More

    Reformasi, Kebanggaan yang Memalukan

    Mahasiswa menduduki gedung MPR/DPR, menuntut Presiden Soeharto untuk mundur dari jabatan Presiden, pada Mei 1998 | Foto: KOMPAS/EDDY HASBY

    BANDUNG, KabarKampus – Reformasi sudah berjalan 20 tahun lalu. Muncul pertanyaan, apakah Indonesia sudah berada di tempat yang diinginkan oleh para aktivis gerakan mahasiswa 20 tahun lalu?

    Pertanyan tersebut terlontar dalam diskusi santai “20 Tahun Reformasi” di Kaka Cafe, awal Mei lalu. Diskusi ini dihadiri sejumlah narasumber dari aktivis 98, diantaranya Priston Sagala, aktivis 98 dari GMNI, Budi Yoga aktivis 98 dari Unpar, Irzal Yanuardi dan Furqan AMC, aktivis 98 Forum Aktivis Mahasiswa Unisba (FAMU).

    “Bahkan mungkin sebagian besar menganggap tidak hanya jauh dari harapan, tapi juga tempat yang menyakitkan buat sebagian kawan-kawan,” ujar Budi Yoga.

    - Advertisement -

    Menurut Budi, kata sebagian besar dari ratusan ribu aktivis mahasiswa yang bergerak dimasa Reformasi 1998 bukanlah jumlah yang pasti. Namun mereka akhirnya kecewa dengan kondisi bangsa hari ini. Bahkan ada orang-orang yang cukup sakit hati melihat situasi saat ini.

    Budi menambahkan, 20 tahun lalu sebenarnya gerakan mahasiswa menghadapi keraguan dalam memilih jalan yang harus ditempuh untuk lepas dari rezim militer Orde Baru. Ketika itu sebenarnya mereka memilih revolusi. Meskipun kemudian gerakan mahasiswa kemudian memilih terminologi yang bukan hanya lunak, tetapi berlawanan dengan apa yang diinginkan, yaitu terminologi reformasi.

    Disebut berlawanan, jelas Budi, karena terminologi reformasi justru dipakai IMF. Untuk diketahui, waktu itu badan moneter internasional IMF setuju memberi pinjaman untuk mengatasi krisis ekonomi yang melanda Indonesia. IMF mensyaratkan agar Suharto melakukan reformasi politik.

    “Jadi sebetulnya kalau saya mau jujur, kami sebagian di sini juga mengingkari apa yang ada di hati kami,” katanya.

    Budi sendiri memaklumi, ditengah pergerakan tersebut ada semacam kompromi dengan kekuasaan. Kompromi terjadi dalam ketegangan, bukan transaksional seperti yang lumrah terjadi saat ini.

    Meski demikian, gerakan mahasiswa berusaha memasukkan sejumlah agenda yang revolusioner yang kemudian ditetapkan dalam Tap MPR, yaitu adili Soeharto dan kroni-kroninya, Amandemen UUD 1945, Penghapusan dwifungsi ABRI, Otonomi daerah yang seluas-luasnya, Supremasi hukum, Pemerintahan yang bersih dari KKN. Tetapi kemudian agenda reformasi tersebut tak berjalan. Budi menyebut, reformasi 1998 ibarat telur dan ayam.

    “Kalau cangkang telur dari telur ke ayam telur itu harus dibuang kulitnya agar jadi ayam, nggak ada lagi urusan si ayam dengan kulit telur. Namun kami tidak begitu. Karena tadi, proses pembersihan persoalan di belakangnya tak tuntas,” katanya.

    Menurutnya, agenda yang ditaruh diawal reformasi untuk membersihkan pemerintahan, justru mandek. Mereka justru kalah dan mungkin kalah telak.

    “Kami gagal memberi sanksi kepada Golkar dengan infrastrukturnya yang belum diapa-apain. Kita punya satu harapan pada Gusdur (Abdurahman Wahid), namun kalah juga, alih politik punya agenda masing-masing, agenda yang lainnya mulai bergeser, dan akhirnya, ya kami cuma dapat katakanlah demokrasi prosedural,” paparnya.

