IMAN HERDIANA
BANDUNG, KabarKampus – Warga Cirebon menggugat izin lingkungan dan pembangunan PLTU 2 Cirebon yang dikerjakan oleh PT Cirebon Prasarana (PT CEPR) di Kecamatan Astanajapura dan Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Pembangunan PLTU batubara dinilai merusak lingkungan dan matapencaharian warga sekitar.
Gugatan disampaikan oleh Rakyat Penyelamat Lingkungan (Rapel) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung. Pihak tergugat adalah Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat sebagai penerbit izin untuk PT CEPR.
“Kita lagi proses pendaftaran, (jadwal sidangnya) belum tahu karena baru didaftarkan tadi,” jelas Dhanur Santiko, kuasa hukum warga Cirebon atau pihak penggugat, saat dikonfirmasi KabarKampus, Selasa (06/12/2016).
Ia menyebutkan, berkas gugatan sudah masuk ke PTUN Bandung dengan nomor perkara 124/g/2016/PTUNBDG. Dengan masuknya berkas, pihaknya tingga menunggu susunan majelis hakim dan jadwal sidang.
Dhanur Santiko menuturkan, Pemprov Jabar menerbitkan izin lingkungan dan pembangunan PLTU batubara tahap 2 nomor 660/10/19.1.02.0/BPMPT/2016 pada 11 Mei 2016. Izin ini bagian perizinan terkait rencana ekspansi PLTU batubara tahap 2 dengan kapasitas 1×1000 MW di atas tanah seluas 204,3 hektar.
Menurutnya, penerbitan izin menabrak sejumlah peraturan perundangan, yaitu Undang-undang (UU) Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang, UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah Nomor 27/2012 tentang Izin Pedoman Keterlibatan Masyarakat dalam Proses Analisis Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) dan Izin Lingkungan.
“Izin lingkungan memiliki cacat hukum secara substansi, prosedur dan melanggar peraturan perundangan. Izin tersebut tidak sah dan harus dibatalkan demi hukum, ditambah dalam penerbitannya telah melanggar dan tidak memerhatikan asas penyelenggaraan pemerintah yang baik,” kata Dhanur Santiko.
Moch Aan Anwaruddin, Koordinator Rakyat Penyelamat Lingkungan (RAPEL) Cirebon, menambahkan proses penyusunan AMDAL dan terbitnya izin lingkungan tidak merepresentasikan suara masyarakat terdampak, khususnya Desa di Kecamatan Astanajapura.
Pihaknya, kata Moch Aan Anwaruddin, tidak diundang dalam pembahasan sidang AMDAL di Cirebon dan Bandung pada Mei 2016. Waktu itu pihaknya memaksa hadir untuk menyatakan ketidaksetujuan pembangunan PLTU 2 Cirebon, namun tak digubris.
“Pembangunan PLTU 2 Cirebon mengancam pencaharian masyarakat terdampak dan menimbulkan konflik sosial, sengketa kepemilikan tanah, sebagaimana terjadi pada pembangunan PLTU 1 Cirebon,” tuturnya. []