More

    Krisis Ruang Kebudayaan, Indonesia Butuh Pemikiran Baru

    IMAN HERDIANA

    Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan Mendikbud RI (memegang mic). FOTO : IMAN HERDIANA
    Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan Mendikbud RI (memegang mic). FOTO : IMAN HERDIANA

    BANDUNG, KabarKampus-Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan Mendikbud RI, mengatakan setiap daerah di Indonesia menjadi arena ajang perebutan ruang, antara ruang publik dan ruang komersil, ruang kebudayaan dan ekonomi, dan seterusnya.

    Maka, kata Dirjen yang berasal dari non-PNS ini, persoalan tata ruang di Indonesia masih menjadi masalah sangat serius.

    - Advertisement -

    Hadirnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tenang Cagar Budaya menjadi angin segar bagi kebudayaan, khususnya cagar budaya. Undang-undang ini sekaligus menjadi tantangan bagi pemerintah pusat maupun daerah.

    “Undang-undang ini menarik, sangat kuat dan dalam untuk masuk dalam penataan bangunan dan ruang,” ujarnya, dalam diskusi “Tantangan Pelaksanaan Undang-undang Cagar Budaya dalam Pembangunan Kota” di Galeri Soemardja FSRD ITB, Bandung, Rabu (11/01/2017).

    Undang-undang Cagar Budaya, sambung dia, luar biasa bagi sebuah negeri yang mengalami perebutan ruang yang dahsyat seperti Indonesia. Dalam konteks itu, posisi Undang-undang Cagar Budaya mendorong masuknya nilai-nilai budaya ke dalam penataan ruang dan pembangunan.

    “Ini tantangan besar di tengah arus besar pembangunan,” kata doktor kajian budaya jebolan National University of Singapore ini.

    Di sisi lain, setiap daerah di Indonesia sama-sama membutuhkan modal untuk pembangunan. Fenomena ini bisa-bisa mengorbankan ruang-ruang kebudayaan.

    Sedangkan komitmen tiap kepala daerah di Indonesia menyangkut kebudayaan berbeda-beda. Begitu juga di Bandung yang memiliki persoalan tergerusnya cagar-cagar budaya oleh kepentingan komersil.

    “Saya kira kasus di Bandung mirip dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Ada pengembang, ada kapital,” katanya.

    Pelaksanaan Undang-undang Cagar Budaya pun menjadi tantangan tersendiri bagi Bandung, termasuk Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

    Mengenai masalah cagar budaya atau bangunan heritage, ia menyoroti masalah pengembangan dan pemanfaatan. Menurutnya, cagar budaya meliputi tiga faktor utama, yakni perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan.

    “Selama ini diskusi-diskusi tentang cagar budaya cenderung berhenti di faktor perlindungan saja,” katanya.

    Padahal, kata dia, jika suatu cagar budaya sudah dilindungi, bagaimana pengembangan dan pemanfaatannya.

    “Saya ingin ajak pelestarian cagar budaya dari segi pengembangan dan pemanfaatan. Kalau sudah diselamatkan, lalu apa manfaatnya untuk masyarakat luas. Untuk itu perlu pemikiran baru,” katanya.

    Contohnya, di Bandung ada heritage Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK). Dulu gedung ini menjadi pusat kesenian, khususnya wayang golek. Kemudian pernah terancam menjadi rumah makan. Langkah penyelamatan YPK, misalnya, bisa dengan menghidupkan komunitas seni wayang golek. Sehingga YPK bisa kembali menjadi pusat kesenian wayang golek.

    Bangunan-bangunan cagar budaya juga bisa dijadikan tempat kegiatan kreatif masyarakat, bukan kegiatan konsumtif. Ruang-ruang ini akhirnya justru bisa menciptakan pertumbuhan ekonomi, karena merangsang kreativitas.

    Terlebih, sambung dia, ke depan ekonomi kreatif akan semakin berperan penting dalam perekonomian dan budaya dunia. Jika dulu pembangunan ekonomi cenderung menggunakan gedung-gedung besar dan peralatan rumit, kini cukup dengan ruang-ruang kreatif.

    “Sekarang jalannya ekonomi lebih ke orange economy yang mengandalkan
    kreativitas,” katanya.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here