    Jika reformasi suatu kebanggaan, bagi Budi adalah kebanggaan yang memalukan. Demokrasi yang ada saat ini tidak memberi jawaban jelas akan masa depan negeri ini.

    Irzal Yanuardi, aktivis 98 lainnya membenarkan, yang dulu diinginkan mahasiswa 98 sebenarnya revolusi, bukan reformasi. Pasca-penembakan mahasiswa Trisakti di Jakarta oleh aparat negara, gerakan mahasiswa semakin solid menginginkan revolusi itu.

    “Nah, disitulah sebenarnya mulai terjadi keyakinan-keyakinan kecil dari teman-teman mahasiswa, mungkin inilah titik awal sebuah gerakan revolusi, perubahan besar terjadi di negeri ini. Cita-cita kami sedang mendekati kenyataan,” katanya.

    Mahasiswa di Bandung waktu itu semakin serius mempersiapkan revolusi, dengan membuat tenda atau posko. Mahasiswa tidur di kampus setiap hari, ditengah sejumlah provokasi-provokasi.

    “Bahkan sekitar 15-16 Mei ada seorang wartawan, belakangan saya tahu dia intel, dia menyatakan meminta kepada teman-teman menahan diri, kembalilah ke kampus, nggak usah lagi demo-demo karena ada pesan dari Pangdam bahwa Pangdam sudah menarik pasukan Siliwangi ke Jawa Tengah, dan pasukan di Jabar diganti oleh pasukan Diponegoro yang tidak bisa dikontrol oleh pangdam. Tindakan-tindakannya yang akan sangat menyeramkan, sniper-sniper sudah disebar di Gedung Sate,” kata Irzal, mengenang isu yang berhembus di sekitar 1998.

    Provokasi lain muncul pada 19 Mei, ketika itu gerakan mahasiswa dibayangi isu penculikan toko-tokoh reformis oleh rezim kekusaan. Jika aksi berlanjut, pergerakan aktivis akan menghadapi resiko besar. Isu penculikan ini pula yang membuat Amin Rais yang diklaim sebagai tokoh reformis gagal memimpin aksi di Monas.

    Meski demikian, pergerakan mahasiswa tetap yakin bahwa gerakan harus terus jalan. Kejutan muncul pada 21 Mei ketika Presiden Suharto menyatakan mengundurkan diri.

    “Tak ada yang menyangka pada saat itu, siapa pun tak ada yang menyangka,” katanya.

    Mundurnya Soeharto disambut beragam ekspresi oleh mahasiwa pergerakan. Banyak yang histeris hingga sujud sukur karena musuh bersama itu akhirnya tumbang.

    “Tapi ada sebagian teman-teman yang justru malah was was, jangan-jangan kita-kita ini gagal disitu, ini titik kegagalan dari cita-cita kita,” katanya.

    Rasa waswas itu terbukti ketika sore 21 Mei 1998, saat mahasiswa yang menduduki gedung DPR/MPR diusir tentara bersama kelompok-kelompok mahasiswa yang tidak jelas. Mahasiswa yang turut mengusir itu tergabung dalam aksi-aksi massa tapi ternyata memang cita-citanya tak jelas.

    “Teman kami diusir paksa dari gedung DPR, hampir terjadi bentrok besar-besaran waktu itu, tapi karena ada beberapa pasukan tentara yang bisa mendamaikan, teman-teman kami mundur secara baik-baik dari gedung DPR,” tuturnya.

    Mundurnya Soeharto sekaligus menjadi titik balik gerakan mahasiswa. Kekuasaan beralih ke Baharuddin Jusuf Habibie.

    “Setelah itu ternyata kami mulai merasakan, setelah Habibie sebagai Plt Presiden, mengumumkan kabinetnya. Kami benar-benar merasakan bagaimana cita-cita yang kami harapkan dari awal, dari puluhan tahun lalu itu benar-benar mengalami sebuah penurunan dengan kondisi yang terjadi,” katanya.[]

     

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here