Iman Herdiana
BANDUNG, KabarKampus – Selepas isya, 12 peserta kelas “Filsafat Ilmu: Mencegah Fanatisme Keilmuan” sudah berkumpul di salah satu ruangan di KaKa Cafe, Jalan Sultan Tirtayasa No 49 Bandung, Jumat (18/5/2018). Di luar jendela langit gelap dan sedikit gerimis.
Sambil menunggu kedatangan pengajar, para peserta mulai memesan kopi dan teh. Pengajar yang mereka tunggu ialah dosen filsafat Syarif Maulana. Peserta ada yang tahu dan ada pula yang tidak tahu jika di hari yang sama sang dosen sedang berduka ditinggal ibu selama-lamanya.
Akhirnya pukul 19.45 WIB, Syarif Maulana datang dengan wajah tegar. Kepada peserta ia menanyakan Furqan AMC sebagai penanggung jawab kelas filsafat. Syarif yang memakai kemeja lengan pendek abu-abu tampak santai, meski kelihatan ngantuk. Kemejanya sengaja tak dikancingkan, menampakkan kaos kuning cerah bertuliskan Nelson Mandela.
Furqan AMC lalu menghampiri Syarif Maulana yang duduk menghadapi peserta yang jumlahnya menjadi 14 orang. Masih takjub atas kehadiran dosen ITB tersebut, Furqan menyatakan terima kasihnya.
Menurut Furqan, Syarif hadir menunjukkan dedikasi dan disiplinnya dalam menunaikan tugas dan janji, walaupun di hari yang sama ibundanya meninggal. Dedikasi yang harus ditiru. “Kami bersama sampaikan duka cita mendalam,” ucap Furqan.
Syarif tidak banyak mengungkap peristiwa duka yang dialaminya. Menurutnya, tugas harus ditunaikan, kelas harus dimulai.
“Kita belajar filsafat untuk menanggung duka dunia. Tidak apa-apa kita memulai dalam suasana duka,” ucapnya.
Beberapa peserta yang baru tahu kabar duka itu tampak masygul. Namun suasana itu segera cair dengan ketegaran Syarif. Kelas filsafat itu dimulai sampai selesai.
Usai kelas pertemuan pertama, Furqan kembali menyampaikan terima kasihnya kepada Syarif dengan menuliskannya di akun Facebook-nya. Ia mendapat kabar meninggalnya ibunda Syarif pada detik-detik sebelum kelas filsafat dimulai:
Hormat yang tulus untuk Bung Syarif Maulana
“Bung.. Ibuku Sakaratul.. untuk makalah aku kirim yang udah saja ya..” Begitu 3 pesan beruntun yang saya terima malam tadi pukul 19.12 WIB dari Bung Syarif Maulana
Beberapa menit kemudian, saya yang membaca pesannya dengan kaget langsung membalas :
“Semoga Allah SWT memberikan yang terbaik untuk Ibunda”
“Yang ada aja dulu (makalah)”
“Gak usah buru-buru”
“Besok siang juga gak apa-apa”
“Prioritaskan Ibu dulu” saya menegaskan.
Seketika langsung saya terima jawaban dari Syarif : “Beliau baru saja pergi.. aku akan kabari bagaimana baiknya besok..”
“Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raji’un
Al Fatihah,
Shallu ‘AlanNabi,
Semoga Almarhumah Husnul Khatimah”.
Saya panjatkan do’a untuk Ibunda Syarif, juga untuk Syarif & keluarga.
Bung Syarif kemudian membalas : “Makasih bang furqan.. sy ttp ingat kewajiban sy.. tp sy harus membereskan beberapa hal dulu..”
Segera saya tegaskan :
“utamakan melayani Ibu terlebih dahulu”.
Hari ini, setelah juma’tan, Ibunda beliau dimakamkan.
Kemudian, Pukul 16.20 WIB Bung Syarif memberi kabar
“Saya siap mengajar..” setelah sebelumnya meminta waktu untuk minta izin ke papanya pelan2.
Spontan saya jawab dengan Takbir “Allahu Akbar”.
(Sebenarnya saya sudah memikirkan opsi untuk menunda kelas barang sehari).
Akhirnya pukul 19.45 WIB kelas “Filsafat Ilmu: Mencegah Fanatisme Keilmuan” dimulai.. khidmad sekali.
Hormat yang tulus untuk Bung Syarif.
Beberapa jam kemudian, Syarif juga menulis di akun Facebooknya tentang alasannya harus datang ke Kaka Cafe di tengah suasana berkabung itu. Menurutnya, sang ibu mendedikasikan sebagian hidupnya untuk mengajar:
Di hari yang sama dengan pemakaman ibu, saya punya kewajiban untuk mengajar perdana kelas filsafat ilmu di Kaka Cafe pada malam harinya. Bang Furqan Amc, selaku penanggungjawab kelas ini, sudah sepenuhnya mengerti jikapun kelas ditiadakan. Ia hanya mengatakan, bahwa sudah menanti dua belas pendaftar, dan mungkin akan bertambah.
Tanpa mengurasi rasa hormat terhadap masa perkabungan, saya memutuskan untuk tetap mengajar. Saya tidak tahu kekuatan apa yang mendorong, yang pasti saya tetap bisa menyelesaikan satu sesi kelas, dengan yah, mungkin, tidak jelek jelek amat (karena banyak sekali pertanyaan hingga waktu agak lebih panjang dari seharusnya).
Ibu saya menjadi pengajar selama lebih dari empat puluh tahun. Tidak jarang saya melihat ia berangkat mengajar dengan perasaan gelisah dan limbung (terutama jika ada persoalan yang mengganggunya). Malam tadi saya gelisah dan limbung, dan saya mengajar dengan kekuatannya. Apa yang saya lakukan, jauh dari setara, dengan empat puluh tahun pengabdiannya.[]