedan, Lim Koen Hian, Ratulangie, Natsir, Aidit, dan Ojong. Mereka adalah yang berada di jalan Literasi Kebangsaan.

    Selain itu, Minke jugalah yang merintis dan menjadi patron bahwa bekerja dalam dunia cetak adalah gaya hidup yang keren. Bekerja dalam dunia literasi cetak, yakni koran, adalah kerja yang radikal, beda, bahaya. Lawannya adalah mereka yang menimbun lemak cita-cita menjadi pegawai negeri atau pangreh praja, menjadi penjabat mengisi bangku-bangku kerja kantor-kantor kolonial.

    Selanjutnya, kata Muhidin, Warisan kedua tokoh ini adalah rumah pergerakan modern. Ia sadar bahwa pers yang berpolitik mudah ditekuk tanpa kultur pergerakan modern.

    Lima tahun sebelum Sarekat Islam memulai aktivitas politiknya di Surabaya dan di Kota Bandung, Minke meletakkan dasar-dasar pemikiran awal dengan menyusun seorang diri rumusan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumahtangga Sarekat Dagang Islamijah (SDI). Setahun sebelumnya ia juga merancang sebuah pergerakan Sarekat Prijaji yang tak bertendensi pada Islam, melainkan priyayi Jawa terpelajar dan abangan yang wujud konkretnya menjadi Boedi Utomo pada 1908.

    Dengan naskah sepuluh lembar yang ditulisnya di Bandung itu ia menjajakan idenya ke Jawa Tengah. Ia menemui massa real organisasi yang dibayangkannya, yakni pedagang Islam yang kuat karena berorganisasi. Ia juga menyerahkan naskah tersebut kepada Samanhudi di Surakarta.

    Selanjutnya, SDI bergerak ke Surabaya menemui sosok yang tepat bernama Oemar Said Tjokroaminoto. Kemudian lahirlah Sarekat Islam yang menjadi gelombang besar menghajar kolonial yang dalam historikanya kelak menjadi zigot, membelah diri menjadi pergerakan nasionalis dan komunis.

    “Artinya, jika kesadaran literasi semacam ini yang tertanam dengan menampilkan Tokoh Kita ini sebagai teladan,  ujaran kebencian hubungan antara kaum nasionalis, Islam, dan komunis yang selama ini menjadi bahaya laten yang dipropagandakan tentara barangkali bisa didudukkan kembali secara proporsional,” ungkap Muhidin.

    Bagi Muhidin, Tirto Ardhi Soerjo sebetulnya bukan tipe aktivis yang betul-betul kepala batu. Ia masih percaya pada pemerintah. Meskipun ia pernah dihajar sampai babak belur oleh kolonialisme: bisnis rintisannya dipailitkan,  dihukum buang,  semua harta disita,  dan menjadi lumpen di pengujung hayat.

    Ia juga sebenarnya bukan aktivis berpakaian kumal, kucel dan jarang mandi. Sebagai dropout sekolah kedokteran STOVIA, hidupnya higienis. Ia pesolek. Dandy. Di tahun 1908 ia sudah mengenal dengan baik teknik fotografi Lubang Jarum. Juga, flamboyan. Dan dikagumi banyak perempuan.

    “Dia, Tirto Adhi Soerjo atau Minke, yang 7 Desember berangkat ke alam baka dalam kesepian dan kemelaratan di usia 37 tahun, adalah sungguh-sungguh tokoh literasi 712.  Khas dari Literasi 712 adalah gabungan dari dua kerja: mendidik Rakyat melek literasi untuk tahu semesta hidup dan kelasnya dan sekaligus memperkuat barisan mereka lewat jalan  perkumpulan dan pergerakan,” tutup Muhidin.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here